Ibarat Ayam Mati di Lumbung Padi
Anggaran daerah yang besar dan sumber daya alam melimpah yang dimiliki Aceh ternyata belum mampu mengangkat kemiskinan warga. Ibarat ayam mati di lumbung padi, warga masih bergelut dengan kemiskinan dan keterbelakangan di tengah kucuran dana otonomi khusus yang besarnya mencapai Rp 64 triliun sejak 2007.
Terik matahari yang membakar kepala Muliana (31), warga Gampong (Desa) Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, Minggu (15/7/2018) siang, tak dihiraukannya. Dia duduk di tengah tumpukan botol bekas air kemasan. Tangan perempuan tiga anak itu dengan cekatan membersihkan mulut botol dari plastik penutupnya. Botol yang sudah bersih dimasukkan ke dalam karung. ”Kalau sudah banyak baru dijual,” kata Muliana.
Pendapatan sebagai pemulung tidak menentu. Terkadang dalam sebulan ia mendapatkan Rp 500.000, kadang bisa lebih. ”Kalau rajin ke TPA (tempat pembuangan akhir) banyak, tetapi tidak mungkin setiap hari ke sana, pekerjaan rumah juga menumpuk,” kata Muliana.
Muliana dan suaminya, Ridwan (33), bertahun-tahun bergantung hidup dari sampah yang dipungut dari tempat pembuangan akhir sampah. Mereka mulai tinggal di Gampong Jawa pada akhir 2007 setelah meninggalkan kampung asal mereka di Kabupaten Bireuen, sekitar 220 kilometer arah timur Banda Aceh. Merantau ke ibu kota provinsi menjadi pilihan mereka untuk mencari penghidupan.
”Di kampung tidak ada pekerjaan, di sini walaupun memulung, cukuplah buat makan,” kata Muliana yang saat itu baru saja melahirkan anak pertama saat hijrah ke Banda Aceh. Mereka tinggal di Gampong Jawa, sekitar 2 kilometer dari TPA, agar mudah memulung. Bahkan, dari rumah mereka, gunung sampah terlihat. Sesekali bau sampah yang terbang bersama angin laut menyengat hidung.
Bertahun-tahun mereka tinggal di atas tanah orang dengan membayar sewa Rp 600.000 per tahun. Sementara rumah berukuran 5 meter x 5 meter yang mereka tempati dibangun menggunakan kayu, tripeks, dan seng, yang semua barang bekas. Lantainya tanah. Di dalam terdapat satu kamar tidur, dapur, dan ruang keluarga. Saat angin kencang menerpa atap dan dinding berderit. Tiga tahun lalu, atap rumah jatuh dihantam badai.
Saat ini tanah yang mereka sewa akan dipakai pemilik sehingga mereka diminta pindah. ”Rencana pindah ke tanah sebelah. Tetapi, untuk membongkar rumah dan bangun kembali butuh biaya besar,” kata Muliana.
Mengandalkan penghasilan dari memulung untuk membeli sepetak tanah sangat berat bagi Muliana dan Ridwan. Harga tanah di Banda Aceh antara Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per meter persegi. Untuk membangun rumah tipe 36, paling tidak butuh tanah 100 meter persegi. Padahal, jika mereka punya tanah, kata Muliana, pemerintah akan membangun satu rumah tipe 36 layak huni.
”Harus ada tanah sendiri. Pemerintah hanya membantu bangunan,” kata Muliana. Sementara uang dari memulung hanya cukup untuk biaya makan, sekolah anak, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Harapan baru ia lambungkan kini setelah dua bulan lalu Ridwan mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga kebersihan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Banda Aceh.
Tugas Ridwan memotong rumput di bantaran sungai. Pekerjaan baru itu membuat dia mendapatkan upah Rp 2,7 juta per bulan. Meskipun demikian, pada malam hari Ridwan masih sering memulung sampah di TPA yang tidak jauh dari tempat mereka tinggal itu.
Di Desa Matang Sijuek, Kecamatan Baktiya Barat, Aceh Utara, Bakhtiar (43) juga dirundung gelisah. Mimpi memiliki sebuah rumah sederhana yang layak huni tidak kunjung terwujud. Sebagai petani garapan, penghasilan hanya cukup untuk menghidupi istri dan keempat anaknya.
Rumah yang ditempati saat ini tak ubah gubuk reyot, tiang-tiang tampak miring, dinding dari papan, dan berlantai tanah. Rumah ukuran 4 meter x 4 meter itu hanya memiliki satu kamar tidur. Tidak ada dapur dan kamar mandi. Kebutuhan mandi, cuci, dan kakus harus dilakukan dengan menumpang di rumah saudaranya.
”Beberapa kali pejabat pemerintah datang untuk survei, tapi sampai sekarang belum ada bantuan rumah,” kata Bakhtiar.
Sebagai warga berekonomi rendah, Muliana dan Bakhtiar sangat berharap bantuan dari pemerintah agar dapat memenuhi kebutuhan primer, yaitu tempat tinggal yang layak.
Pembangunan juga minim menyentuh warga di pedalaman, seperti di Desa Meulidi, Tampur Paloh, Tampur Bor, dan HTI Ranto Naro, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, yang hingga kini masih terisolasi. Satu-satunya akses menuju ke sana harus melalui sungai dengan menumpang perahu kayu. Tidak ada jaringan listrik, sinyal telepon tidak terjangkau, dan minim fasilitas kesehatan.
Hasbi (58), seorang tokoh warga Desa Tampur Paloh, mengatakan, mereka sangat merindukan jaringan listrik. ”Saat ini kami masih gelap, seperti belum merdeka,” kata Hasbi kepada Kompas awal April lalu.
Dana otsus
Keluarga Muliana, Bakhtiar, dan warga Kecamatan Simpang Jernih adalah contoh ironi pembangunan di Aceh. Di tengah limpahan dana yang besar, Pemerintah Provinsi Aceh masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan warganya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan, hingga Maret 2018 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 839.000 orang atau 15,97 persen. Aceh menjadi provinsi dengan penduduk miskin terbesar di Pulau Sumatera dan nomor enam di Indonesia.
Padahal, sejak 2007 hingga 2018 Aceh telah mendapatkan dana otonomi khusus dari pemerintah pusat sebanyak Rp 64 triliun. Pemberian dana otonomi khusus untuk Aceh merupakan bagian dari perjanjian perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia. Mekanisme dan pengelolaan dana tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam undang-undang itu disebutkan, dana otonomi khusus diperuntukkan tujuh sektor, yaitu pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan rakyat dari kemiskinan, pendidikan, kesehatan, sosial, dan keistimewaan Aceh.
Dana otonomi khusus diperuntukkan tujuh sektor, yaitu pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan rakyat dari kemiskinan, pendidikan, kesehatan, sosial, dan keistimewaan Aceh.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Azhari Hasan mengatakan, penggunaan dana otonomi khusus sudah sesuai aturan. Azhari mengatakan, Pemprov Aceh telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 1.083.701 jiwa atau 26,65 persen pada 2007 menjadi 839.000 orang atau 15,97 persen pada 2018.
Beberapa program pengentasan rakyat dari kemiskinan yang telah dilakukan, kata Azhari, adalah pembangunan rumah layak huni untuk warga miskin, hibah modal usaha, penyaluran beasiswa fakir miskin, dan pemberian bantuan keuangan kemakmuran desa.
Azhari mengatakan, Aceh pernah terpuruk puluhan tahun saat konflik dan ditambah bencana tsunami. Oleh karena itu, butuh waktu lama menata kembali sosial budaya warga Aceh dan membangun kepercayaan investor.
Pada 15 Agustus 2018, Perdamaian Aceh sudah berusia 13 tahun. Sejumlah mantan kombatan GAM kini menjadi pejabat publik dan hidup berkecukupan, termasuk Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh nonaktif yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena sangkaan korupsi dana otonomi khusus.
Sementara warga kecil berkubang dalam kemiskinan. Itulah Aceh, ibarat ayam mati di lumbung padi.