Tujuh dekade sudah Kim Kwang-ho (81) terpisah dari adik dan ibunya di Korea Utara. Pada Senin (20/8/2018) ini, ia dijadwalkan bertemu dengan adik lelakinya, Kwang Il, yang kini berusia 77 tahun. Sang ibu telah lama meninggal.
Kim terpilih dari sedikit warga Korea Selatan yang akan berangkat ke resor Gunung Kumgang di Korea Utara, Senin (20/8/2018), untuk mengikuti tiga hari pertemuan antarkeluarga yang terpisah oleh Perang Korea 1950-1953.
Ada jutaan warga Korea Utara dan Selatan yang terpisah akibat konflik tersebut, sementara komunikasi di antara kedua negara tidak diperbolehkan. Sejak tahun 2000, reuni antarkeluarga dua Korea berlangsung 20 kali.
Namun, semakin lama kesempatan bagi warga yang mayoritas berusia di atas 80 tahun itu semakin sempit karena banyak di antara mereka sudah meninggal sebelum memperoleh kesempatan bertemu. Pertemuan antara anak dan orangtua, ataupun kakak dan adik, sudah jarang terjadi. Umumnya yang banyak terjadi adalah antarkerabat jauh.
Kim dan keluarganya berpisah 68 tahun lalu. Saat itu, ayah Kim mendengar kabar bahwa tentara Korut sedang menuju desa mereka di Myongchon. Khawatir akan terjadi kekerasan, ayah Kim memutuskan mengungsi dengan membawa empat anak tertua. Istri dan anak terkecil yang berusia 9 tahun, Kim Il, tetap tinggal di desa itu.
”Kami berpikir hanya akan pergi tiga hari atau seminggu meninggalkan desa sehingga perempuan dan anak-anak kecil tetap tinggal di desa untuk menjaga rumah,” kata Kim yang mengaku tidak sempat berpamitan dengan ibunya dan tidak membawa foto keluarga satu pun.
Namun, realita di masa perang ternyata lebih pahit. Kim dan keluarganya harus berjalan kaki ratusan kilometer di tengah cuaca musim dingin. Sesekali mereka mendapat tumpangan dari kendaraan yang lewat. Kim berhasil mencapai wilayah selatan setelah berjalan selama berminggu-minggu.
Akhirnya Kim beserta ayah dan saudara-saudaranya menjadi bagian dari sekitar 100.000 pengungsi yang dievakuasi pasukan Amerika Serikat (Evakuasi Hungnam). Di antara para pengungsi juga terdapat orangtua dari Presiden Korsel Moon Jae-in. ”Ketika saya masuk ke dalam kapal, saya sadar tidak akan kembali lagi ke rumah,” kata Kim.
Rasa sakit dan sesak di dada masih dirasakannya sampai sekarang. Kim selalu terisak ketika teringat ibunya. Puluhan tahun ia berupaya terus mengingat wajah sang ibu dan saudara laki-lakinya yang tertinggal di Korut. Kini, ingatannya sudah semakin lemah.
Sukses
Di Korea Selatan, Kim dan keluarganya menjalani hidup yang cukup sukses. Ia saat ini merupakan pensiunan profesor di Seoul, sedangkan dua anaknya menjadi dokter dan dokter gigi.
Meski demikian, sepanjang hidupnya di Korsel, ayah Kim dan juga saudara-saudara sekandungnya tidak pernah membicarakan soal perpisahan dengan ibu dan adiknya. ”Membicarakan masalah ini akan membuat kami semakin bersedih. Jadi kerinduan itu hanya kami simpan dalam hati,” ujar Kim yang sempat kehilangan harapan untuk bertemu adiknya.
Ayah Kim dan juga saudara-saudara sekandungnya tidak pernah membicarakan soal perpisahan dengan ibu dan adiknya.
Tentang pertemuannya kepada Seni, hal pertama yang ingin dikatakan Kim kepada adiknya adalah, ”Berterima kasih bahwa dia bisa tetap sehat sampai sekarang.”
Adik dan kakak ini akan memiliki waktu sekitar 10 jam pertemuan selama tiga hari untuk menumpahkan rindu setelah terpisah selama tujuh dekade. Mungkin ini adalah kesempatan pertama dan terakhir bagi mereka. (AFP)