Para Ilmuwan Diaspora Ingin Berkontribusi
Meskipun berhasil merintis karir di luar negeri, para ilmuwan diaspora tetap berharap dapat berkontribusi untuk kemajuan bangsa. Regulasi pemerintah yang mengedepankan profesionalitas dan kapabilitas ditunggu untuk menarik minat ilmuwan diaspora ke Tanah Air.
JAKARTA, KOMPAS – Para ilmuwan diaspora Indonesia mempunyai semangat untuk berkontribusi mempercepat kemajuan bangsa dengan turut mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di Tanah Air. Mereka menunggu kebijakan pemerintah yang berpihak kepada mereka.
Selama ini para ilmuwan diaspora tidak terdata dan terkoordinir dengan baik. Padahal, banyak diaspora yang tetap menjalin hubungan dan kolaborasi dengan perguruan tinggi di Indonesia, namun lebih bersifat individual.
Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4) Deden Rukamana yang juga profesor di Savannah State University, Amerika Serikat, di acara Simposium Cendekia Kelas Dunia (SKCD) 2018 di Jakarta, Selasa (14/8/2018), mengatakan, ada semangat dari para ilmuwan diaspora yang tergabung di I-4 untuk mendorong kolaborasi dengan perguruan tinggi di Indonesia.
"Dengan adanya program SKCD dua tahun ini, para ilmuwan diaspora seperti merasakan negara hadir. Ada pengakuan jika para ilmuwan diaspora ini bagian bangsa yang unik. Keahlian dan pengalaman para ilmuwan diaspora mulai dipetakan, setidaknya untuk membantu pengembangan perguruan tinggi di Indonesia," kata Deden.
Dengan adanya program SKCD dua tahun ini, para ilmuwan diaspora seperti merasakan negara hadir.
Menurut Deden, ada semangat dari para ilmuwan diaspora yang tergabung di I-4 untuk mendorong kolaborasi dengan perguruan tinggi di Indonesia, yang tidak terbatas pada PT besar atau ternama saja. "Kami harap kontribusi para ilmuwan diaspora yang difasilitasi Kemristekdikti ini bisa terus berkelanjutan. Nantinya harus ditingkatkan lagi agar kementerian/lembaga lain di Indonesia juga bisa memanfaatkan keahlian para ilmuwan diaspora untuk mempercepat kemajuan bangsa," ujar Deden.
Deden mengatakan jika pemerintah mampu membuat regulasi yang menarik dan memberikan kepastian pada para ilmuwan diaspora, sebenarnya cukup banyak para diaspora yang tertarik bekerja di Indonesia.
"Kami diajak juga untuk bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memberikan masukan soal peluang para ilmuwan diaspora menjadi aparatur sipil negara," kata Deden.
Menurut Deden, harus ada pilihan yang fleksibel untuk mengakomodasi para diaspora. Bagi diaspora yang masih memilih bekerja di luar negeri, tetap bisa diberi peluang untuk bekerja di Tanah Air. Ada yang bisa dikontrak satu bulan tiap tahun atau dalam hitungan 1-3 tahun.
"Yang paling potensial untuk segera direkrut kembali ke Tanah Air orang-orang muda yang sudah postdocoral. Selama negara menyambut para diaspora dengan baik dan memanfatkan potensi para diaspora dengan baik, mereka punya kontribusi untuk mempercepat kemajuan bangsa," kata Deden.
Direktur Riset Ilmu Matematika Universitas Essex, Inggris, Hadi Susanto, mengatakan dirinya memulai karir sebagai dosen di luar negeri, setelah lulus S2 dan S3 di Belanda. Lalu dalam 12 tahun ini berkarir sebagai dosen di Amerika Serikat dan Inggris.
Hadi mengatakan sebenarnya ada keinginan untuk berkarir di perguruan tinggi di Indonesia. "Rasanya lebih bermanfaat mengajar di Indonesia yang lebih membutuhkan. Kalau di luar negeri kan, terutama di negara maju, ya lebih untuk membangun karir dan jejaring. Tinggal nanti menunggu kebijakan pemerintah yang sudah pasti dan baik untuk para ilmuwan diaspora. Apalagi ini mau pilihan presiden, belum tahu juga apa nanti bisa berlanjut kebijakan yang sudah mulai baik untuk para ilmuwan diaspora," kata Hadi yang sejak tahun ini menjadi guru besar luar biasa Institut Teknologi Bandung. Dia di ITB selama 1-2 bulan dalam setahun.
Hadi mengatakan iklim perguruan tinggi di luar negeri, khususnya Inggris, memberikan otonomi. Peluang untuk tampil sebagai pimpinan terbuka tanpa memandang ras, golongan, atau agama. Sebab yang dinilai profesionalitas dan kapabilitas dosen.
Menurut Hadi, para dosen tetap harus menandatangani kontrak dan dievaluasi secara bertahap. Ketika mendapatkan hibah penelitian, biasanya dilaksanakan secara konsorsium dan lintas ilmu. "Saya merasakan di Indonesia masih jalan sendiri-sendiri," ujar Hadi.
Ekosistem riset
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Sangkot Marzuki mengatakan pemerintah harus mendukung ekosistem riset yang kondusif. Berbagai birokrasi dan regulasi yang menghambat harus dibenahi.
Sangkot mengatakan, dirinya sebagai profesor di Universitas Monash Australia saat diminta Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie untuk kembali ke Indonesia dengan tugas membangun kembali lembaga riset Eijkman.
Menurut Sangkot, ada dukungan yang diberikan pemerintah saat itu, dengan memberikan otonomi kepada lembaga riset ini sehingga tidak ribet karena urusan birokrasi pemerintah. "Uji coba ini berhasil dan membuat Eijkman jadi lembaga internasional yang punya reputasi internasional," kata Sangkot
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Bidaya, dan Ekologi Strategis, Kantor Staf Presiden, Yanuar Nugroho, mengatakan, harus ada langkah yang lebih serius lagi untuk mendorong peran para ilmuwan diaspora yang sudah mulai terlibat dalam mendukung kemajuan perguruan tinggi Indonesia.
"Perlu ada gugus tugas yang mampu untuk membuat peran diaspora Indonesia lebih jelas dan berdampak. Kita mendukung agar ada regulasi yang berpihak pada diaspora yang memahami apa keinginan para diaspora Indonesia," kata Yanuar.