JAKARTA, KOMPAS — Peristiwa Mei 1998 merupakan memori kelam bangsa Indonesia. Tak hanya krisis ekonomi, gejolak sosial bertendensi rasial juga terjadi. Mereka yang menjadi korban pun memilih memendam luka dan memori pilu. Mustahil juga memulihkan luka yang tidak mau kita akui.
Begitulah pesan yang ingin disampaikan dalam film berjudul Chinese Whispers, karya Rani P Collaborations. Salah satu upaya memulihkan luka hanya dapat diwujudkan dengan mengenali sumber luka dan kenyataan diri.
"Ketika kita merangkul sejarah, termasuk titik-titik kelamnya. Saya percaya, kita bisa maju melangkah lebih berani dan lebih jernih," kata Rani Pramesti, produser dan penggagas The Chinese Whispers, Sabtu (18/8/2018) malam, di Jakarta.
The Chinese Whispers merupakan karya yang menampilkan informasi tentang peristiwa kerusuhan Mei 1998. Sebuah memori kelam yang juga menimpa keluarga Rani. Akibatnya, saat berusia 13 tahun, Rani dan sejumlah keluarga lainnya berpindah dari Jakarta ke Melbourne, Australia.
”Ada dua kegelisahan yang membuat saya menciptakan karya ini. Pertama, dari segi pribadi, keluarga saya menjadi terpecah belah. Kedua, persoalan identitas,” ujar perempuan lulusan Bachelor of Dramatic Art dari Faculty of Victorian College of Arts and Conservatorium of Music di Universitas Melbourne ini.
Persoalan identitas menimbulkan tanya dalam benak Rani. Sejak 2013, Rani menggali informasi tentang peristiwa kerusuhan Mei 1998. Berbekal pengetahuan seni drama, dua tahun lalu, Rani menampilkan performa tentang kerusuhan itu dalam instalasi labirin dengan menggunakan kain panjang.
Labirin itu menggambarkan proses penelusuran jejak luka yang membuatnya merasa kehilangan identitas di negeri orang. Instalasi labirin ini kemudian diubah ke dalam novel grafis digital yang kemudian diberi judul The Chinese Whispers dan diluncurkan pada 3 Mei 2018. Namun, kendala teknis membuat Rani mengubah novel itu ke dalam bentuk video.
”Karena novel digital itu berbasis online, sementara kualitas internet di Indonesia kadang tidak menentu,” ujar Rani.
Video berbasis luar jaringan atau luring pun dibuat Rani agar lebih memudahkan mereka yang ingin menikmati karyanya. Video ini disuguhkan Rani secara gratis di situs internet thechinesewhispers.com.
Bercerita
Film yang dibagi dalam 6 bagian ini menceritakan berbagai persoalan, mulai dari identitas, ras, hingga kekerasan seksual terhadap perempuan. Cerita ini dimulai saat seorang bocah perempuan sedang berlari dengan napas tersengal-sengal. ”Nama saya Rani,” ujar bocah itu. Kemudian, narator masuk dan mengajak ke tiap bagian cerita.
Di film itu, Rani mengisi konten dengan mewawancarai berbagai narasumber. Narasumber pertama yang dikunjungi olehnya adalah Dewi Anggraeni, jurnalis yang menetap di Melbourne. Dewi awalnya meragukan cerita pemerkosaan pada Mei 1998 dari seorang teman. Namun, keraguan itu terjawab saat Dewi bertemu dengan salah satu korban.
”Saya begitu ngeri. Saya sangat merasa berdosa, bersalah, bahwa saya pernah meragukan pemerkosaan itu pernah terjadi,” ujar Dewi.
Selain itu, Rani juga menampilkan hasil wawancaranya dengan Karlina Supelli dari kelompok Suara Ibu Peduli. Karlina juga menceritakan tentang kerusuhan yang terjadi saat itu. ”Begitu banyak orang, begitu padat. Tetapi, yang membuat gentar karena melihat begitu marah di mata mereka,” ujar Karlina.
Film berdurasi lebih kurang 40 menit ini menyajikan pengalaman yang berbeda. Penyajian komposisi animasi dan audio yang dramatis membawa fakta-fakta yang belum terungkap lewat penyajian yang menawan.
Proses kreatif
Ilustrator Chinese Whispers, Cindy Saja, mengatakan, karya ini tidak bertujuan untuk membangkitkan rasa takut ataupun luka di masa lalu. ”Tujuannya lebih ke arah penyembuhan terkait tragedi yang sudah terjadi,” kata Cindy.
Dalam penyajiannya, Cindy cenderung menggunakan simbol-simbol. Dalam ilustrasinya, Cindy menggambarkan bunga melati yang berjatuhan ke air hitam. Menandakan kesucian yang ternoda oleh kerusuhan 1998.
Adapun kesulitan yang dihadapi Cindy adalah saat melakukan riset visual terkait kerusuhan Mei 1998.
”Waktu riset dan menemukan gambar-gambar yang menyeramkan. Itu yang paling susah buat saya,” kata Cindy sembari menambahkan, tujuan karya ini ingin lebih memanusiakan manusia. (DIONISIO DAMARA)