Ilmuwan Diaspora Berbagi Pengalaman ke Perguruan Tinggi
Oleh
Ester Lince Napitupulu
·3 menit baca
Para ilmuwan diaspora bertemu para dosen di sejumlah perguruan tinggi untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Para dosen diajak melihat kesempatan untuk berbenah mengembangkan ilmu dan riset.
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS Para ilmuwan diaspora Indonesia mengunjungi perguruan tinggi negeri dan swasta di berbagai daerah pada Rabu (15/8/2018) hingga Kamis (16/8/2018). Kunjungan para ilmuwan diaspora ke sekitar 40 perguruan tinggi ini untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan informasi, serta melihat peluang kolaborasi guna mengangkat perguruan tinggi di daerah agar mampu meningkatkan kualitasnya.
Kunjungan para ilmuwan diaspora ke perguruan tinggi ini bagian dari kontribusi riil para ilmuwan diaspora yang berkiprah di perguruan tinggi maupun lembaga riset dari berbagai negara. Program ini bagian dari acara Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) yang digelar Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendididkan Tinggi bersama Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia.
Di Lampung, misalnya, tiga ilmuwan diaspora yakni Satria Zulkarnaen Bisri (33), peneliti di lembaga riset Riken Jepang (semacam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia); Ratna Saptari Soetikno Slamet, Asisten Profesor Antropologi di Universitas Leiden, Belanda; dan Abidin Kusno, Profesor di Universitas York di Toroto, Kanada, mengunjungi Institut Teknologi Sumatera (ITERA) dan Universitas Lampung. Mereka berbagi pengalaman dengan para dosen dan pimpinan perguruan tinggi untuk memperkuat kapasitas pengajar dan juga penelitian.
Di ITERA, para ilmuwan diaspora diterima Rektor Ofyar Z Tamin. Kampus milik pemerintah yang baru empat tahun didirikan ini diharapkan mampu menjadi perguruan tinggi di bidang sains dan teknologi yang unggul di Sumatera.
Abidin mengatakan, pengembangan ilmu dan riset yang multidisipliner harus terus dilakukan. Pembaharuan juga perlu dilakukan untuk penyesuaian terhadap perkembangan pasar.
Sementara itu, Ratna, mengatakan, pendekatan ilmu sosial, semisal Antropologi, dalam bidang sains dan teknologi juga perlu menjadi bagian multidisiplin. "Membahas Antropologi, bukan terbatas soal kebudayaan. Soal seperti hubungan sosial, kekuasaan, jender, hingga konflik juga bisa memperkaya dalam pengembangan multidisplin di perhuruan tinggi sains dan teknik," kata Ratna.
Satria mengatakan, para ilmuwan diaspora menjadi semacam "radar" bagi negara untuk melihat perkembangan terbaru di dunia dalam riset maupun pengelolaan perguruan tinggi. Karena itu, kesempatan untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan informasi ini diharapkan dapat membantu perguruan tinggi di Indonesia melihat kesempatan untuk berbenah mengejar ketertinggalan dalam pengembangan ilmu dan riset.
Para ilmuwan diaspora menjadi semacam "radar" bagi negara untuk melihat perkembangan terbaru di dunia dalam riset maupun pengelolaan perguruan tinggi.
Ekosistem riset
Menurut Satria, dirinya sebagai diaspora berharap pemerintah mengembangkan ekosistem riset yang semakin baik ke depan. "Riset frontier yang merupakan riset dasar yang potensial untuk menghasilkan inovasi yang penting bagi Indonesia dan dunia juga harus dikembangkan. Harus ada rencana untuk serius berinvestasi dalam bidang riset dan pengembangan," ujar Satria yang fokus di riset material.
Riset frontier atau riset unggulan merupakan penelitian yang memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada penemuan teori/paradigma/perspektif/ metodologi baru dalam ilmu sosial dan kemanusiaan. Riset di bidang material salah satu contoh riset frontier yang potensial.
Mengenai rencana pemerintah untuk mulai menarik para ilmuwan diaspora yang potensial berkiprah di Tanah Air, Satria mengatakan, pemerintah harus punya desain yang jelas soal mobilitas para diaspora di banyak negara. Mereka yang sudah punya pengalaman dan jaringan internasional bisa ditawarkan pulang dengan menyiapkan peluang yang menantang di Indonesia.
Pemerintah harus punya desain yang jelas soal mobilitas para diaspora di banyak negara.
"Selain itu, perlu ada juga rencana yang terus berjalan untuk memberikan kesempatan bagi talenta terbaik bangsa untuk keluar negeri. Namun, jangan tergesa dipanggil kembali pulang, harus ada upaya mendorong mereka punya jaringan internasional. Yang paling penting juga, para diaspora ini dapat membawa budaya kerja atau budaya ilmiah yang dimiliki negara maju untuk pengembangan Indonesia," ujar Satria yang sejak 2006 bekerja di Jepang. Dia mengikuti posdoktoral di Belanda.