LONDON, SELASA-Turunnya nilai tukar lira Turki masih memberikan tekanan serupa terhadap sejumlah negara, mulai dari rupee di India hingga euro di Uni Eropa. Kekhawatiran psikologis atas kasus di Turki dapat menyebar sehingga dampak langsung dari bisnis perbankan Eropa di Turki menjadi dua alasan yang diungkapkan sejumlah ekonom dan analis pasar.
Pada perdagangan Selasa (14/8/2018), nilai tukar rupee turun sekitar 1,6 persen ke level 69,93 per dollar AS. Kemarin menjadi penurunan terdalam bagi rupee secara harian dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sepanjang tahun ini mata uang rupee telah melemah 8 persen.
Menteri Urusan Ekonomi India Chander Garg mencoba menenangkan pasar. Ia menyatakan, faktor eksternal menjadi penyebab penurunan nilai tukar rupee. Menurut dia, sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengingat sehari sebelumnya tekanan terhadap rupee lebih besar saat posisi rupee menyentuh level 70,1 per dollar AS. Garg menyatakan cadangan devisa India relatif cukup untuk menjaga posisi rupee.
Sementara itu, nilai tukar lira Turki kemarin menanjak ke level 6,60 per dollar AS atau naik sekitar 5 persen. Posisi lira menguat dari posisi terendahnya sepanjang masa pada awal pekan ini, yakni di level 7,24 per dollar AS. Pasar merespons langkah otoritas keuangan Turki melalui tambahan likuiditas dan pasokan dollar AS.
Terangkatnya lira ikut mendorong nilai tukar sejumlah mata uang di negara berkembang, seperti rand Afrika Selatan dan peso Meksiko yang masing-masing
naik sekitar 1,6 persen dan 1 persen terhadap dollar AS. Adapun nilai tukar euro sempat menyentuh level terendahnya dalam kurun waktu 13 bulan terakhir, sedangkan sepanjang bulan ini telah melemah 2,4 persen terhadap dollar AS.
Analis pasar uang di ING London, Viraj Patel, menilai, penguatan nilai tukar hanya bersifat jangka pendek. Anjloknya mata uang lira tetap meninggalkan kekhawatiran terjadinya penarikan dana dari negara-negara berkembang. Defisit transaksi berjalan dan ketergantungan pada investor asing menjadi hal yang diperhatikan oleh investor global.
Kekhawatiran investor terhadap Turki sudah muncul sejak Juli lalu karena dipicu oleh keputusan Presiden Recep Tayyip Erdoğgan yang menunjuk menantunya, Berat Albayrak, sebagai menteri keuangan. Albayrak menyingkirkan peran dua tokoh senior yang dinilai sudah akrab dengan pasar.
Kebijakan tepat ditunggu
Di Indonesia, tekanan terhadap perekonomian Turki itu diperkirakan masih memengaruhi pergerakan IHSG sepanjang pekan ini. Perlu kebijakan moneter yang tepat untuk meyakinkan investor agar kembali menempatkan modal di Indonesia.
Kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 91,37 poin (1,55 persen) ke level 5.769,87. Sehari sebelumnya, Senin, IHSG melemah 3,55 persen meninggalkan level 6.000. Investor asing masih keluar dari bursa dengan penjualan bersih Rp 781,81 miliar. Sejak awal tahun ini, investor asing sudah membukukan penjualan bersih Rp 50,189 triliun.
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai, investor asing keluar dari pasar modal Indonesia karena berasumsi krisis di Turki bisa terjadi di Indonesia. Hal itu ditambah dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, penurunan cadangan devisa, defisit transaksi berjalan yang semakin dalam, dan pertumbuhan realisasi investasi triwulan II-2018 yang melambat.
Secara terpisah, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menilai, jika gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dapat diredam dengan baik, koreksi pasar hanya terjadi sesaat dan IHSG kembali naik. Menurut dia, asumsi investor perlu diperbaiki karena situasi perekonomian Indonesia jauh lebih baik daripada Turki. Defisit transaksi berjalan Indonesia pada triwulan II-2018 memang mencapai 3 persen terhadap PDB. Namun, defisit transaksi berjalan Turki jauh lebih dalam, yakni sekitar 5,5 persen terhadap PDB. (AFP/REUTERS/DIM/BEN)