Dana Otsus Jadi Ladang Korupsi Elit

Tempat budidaya ayam petelur dan pabrik pakan ayam di kawasan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Kamis (12/7/2018) yang dibiayai dana otonomi khusus Aceh tahun anggaran 2013. Namun, program tersebut tidak berjalan seperti yang direncanakan dan diduga terjadinya penyimpangan.
BANDA ACEH, KOMPAS – Tata kelola dana otonomi khusus di Aceh sarat masalah. Tidak sedikit proyek dana otonomi khusus di tingkat kabupaten dan provinsi dikorupsi. Dana otonomi khusus yang seharusnya menjadi modal pembangunan justru jadi ladang korupsi para elit.
Masyarakat Transparansi Anggaran Aceh (MaTA) mencatat sejak 2010 hingga 2018 kasus korupsi yang sedang ditangani kejaksaan di Aceh mencapai 141 kasus. Kasus-kasus tersebut tersebar di 23 kabupaten dan kota di Aceh. Sebagian sudah vonis dan sebagian masih proses hukum.
Anggaran sebagian besar proyek tersebut bersumber dari dana otonomi khusus (otsus). Programnya beragam mulai dari pembangunan infrastruktur, pengadaan barang, hingga pemberdayaan ekonomi warga.
MaTA mencatat beberapa program dana otsus yang diduga sarat tindak pidana korupsi adalah pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Cut Mutia, Kabupaten Aceh Utara tahun anggaran 2013, tanggap darurat bencana alam di Kabupaten Aceh Tenggara tahun anggaran 2012, pengadaan alat kesehatan di Lhokseumawe tahun 2012, pembangunan objek wisata Ie Seum di Aceh Besar tahun 2009, pengadaan mobil pemadam kebaran di Banda Aceh tahun 2014, dan penggemukan sapi di Aceh Tengah tahun 2014.
Koordinator MaTA Aceh Alfian di Banda Aceh, Kamis (19/7/2018) mengatakan, korupsi dana otsus diduga diatur sedemikian rupa dari hilir hingga hulu, yakni sejak perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban.
Perencanaan program bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, namun berdasarkan keinginan pejabat.
Itu terjadi karena perencanaan program bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, namun berdasarkan keinginan pejabat. “Sehingga jangan heran banyak bangunan yang didanai otsus tidak terpakai seperti pasar rakyat dan terminal di kabupaten,” kata Alfian.
Investigasi yang dilakukan MaTA Aceh menunjukkan korupsi banyak terjadi pada proyek pembangunan infrastruktur. Modusnya penggelembungan harga dan pembangunan di bawah spefisikasi yang direncanakan.
“Kenapa dana otsus paling banyak digunakan untuk kegiatan fisik, karena sangat mudah untuk dikorupsi. Buktinya kasus korupsi yang ditangani kejaksaan dominan proyek fisik,” kata Alfian.
Dosen Ilmu Ekonomi Unsyiah Rustam Effendi juga berpendapat program otsus bermasalah sejak perencanaan. Kata Rustam, perencanaan tidak berdasarkan data dan fakta lapangan, namun diputuskan di atas meja. Rustam menilai, kapasitas aparatur pemerintah dalam menyusun program masih buruk.
Tidak ada kegiatan
Kompas mengecek salah satu program pemberdayaan ekonomi didanai otsus yang diduga bermasalah. Program tersebut adalah budidaya ayam petelur dan pembangunan pabrik pakan. Kedua program ini menggunakan dana otsus tahun anggaran 2013.
Pusat budidaya ayam petelur dan pabrik pakan itu terletak di kawasan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar. Untuk kedua program ini anggaran yang alokasikan masing-masing Rp 29,125 miliar dan Rp 2,784 miliar. Dalam dokumen perencanaan ada 100.000 ekor ayam petelur yang akan ditempatkan di pusat budidaya.

Kapal nelayan rusak ditambat di tepi Sungai Aceh, di Lampulo, Banda Aceh, Aceh, Kamis (12/7/2018). Kapal tersebut dibiayai dana otonomi khusus Aceh tahun anggaran 2013. Namun, program tersebut tidak berjalan seperti yang direncanakan dan diduga terjadinya penyimpangan.
Namun saat Kompas berada di pusat budi daya dan pabrik pakan itu, tidak terlihat aktivitas di kawasan itu. Kandang ayam dan bangunan dikelilingi pagar beton setinggi dua meter. Di gerbang dituliskan larangan masuk selain karyawan. Kawasan itu terlihat sepi dan sunyi.
Kepala Divisi Advokasi Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh Hayatuddin Tanjung menduga terjadi tindak pidana korupsi pada program tersebut. Gerak Aceh menemukan sejumlah bukti seperti para penerima yang nama masuk dalam daftar namun tidak pernah menerima ayam. Jumlah ayam yang direncanakan 100.000 ekor yang dibeli hanya 2.500 ekor. Sedangkan pabrik pakan ayam tidak beroperasi sebagaimana yang direncanakan. Gerak Aceh telah melaporkan temuan itu kepada Kejaksaan Tinggi Aceh.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda) Aceh Azhari Hasan tidak mau berkomentar terkait banyaknya proyek otsus yang bermasalah. Azhari menyebutkan itu ranah penegak hukum.
Menurut Azhari pengelolaan dana otsus sudah sesuai dengan aturan yakni UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun/Perda Nomor 10 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Kata Azhari, setiap program telah dibahas mendalam dan diseleksi oleh tim anggaran pemerintah provinsi.
Azhari menuturkan, otsus berkontribusi besar terhadap pembangunan. Menurut dia sudah banyak program otsus yang berhasil. Dia mencontohkan pembangunan Jembatan Lamnyong penghubung kampus Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Sebelum jembatan itu dibangun kemacetan akut kerap terjadi, namun kini lalu lintas lancar.
Terkait penggunaan data otsus yang didominasi sektor infrastruktur, kata Azhari, itu merupakan upaya pemerintah dalam memeratakan pembangunan. Dengan adanya jalan yang menghubungkan antarkabupaten, daerah terpencil akan terbebas dari ketertinggalan.
Barter anggaran
Penyebab banyaknya program otsus bermasalah diduga karena Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tidak membahas program dan kegiatan yang diajukan dengan detail saat pembahasan anggaran. Alfian dan Hayatuddin menuding DPRA terlalu sibuk mengamankan dana aspirasi sehingga program usulan eksekutif tidak dikupas tuntas.
DPRA terlalu sibuk mengamankan dana aspirasi sehingga program usulan eksekutif tidak dikupas tuntas.
Dana aspirasi adalah kewenangan pengelolaan anggaran daerah oleh anggota DPRA. Pada 2017 total dana aspirasi mencapai Rp 917 miliar. Artinya setiap anggota memperoleh Rp 10 miliar hingga Rp 15 miliar. Melaui dana itu, anggota DPRA menitipkan kegiatan yang dibiayai oleh dana aspirasi kepada satuan kerja perangkat daerah.
Untuk diketahui 50 persen lebih APBD Aceh bersumber dari dana otsus. APBD Aceh 2018 sebesar Rp 15 triliun. Sebanyak Rp 8 triliun di antaranya adalah dana otsus.
Dana aspirasi pertama sekali diberikan untuk DPRA pada 2014 bersumber dari dana otsus. Besarannya setiap tahun tahun terus naik. Hanya pada 2018 anggota DPRA tidak memperoleh dana aspirasi kerena APBD Aceh disahkan melalui peraturan gubernur (Pergub).
Anehnya, kebanyakan kegiatan yang dibiayai otsus dipecah-pecah antara Rp 50 juta hingga Rp 200 juta. Tujuannya untuk menghindari tender. Pada saat pembahasan anggaran, dana aspirasi menjadi barter anggaran antara legislatif dengan eksekutif.
Menurut Alfian, jika pihak eksekutif tidak menyetujui dana aspirasi itu maka program yang diusulkan dalam rancangan APBD akan dihambat legislatif. Ketika dana aspirasi disetujui, maka pembahasan rancangan APBD berjalan lebih mulus. “Dalam pembahasan rancangan anggaran daerah, DPRA berusaha mengamankan dana aspirasi masing-masing,” kata Alfian.
Dalam prakteknya, kata Alfian, dana aspirasi menjadi modus bagi anggota DPRA untuk menikmati anggaran. MaTA mendapatkan banyak laporan warga penerima bantuan dana aspirasi anggarannya dipotong. “Tanda tangan Rp 50 juta sementara yang diterima Rp 25 juta, sisanya untuk anggota DPRA, pemilik dana aspirasi,” kata Alfian.

Massa pendukung Irwandi Yusuf (gubernur Aceh non aktif) melakukan demo menuntut agar Irwandi dibebaskan, Senin (9/7/2018.
Kasus terbaru dugaan korupsi dana aspirasi yang sedang ditangani oleh Kepolisian Daerah Aceh adalah pemotongan beasiswa bagi mahasiswa Aceh. Modusnya penerima menandangani bukti terima 100 persen, sementara uang yang diterima hanya separuh. “DPRA sekarang tidak bisa diharapkan,” kata Alfian.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Muharuddin mengatakan, penyelewengan dana otonomi khusus terjadi pada saat pelaksanaan program, bukan pada perencanaan. Dalam perencanaan pihak eksekutif dengan cakap memaparkan target capaian program kepada legislatif. “Masalahnya ada pada pelaksanaan,” ujar Muharuddin.
Meski demikian, Muharuddin mengakui tidak semua program usulan eksekutif sempat dibahas detail. Alasannya, hanya daerah yang paham kebutuhannya terutama untuk program yang diusulkan pemkab melalui provinsi.
Terkait dengan dana aspirasi, Muharuddin mengatakan posisi anggota DPRA sangat dilematis saat konstituen datang mengantar proposal permohonan bantuan. Sebagai wakil rakyat yang telah dipilih anggota DPRA wajib memperjuangkan aspirasi pemilih, salah satu melalui dana aspirasi.
Muharuddin tidak setuju jika dituding dana aspirasi sebagai ladang bancakan anggota DPRA. Baginya, apapun bentuk dan nama program yang penting memberi manfaat bagi rakyat banyak.
"Jika kewenangan mengelola anggaran tidak diberikan lebih baik sekalian saja kewajiban penganggaran pada legislatif dihapuskan. Kami biar fokus kewajiban legislasi dan pengawasan. Tapi dengan catatan, eksekutif jangan campur urusan legislasi,” ujar Muharuddin.
Politik anggaran
Sejauh ini mekanisme pengelolaan dana otsus di Aceh telah dua kali mengalami perubahan. Dalam Qanun No 2 tahun 2008, dana otsus 40 persen dikelola oleh provinsi dan 60 persen dikelola oleh kabupaten/kota. Kemudian qanun itu diubah menjadi Qanon Nomor 2 tahun 2013. Dalam perubahan itu di balik 60 persen dana dikelola oleh provinsi dan 40 persen dana dikelola oleh kabupaten/kota.
Perubahan terakhir dilakukan pada 2016 dengan lahirnya Qanun Nomor 10 tahun 2016. Dalam qanun terbaru ini pengelolaan dana otsus 100 persen berada di provinsi. Kabupaten hanya berhak mengusulkan program, namun keputusannya ada pada gubernur.
Menurut Hayatuddin, perubahan pola pengelolaan menjadi sepenuhnya di provinsi merupakan keinginan salah satu partai manyoritas di DPRA. Mengingat perubahan itu dilakukan menjelang pemilihan kepala daerah 2017-2022. Pasalnya partai mayoritas tersebut juga mengusung calon kepala daerah. Harapannya, jika calon tersebut menang, maka mereka lebih leluasa mengutak-atik dana otsus.
Azhari juga mengakui perubahan qanun pengelolaan dana otsus diinisiasi oleh DPRA. Namun kata Azhari, walaupun pengelolaan 100 persen di provinsi, pemkab memiliki hak mengusulkan program.
Muharuddin memiliki alasan lain mengapa menarik sepenuhnya pengelolaan anggaran ke provinsi. Katanya, pengelolaan 40 persen oleh pemkab/pemko tidak efektif. Tidak sedikit program tidak berjalan. Bahkan, penguasaan anggaran 40 persen oleh pemkab/pemko telah melahirkan raja-raja kecil baru di daerah.
Akan tetapi ada satu kesamaan pandangan antara eksektif dan legislatif di Aceh. Mereka sepakat dana otonomi khusus agar tidak berhenti pada 2027. Sebab, Aceh sangat bergantung pada dana otsus.