Duka Yakobus, Sepotong Wajah Penerbangan di Papua
Yakobus Kamiki berlutut, memeluk sebuah peti jenazah putih bertuliskan nama Lidia Kamiki. Tak jauh darinya, peti putih lainnya tergolek bertulis nama Hendrikus Kamiki.
Rabu (15/8/2018) sekitar pukul 12.00 WIT itu, empat peti jenazah dijejerkan di halaman ruang Kamar Jenazah Rumah Sakit Bhayangkara Jayapura. Tim Identifikasi Korban Bencana (Disaster Victim Identification/DVI) Polda Papua secara resmi menyerahkan empat peti tersebut kepada pihak keluarga.
Dua di antara empat peti berisi jenazah dari keluarga Yakobus, yakni Hendrikus (53) dan Lidia (17). Hendrik adalah ayah dari pria berusia 30 tahun itu. Adapun Lidia adalah adik bungsunya. Mereka lima bersaudara.
Hendrikus dan Lidia termasuk dalam delapan korban meninggal pada insiden kecelakaan pesawat Dimonim Air PK-HVQ di Gunung Menuk, Kampung Okatem, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, Sabtu (11/8/2018).
Enam korban lainnya adalah pilot Leslie Sevuve, kopilot Wayan Sugiarta, Sudir Zakana, Martina Uropmabin, Jamaluddin, dan Nainus Tabo. Hanya satu korban yang selamat, yakni anak almarhum Jamaluddin bernama Jumaidi.
Pesawat jenis Pilatus itu lepas landas dari Bandara Tanah Merah di Kabupaten Boven Digoel, Sabtu pukul 13.40 WIT. Sesuai data tim SAR, pesawat hilang kontak pukul 14.40 WIT.
Didera ketidakpastian mengenai keberadaan pesawat, akhirnya 80 anggota tim pencari dan penyelamat yang terdiri dari TNI, Polri, dan warga setempat menemukan badan pesawat di daerah Menuk pada Minggu (12/8/2018) pukul 08.30 WIT.
Selama 48 jam, tim DVI Polda Papua mengidentifikasi jenazah seluruh korban. ”Proses identifikasi berjalan cepat karena jumlah korban yang sedikit dan kondisi jenazah yang cukup baik,” papar Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Papua Komisaris Besar Ramon Amimam.
Akses antarwilayah
Yakobus menuturkan, saat itu Lidia menemani ayahnya dalam kegiatan kantor di Oksibil, ibu kota Pegunungan Bintang. Hendrikus adalah salah satu kepala kampung di Distrik Awinbom.
Tak ada jalan darat dari Awinbom ke Oksibil. Begitupun dengan 32 distrik atau setingkat kecamatan lainnya ke Oksibil. Dari data BPS tahun 2018, total panjang jalan di seluruh Pegunungan Bintang 102,73 kilometer. Mayoritas jalan berada di Oksibil.
”Kami harus menaiki perahu motor dari Awinbom selama dua hari ke Tanah Merah. Kemudian, perjalanan dilanjutkan menggunakan pesawat berbadan kecil ke Oksibil selama 40 menit,” kata Yakobus.
Perjalanan dengan pesawat berbadan kecil sangat memacu adrenalin karena harus melewati celah-celah pegunungan dan sering dilanda cuaca ekstrem. Kondisi cuaca bisa berubah tiba-tiba.
Bersamaan dengan insiden Dimonim Air PK-HVQ di Gunung Menuk, total terjadi tiga kecelakaan pesawat yang fatal dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya, pesawat Trigana Air yang mengangkut 54 orang jatuh di Distrik Okbape pada 16 Agustus 2015. Seluruh penumpang tewas dalam insiden tersebut.
Berikutnya, pesawat PK-FSO tipe C208 Caravan yang dipiloti Komisaris Polisi Rio Pasaribu dari Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel, tujuan Oksibil yang membawa barang kebutuhan pokok, jatuh di Bukit Anem, Pegunungan Bintang, pada 12 April 2017. Rio ditemukan tewas oleh tim SAR.
”Selain kondisi cuaca yang tidak tentu, harga tiket pesawat juga sangat tinggi. Harganya Rp 2 juta untuk sekali perjalanan,” ujar Yakobus.
Kapten Stanis Gunawan, salah satu pilot pesawat perintis, mengungkapkan, perubahan cuaca di Papua hanya sepersekian detik. Salah satu daerah dengan cuaca yang ekstrem adalah Pegunungan Bintang.
”Diperlukan kejelian dari maskapai dan pilot sebelum memutuskan terbang ke daerah-daerah yang rawan cuaca ekstrem,” ucap Stanis.
Dua kendala
Setidaknya ada dua kendala serius yang mengganggu keamanan transportasi udara di Papua, yakni teror dari kelompok kriminal bersenjata dan minimnya fasilitas, seperti menara pengawas.
Pada 22 Juni 2018, terjadi dua kali penembakan di Bandara Kenyam, Kabupaten Nduga. Pertama, penembakan pesawat Twin Otter PK-HVU dari maskapai Dimonim Air ketika mendarat di bandara. Saat itu, kopilot pesawat bernama Irene Nur Fadila mengalami luka di pergelangan kaki karena terkena serpihan peluru.
Kemudian, penembakan pesawat Twin Otter dari maskapai Trigana Air yang mengangkut 17 orang bersenjata di bandara pada 25 Juni 2018 pukul 09.45 WIT. Pilot Ahmad Kamil luka karena terkena peluru di punggung bagian kanan.
Norbert Tunyanan dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi Perwakilan Papua mengungkapkan, terdapat 400 lapangan terbang di Papua yang belum memiliki menara pengawas. Biasanya, pilot akan menghubungi masyarakat yang bermukim di sekitar lapangan terbang via handy talkie (HT) untuk mendapat informasi terkait kondisi cuaca sebelum pesawat lepas landas.
”Pilot hanya bergantung pada kemampuan masyarakat untuk menganalisis kondisi cuaca berupa kecepatan angin dan jarak pandang,” kata Norbert.
General Manager AirNav Cabang Sentani Suwandi mengatakan, pihaknya telah menggandeng kerja sama dengan sejumlah pihak, antara lain TNI Angkatan Udara, pemerintah daerah, dan otoritas bandara, untuk mengatasi gangguan keamanan di bandara atau lapangan terbang di Papua.
”Masalah gangguan keamanan sangat serius. Hal ini yang mendorong hadirnya kerja sama antara AirNav dan sejumlah pihak. Tujuannya, agar keselamatan penerbangan di Papua tak lagi terganggu dengan aksi tersebut,” kata Suwandi.
Ia menambahkan, AirNav pun terus memberikan beasiswa pendidikan warga asli Papua sebagai tenaga layanan navigasi. Pendidikan berlangsung selama sembilan bulan.
”Tahun lalu, kami merekrut 11 tenaga lokal. Saat ini, mereka telah ditempatkan di setiap lapangan terbang di daerah pedalaman. Tahun ini, AirNav kembali memberikan beasiswa bagi 25 warga asli Papua,” lanjutnya.
Apa yang dilakukan AirNav patut diapresiasi. Namun, keselamatan penerbangan di Papua tidak hanya bergantung pada persoalan navigasi. Ada sejumlah faktor lain yang perlu segera diselesaikan.