PALANGKARAYA, KOMPAS — Dalam kurun waktu dua tahun ini, ada 102 orangutan yang dilepasliarkan setelah menjalani rehabilitasi di Yayasan Borneo Orangutan Survival. Adapun 350 orangutan lainnya masih berada di kandang rehabilitasi.
Lokasi pelepasliaran menjadi salah satu pekerjaan rumah bersama untuk mengembalikan orangutan ke rumah rimbanya.
Tim Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) dan Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Lestari di Kalimantan Tengah pada Selasa (14/8/2018) pagi melepasliarkan 10 orangutan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBR) Kabupaten Katingan.
Pelepasliaran 10 orangutan tersebut sekaligus memenuhi target USAID untuk melepaskan kembali 100 orangutan ke rimbanya sampai akhir tahun 2018. Secara keseluruhan, ada 102 orangutan yang sudah dilepasliarkan sejak Agustus 2016 sampai sekarang.
”Keberlanjutan misi ini sedang kami pikirkan, salah satunya dengan menitipkan misi-misi konservasi pada manajemen hutan tingkat tapak, yakni kesatuan pengelolaan hutan,” ujar Koordinator Lanskap USAID Lestari Rosenda Chandra Kasih di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Rosenda menambahkan, USAID belum menentukan apakah program yang sama akan dilanjutkan pada tahun berikutnya atau tidak. Namun, USAID akan terus mendorong dan membantu Pemerintah Indonesia dalam upaya-upaya konservasi, termasuk perlindungan satwa liar dilindungi.
”Misi seperti ini tidak bisa dikerjakan sendiri, butuh kerja sama yang luar biasa dari semua pihak,” ucap Rosenda.
Terkendala lokasi
CEO Yayasan BOS Jamartin Sihite mengungkapkan, saat ini masih tersisa 500 orangutan yang berada di yayasannya, baik di Kalimantan Timur maupun di Kalimantan Tengah. Ia terus berupaya untuk melepasliarkan semuanya, tetapi masih terkendala lokasi pelepasliaran.
”Dari jumlah itu, tidak semua bisa dilepasliarkan, kami sadari itu. Ada orangutan yang cacat dan tidak berkembang, yang kalau dilepas di hutan akan cepat mati,” kata Jamartin.
Sampai saat ini, pihaknya masih terus melakukan pencarian lokasi yang tepat. Menurut Jamartin, orangutan tidak bisa dilepas di sembarangan hutan. Butuh hutan yang visibel untuk orangutan agar kehidupan mereka juga bebas.
”Dari dulu kami serukan kebebasan orangutan. Jadi, menjelang hari kemerdekaan ini, kami lepas liarkan beberapa orangutan sebagai bentuk merdeka itu sendiri. Bagi Tuhan, manusia dan satwa itu sama,” tutur Jamartin.
Dari dulu kami serukan kebebasan orangutan. Jadi, menjelang hari kemerdekaan ini, kami lepas liarkan beberapa orangutan sebagai bentuk merdeka itu sendiri. Bagi Tuhan, manusia dan satwa itu sama.
Perwakilan TNBBR, Firasadi Nur, menyebutkan, TNBBR saat ini diprediksi hanya mampu menampung 250 orangutan lagi. Menurut dia, dalam pemilihan kawasan untuk orangutan, dibutuhkan proses yang cukup panjang.
”Kami melakukan monitoring dan evaluasi setiap tahun, melakukan analisis dari udara dan darat untuk menilai apakah kawasan itu cocok untuk habitat orangutan atau tidak,” ujar Firasadi.
Menanggapi persoalan lokasi pelepasliaran, Kepala Sub-Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Bidang Pengawetan Jenis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Puja Utama mengungkapkan, hutan di Indonesia sebagian sudah dipegang pemegang izin, tetapi masih memiliki potensi untuk membuat kawasan konservasi di antara konsesi.
”Harus ada integrasi pengelolaan kawasan dari pemerintah daerah dan pusat, juga pihak pemegang izin dan lembaga lainnya,” lanjut Puja.