Bayi dan anak-anak yang dibawa dengan kereta dorong di jalanan dengan lalu lintas padat terpapar polusi udara 60 persen lebih banyak dibanding orang dewasa yang mendorongnya. Paparan yang lebih tinggi itu terjadi karena posisi mereka yang lebih rendah sehingga lebih dekat ke tanah dan lebih dekat dengan posisi pipa knalpot kendaraan. Padahal, makin dekat dengan permukaan tanah, makin tinggi pula jumlah polutan udaranya.
Kerentanan bayi dan anak-anak dengan polusi udara itu makin tinggi karena tubuh mereka masih kecil dan berkembang. “Jaringan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan perkembangan otak mereka masih dalam tahap awal kehidupan. Kondisi itu sangat mengkhawatirkan karena mereka justru terpapar polusi udara yang berbahaya,” kata Prashant Kumar dari Pusat Riset Udara Bersih Global (GCARE), Universitas Surrey, Guildford, Inggris seperti dikutip BBC, Selasa (14/8/2018).
Jaringan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan perkembangan otak mereka masih dalam tahap awal kehidupan.
Dudukan kereta dorong umumnya berada pada ketinggian 0,55-0,85 meter di atas permukaan tanah. Padahal, tingkat pencemaran hingga ketinggian 1 meter dari tanah adalah yang tertinggi konsentrasinya. Karena itu, bayi dan anak yang ada dalam kereta dorong di jalanan dengan kepadatan lalu lintas tinggi itu terpapar polutan udara 60 persen lebih tinggi dibanding orang dewasa yang lebih tinggi tubuhnya.
Polusi udara yang berasal dari asap knalpot kendaraan mengandung logam beracun yang tinggi. Logam beracun itulah yang berpotensi merusak perkembangan otak bayi dan anak. Sebanyak 80 persen otak manusia berkembang pada 1.000 hari pertama kehidupan sejak bayi masih berupa janin dalam kandungan hingga berumur 2 tahun.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2014 menyebut 70-80 persen pencemaran udara di perkotaan berasal dari sektor transportasi. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 menyebut 97 persen kota-kota di negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki kualitas udara buruk yang tidak sesuai standar WHO.
Buruknya kualitas udara perkotaan itu meningkatkan risiko stroke, penyakit jantung, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan kronis dan akut, termasuk asma. Besarnya dampak itu membuat setiap tahun ada 4,2 juta kematian akibat paparan polusi udara di luar ruang dan 3,8 juta kematian akibat paparan polusi udara dalam rumah yang biasanya berasal dari asap tungku dan penggunaan bahan bakar. Sebagian besar korban adalah anak balita dan ibu rumah tangga.
Alternatif
Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal Environment International Volume 120, November 2018 yang sudah terbit, Kumar dan rekannya Ashish Sharma, menyebut paparan polusi pada bayi dan anak itu akan berkurang jika mereka berada di daerah dengan kepadatan lalu lintas lebih rendah atau di area dengan polusi udara menyebar, seperti di dekat pagar pinggir jalan.
Karena itu, peneliti berharap orang dewasa yang membawa bayi atau anak-anak dengan kereta dorong menghindari jalanan yang padat lalu lintasnya. Cara lain adalah menggunakan selimut atau penutup khusus untuk kereta dorong guna meminimalkan paparan polutan udara kepada mereka. Penggunaan tutup kereta dorong itu terutama bisa digunakan saat berjalan di pinggir jalan yang padat lalu lintasnya, di kawasan lampu merah, atau di dekat halte bus.
Selain itu, kampanye untuk mengurangi dampak polusi udara perlu lebih digencarkan, seperti menurunkan emisi kendaraan dan mendorong penggunaan transportasi umum lebih banyak.
“Untuk melindungi kesehatan anak-anak, kita harus mempromosikan kendaraan alternatif sebagai pengganti kendaraan yang berbahan bakar bensin atau solar,” tambah Jonathan Grigg dari Royal College of Paediatrics and Child Health, Inggris yang tidak terlibat penelitian.