Boeing Vs Airbus, dan ”Perang” Pun Berlanjut
Ancaman gertakan lewat Twitter ala Donald Trump yang sewaktu-waktu bisa saja hadir tak menciutkan nyali lawan sepadan AS di ”angkasa”. Duel global yang hampir memasuki setengah abad pun terus berlanjut. Kini, medan perang dagang antara Airbus Eropa dan Boeing AS bersiap memasuki era baru, yang justru kembali ke kurun 1960-an, jet komersial kecil berjangkauan relatif pendek.
Pameran Kedirgantaraan Farnborough, Inggris, berakhir 22 Juli 2018 dengan kemenangan pabrikan pesawat AS, Boeing. Pabrikan pesawat terbang AS itu mengantongi pesanan 676 pesawat seharga 92 miliar dollar AS. Sementara Airbus dengan 431 kapal terbang. Harga totalnya 70 miliar dollar AS.
Dalam lebih dari 20 tahun terakhir, pameran kedirgantaraan menjadi etalase bagi duel terbesar antar-entitas bisnis raksasa global, Boeing dan Airbus. Meski tahun ini kalah di Farnborough, Airbus masih sedikit unggul.
Pabrikan milik sejumlah negara Eropa barat itu tercatat masih menyimpan daftar pesanan dan pengerjaan (backlog) 7.200 pesawat. Itu lebih banyak dibandingkan dengan Boeing yang 5.900 pesawat.
Di Farnborough, para eksekutif pemasaran Airbus harus sedikit ekstra keras dalam berjualan. Tidak semua calon pembeli kini dengan senang hati mengumumkan kesepakatan dengan Airbus secara terbuka.
Mereka, yang terutama maskapai penerbangan pelat merah itu, khawatir kontrak terbuka akan memantik retorika ancaman perdagangan yang sering disampaikan Presiden AS Donald Trump lewat cuitan Twitter-nya.
”Kenyataannya, dunia sedang terbangun untuk memahami, kicauan di Twitter yang telah menghantam beberapa bagian dunia tidaklah membantu keadaan,” kata Kepala Penjualan Airbus Eric Schulz. Yang jelas, upaya-upaya frontal Trump untuk lebih menguntungkan AS dalam perdagangan global tidak bakal mengendurkan semangat Airbus dalam perang melawan pesaingnya, Boeing.
Bisnis membuat dan menjual pesawat terbang penumpang memang terlalu besar untuk dilepas ke satu kubu saja. Boeing sendiri mengestimasi, hingga dua dekade mendatang, dunia membutuhkan 42.700 jet komersial (airliner) baru. Kalkulasi itu sudah meningkat dibandingkan perhitungan tahun sebelumnya yang 41.030 unit.
Maka, perebutan pesanan di antara kedua rival itu agaknya tak mungkin mengendur hanya oleh retorika seorang presiden. Apalagi, Boeing dan Airbus kian menyadari, ragam barang dagangan yang memikat bertambah.
Persaingan tidak lagi bertumpu pada penjualan pesawat-pesawat badan lebar (kapasitas 250 hingga di atas 400 penumpang) dan pesawat lorong tunggal 150-200 penumpang yang dikuasai Boeing 737 dan keluarga Airbus A320.
Metode transportasi udara tidak lagi bertumpu pada cara hub and spoke tradisional. Secara sederhana, model ini memerlukan sebuah bandara besar yang relatif besar sebagai penghubung (hub) untuk menyambungkan perjalanan dari dua bandara yang lebih kecil, misalnya seorang yang terbang dengan pesawat kecil dari Bandar Lampung singgah dulu di Bandara Soekarno-Hatta sebagai hub untuk menyambung dengan pesawat yang lebih besar ke Balikpapan.
Tren yang kian berkembang, perjalanan dalam satu wilayah itu bisa dilaksanakan sekali terbang (point to point) menyusul kian agresif dan berkembangnya pesawat penumpang jet regional (regional jet).
Era regional jet
Pesawat model ini punya jarak jangkau yang memadai hingga sekitar 2.000 kilometer. Ukurannya tidak terlalu besar dengan kapasitas puluhan hingga 100 penumpang. Juga mampu mendarat di bandara yang landas pacunya relatif pendek dan sudut ancang-ancang pendaratan yang lebih curam.
Pendek kata, regional jet dirancang ekonomis agar bisa menguntungkan maskapai pemakai saat melayani transportasi dua kota sekawasan yang jumlah penumpangnya tak ramai-ramai amat.
Tiga tahun lalu, jumlah regional jet di seluruh dunia ada 2.600 unit dengan kebutuhan tambahan 3.000 pesawat dalam 30 tahun ke depan. Dalam persentase, 11 persen kebutuhan dunia akan pesawat penumpang jet adalah regional jet.
Airbus dan Boeing sama-sama menyadari daya pikat pesawat low end market tersebut. Maka, Airbus mendekati pabrikan pesawat Kanada, Bombardier, yang telah memproduksi regional jet seri C. Keduanya sepakat pada 1 Juli 2018. Airbus mengambil alih sebagian besar saham produksi C Series dan menyematkan nama baru pada kapal terbang itu, Airbus A 220.
Tak mau kalah, Boeing terbang ke selatan untuk menjadi pemegang saham pengendali divisi pesawat komersial pabrikan Brasil, Embraer, dalam sebuah join ventura baru senilai 4,75 miliar dollar AS, yang diumumkan pada 5 Juli 2018. Selama ini, Embraer memiliki seri E170 dan E175 sebagai andalannya di pasar regional jet.
Duopoli Airbus-Boeing dalam pasar low end pesawat komersial pun terbentuk. Di Farnborough, Airbus sukses menjual 60 unit A 220 dan ada 300 pesawat jet regional Embraer yang memperoleh pesanan.
Duel di pasar tersebut membawa Boeing-Airbus kembali ke masa lalu, era 1960-an. Saat itu, pasar pesawat terbang komersial dikuasai kapal-kapal terbang serupa: bermesin jet turbofan yang baru dikembangkan, berkapasitas puluhan hingga di bawah 200 penumpang, dengan jarak tempuh pesawat hingga sekitar 2.000 kilometer.
Berawal di Eropa
Pada mulanya, Eropa barat adalah pusat. Inggris di benua itu merupakan tempat lahirnya industri pesawat penumpang jet. Ide tentang kapal terbang besar yang melesat tinggi tanpa dengung putaran baling-baling sudah mencuat saat Perang Dunia II belum lagi usai.
Kala itu, sebuah komite yang bertugas mempelajari kebutuhan akan pesawat penumpang sipil di Inggris menilai perlu kehadiran jet airliner yang mampu melintasi Samudra Atlantik.
Berbagai konsep dan rancangan dibuat. Seusai perang, desain akhir yang diminta Brabazon Committee itu pun rampung. Rancangan tersebut mewujud dalam sebuah pesawat berkapasitas 36 penumpang (dalam perkembangannya menjadi hingga 100 penumpang) dengan sayap sayung yang menyudut ke belakang, swept wing. Empat mesin turbojet ditanam di pangkal sayapnya. Masing-masing dua di kiri, dua di kanan.
Sebagai yang pertama, banyak kepioniran rancang bangun pesawat penumpang modern lahir bersamaan dengan pesawat terbang ini. Sebagai contoh, kabinnya ”diisi” dengan udara bertekanan yang membuat para penumpang merasa nyaman bernapas layaknya di permukaan tanah meski tengah melayang ribuan meter tingginya di langit.
Tangki-tangki bahan bakar juga dibuat terkoneksi di dalam sayap. Roda-roda pendarat utamanya juga disimpan dengan dilipat ke arah badan, bukan ditarik masuk ke dalam sarang mesin piston seperti pesawat terbang penumpang baling-baling.
Alhasil, pesawat purwarupa yang dibuat industri De Havilland dan dinamakan Comet tersebut mengangkasa untuk pertama kali pada Juli 1949. Berselang tiga tahun, 1952, 10 pesawat perdana diserahkan pada maskapai penggunanya.
Kehadiran De Havilland Comet mencengangkan dunia, sekaligus membinarkan mata kalangan pengusaha. Lewat Comet, mereka mengendus aliran uang dari bisnis transportasi udara yang menjadi sangat menjanjikan.
Comet membuat perjalanan udara lintas benua yang semula harus ditempuh dalam berhari-hari—termasuk bermalam di kota-kota transit—menjadi hanya puluhan jam.
Terbang 10.821 kilometer dari London ke Johannesburg di ujung Afrika Selatan yang semula memakan waktu hingga tiga hari dipangkas menjadi 23,5 jam. Rute London-Tokyo yang semula memakan waktu total 86 jam dapat ditempuh selama 33 jam 15 menit saja dengan De Havilland Comet.
Tahun berganti, waktu tempuh tersebut semakin pendek seiring dengan semakin mumpuninya jangkauan terbang Comet seri yang lebih kemudian. Seri produksi menjelang 1960 sebagai contoh, punya jangkauan maksimal sekali terbang hingga sejauh 2.816 kilometer.
Terbang 10.821 kilometer dari London ke Johannesburg di ujung Afrika Selatan yang semula memakan waktu hingga tiga hari dipangkas menjadi 23,5 jam.
Di seberang Samudra Atlantik seusai perang, industri pesawat terbang AS menghadapi tantangan yang berbeda. AS adalah negara yang luas alang kepalang, ekonominya kuat, dan produk industrinya amat banyak, juga sangat beragam.
Namun, AS bisa dikatakan terpencil. Negerinya dipisahkan dari negara-negara Asia oleh lautan yang mahaluas, Pasifik. Dan, oleh Samudra Atlantik yang tak kalah lapang untuk ke Eropa. Tak heran, AS selalu tergila-gila dengan segala sesuatu yang superlatif: paling besar, paling cepat, paling jauh.
Oleh karena itulah, pesawat penumpang jet yang pertama kali dirancang di AS adalah yang ukurannya berlipat-lipat dibandingkan Comet. Dua tahun setelah De Havilland Comet mengudara dengan logo maskapai penerbangannya, Boeing meluncurkan prototipe jet airliner pertama AS—yang juga dirancang untuk kepentingan militer sebagai tanker udara—pada 1954.
Pesawat tersebut, Boeing 707, punya kapasitas awal 170-180 penumpang dan dituntut untuk mampu menjangkau jarak lebih dari 6.000 kilometer.
Seperti Comet, kapal terbang AS ini juga ditenagai empat mesin turbojet. Bedanya perkakas penggerak tersebut digantungkan di bawah sayap dengan sebuah cantelan yang dalam dunia penerbangan diistilahkan dengan pilon (aircraft pylon atau hardpoint).
Tahun 1957, Boeing 707 memulai kiprah komersialnya. Dua tahun setelah itu, menyusul pesawat nyaris identik dalam bentuk, ukuran, dan kemampuan, DC-8, yang diproduksi industri pesawat terbang AS lainnya, McDonnell-Douglas.
Pesawat dengan kapasitas penumpang yang banyak lalu berkembang menjadi pesawat badan lebar (wide body) dengan lebih dari satu lorong dalam kabin kemudian menjadi andalan bisnis industri penerbangan AS.
Ketika akhirnya masa itu datang sejak awal 1970-an, Boeing 707 yang merupakan pesawat penumpang jarak jauh (long haul) generasi awal adalah kuda-kuda pembuka yang tepat bagi AS sebagai produsen dan pedagang pesawat.
Setelah Perang Dunia II, politik dunia dikungkung dalam Perang Dingin AS-Uni Soviet lengkap dengan sekutu-sekutunya. Namun, ekonomi global terus merangkak, lalu berlari setelah melewati kurun 1960-an dengan meredanya konflik bersenjata di berbagai tempat: Semenanjung Korea di ”Timur Jauh”, India-Pakistan di Asia Selatan, Arab-Israel di Timur Tengah, dan Vietnam di Asia Tenggara.
Sejak awal 1970 itu pulalah banyak faktor pendukung bermekaran. Teknologi kian merasuk ke berbagai industri barang kebutuhan, negara-negara jajahan yang menjadi merdeka menyediakan pasar potensial, pengeboran minyak dan gas bumi semakin marak dan berdampak pada daya beli yang semakin bagus di berbagai negara muda.
Maka, transportasi udara antarbenua—tidak hanya antarnegara sewilayah atau daerah yang relatif lebih dekat—menjadi kebutuhan penting. Untuk berbagai keperluan, orang semakin perlu terbang dari Asia ke Eropa, Asia ke Amerika, Eropa ke Afrika, dan begitu seterusnya.
Pesawat penumpang jet ”raksasa” AS pun lahir beruntun seperti bunga mekar pada musim hujan. Boeing memperkenalkan jumbo jetnya, Boeing 747, yang prototipenya terbang tahun 1969. Punya dua lantai di bagian depan, bermesin empat, mampu membawa hampir 400 penumpang, pesawat ini amat dahsyat karena mampu menempuh jarak lebih dari 10.000 kilometer, setara Singapura-Roma, nonstop.
Tak mau seluruh ”kue” pesawat penumpang jet badan lebar seluruhnya dihabiskan Boeing, para pesaing domestiknya buru-buru menyiapkan ”loyang” dan memasak ”adonan” mereka. McDonnell-Douglas memproduksi DC-10 pada 1971, pesawat 250-270 penumpang yang mampu mengudara sejauh 7.400 kilometer.
Delapan bulan setelah DC-10, Lockheed menjual L-1011 Tristar yang bisa terbang lebih jauh lagi, 9.650 kilometer dengan jumlah penumpang yang sama banyaknya seperti DC-10. Baik DC-10 maupun Tristar sama-sama ditenagai tiga mesin jet turbofan. Dua mesin berada di bawah sayap dan satu dipasang di pangkal ekor (fin).
Satu faktor yang berperan terhadap kesuksesan AS dalam produksi pesawat terbang komersial jarak jauh saat itu tak lain adalah penguasaan mereka atas teknologi cantelan (pylon) mesin di sayap. Mesin yang digantung di bawah sayap memberi banyak keunggulan.
Raungan mesin tak banyak masuk ke dalam kabin. Begitu pula embusan gas panas pembakaran mesin jet tak akan sampai menggetarkan tubuh pesawat. Dua kemewahan inilah yang kurang dimiliki penumpang De Havilland Comet.
Lebih dari itu, penguasaan paripurna atas teknologi engine pylon di sayap membuat pesawat dapat menenteng mesin yang lebih besar, bertenaga, dan kuat. Agaknya, inilah yang menghambat kemajuan industri pesawat terbang Eropa barat yang pada 1960-an mengepung AS dalam produksi pesawat penumpang jet.
Mesin ekor Eropa
Comet adalah tonggak sejarah teknologi dan industri penerbangan sipil. Namun, pesawat yang hingga akhir produksinya pada 1960 dibuat hingga 112 buah itu juga memiliki banyak kekurangan—sekaligus menjadi pembelajaran bagi desain pesawat berikutnya. Yang paling parah adalah kelelahan metal (metal fatigue) yang cepat menghinggapi pesawat, membuat keretakan pada struktur badan pesawat.
Akibatnya fatal. Baru dua tahun memasuki masa operasional, pada Januari 1954, sebuah Comet yang terbang dari Roma menuju London pecah berantakan di udara dan menewaskan semua dari 56 penumpangnya. Hanya empat bulan berselang, kembali sebuah Comet mengalami kecelakaan dalam penerbangan hingga jatuh ke Laut Tengah.
Kelemahan ini antara lain disebabkan desain jendela kabin saat itu, segi empat dengan sudut tajam.
Penyelidikan menunjukkan, tekanan udara dalam kabin yang kian besar ketika pesawat terbang semakin tinggi tak mampu ditahan kulit pesawat. Kelemahan ini antara lain disebabkan desain jendela kabin saat itu, segi empat dengan sudut tajam, membuat beban pada logam di bagian-bagian tersebut jauh lebih besar dalam menahan tekanan. Desain jendela pun diperbaiki dengan bentuknya yang oval hingga sekarang.
Kebisingan dan getaran dalam kabin akibat mesin yang ditanam di pangkal sayap adalah kekurangan yang lain. Maka, industri pesawat terbang Perancis, Sud Aviation, menawarkan solusi.
Pesawat rancangannya, Caravelle, punya kabin yang lebih senyap berkat dua mesin yang dipasang di belakang, di sisi kiri dan kanan pantat pesawat. Caravelle yang mampu memuat hingga 140 penumpang tersebut terbang perdana pada 1955 dan mulai memperkuat maskapai penerbangan pada 1959.
Seperti halnya mesin di bawah sayap, mesin Caravelle juga perlu cantelan. Namun, perhitungan teknis untuk menghasilkan pilon Caravelle tidaklah serumit Boeing 707. Satu penyebabnya, tubuh (fuselage) pesawat sebagai fondasi cantelan merupakan struktur yang jauh lebih kokoh dan kaku dibandingkan sayap.
Pesawat-pesawat semodel Caravelle pun bermunculan dari negeri-negeri tetangga Perancis. Pada 1964, Vickers (Inggris) menyerahkan pesanan pertama VC10 dengan empat mesin turbojet di ekor pesawat. Setiap sisi kapal terbang berkapasitas 150-174 penumpang itu dicantelkan dua mesin jet.
Pada tahun yang sama, Hawker Siddeley (Inggris) meluncurkan Trident dengan dua mesin dan pada 1965 hadir One-Eleven (BAC, Inggris) yang mirip Trident. Tahun 1967, industri pesawat terbang Belanda, Fokker, menerbangkan jet airliner bermesin dua, F28 Fellowship.
Dalam dekade itu, AS menandingi dengan pesawat jarak menengah yang sepadan. McDonnell Douglas mengandalkan DC-9 yang jarak tempuhnya masih kalah dibandingkan Trident, One-Eleven, ataupun VC10.
Hanya Boeing yang konsisten dengan mesin di bawah sayap melalui seri 737 yang purwarupanya terbang perdana pada 1967 meski sebelumnya juga mengikuti model mesin belakang (tiga buah) melalui Boeing 727.
Pesawat-pesawat penumpang era 1960-an memang jauh lebih nyaman dibandingkan Comet. Kesenyapan kabin juga didukung dengan dimulainya pemanfaatan mesin jet teknologi baru, turbofan. Selain lebih senyap, turbofan juga lebih hemat bahan bakar.
Dengan demikian, dengan membawa avtur dalam jumlah yang sama, pesawat bermesin turbofan dapat terbang lebih jauh dibandingkan yang ditenagai turbojet. Alhasil, turbofan adalah teknologi yang diperlukan untuk membuat pesawat-pesawat penumpang jarak jauh.
Turbofan bisa lebih hemat BBM karena hanya sebagian aliran udara yang telah dimampatkan cakram kipas di bagian depan mesin, dibakar dengan semburan bahan bakar. Sebagian lainnya dibiarkan mengembus deras keluar selongsong mesin, membantu memberi tenaga dorong.
Karena pembagian aliran udara itulah—yang dibakar dan tidak—turbofan memerlukan diameter cakram kipas yang lebih besar meski dimensi mesinnya tidak lagi sepanjang turbojet.
Di balik banyak keunggulannya, diameter cakram kipas itu pulalah yang membuat turbofan sebagai penghambat perkembangan jet airliner Eropa yang mengandalkan desain mesin di ekor dan belum mumpuni dalam teknologi pilon sayap.
Pasalnya, untuk bisa ”naik kelas” dari pesawat jet jarak dekat-menengah ke wide body airliner, pabrikan memerlukan mesin yang bertenaga lebih besar. Konsekuensinya diperlukan cakram kipas yang lebih besar.
Mesin seperti itu tak mungkin dicantelkan di bagian ekor karena pusat gravitasi pesawat, sebuah titik imajiner di fuselage akan bergeser secara ekstrem. Akhirnya, seluruh kalkulasi dalam merancang struktur bangunan pesawat pun berantakan.
Dunia mulai memerlukan pesawat penumpang jet yang jauh lebih besar, mengangkut barang lebih banyak, dan terbang lebih jauh.
Sepanjang 1960-an, Eropa dan AS sama-sama menikmati hasil penjualan pesawat dagangan mereka. Pesanan memang terus menggunung untuk moda transportasi udara yang mampu mengangkut hingga sekitar 100 penumpang dan menjangkau jarak hingga 2.000 kilometer. Perkecualian pada VC10, yang meski daya angkut maksimalnya 170 penumpang, bisa terbang hingga 6.000 kilometer.
Namun, di pengujung dekade itu, produsen-produsen Eropa terenyak. Dunia mulai memerlukan pesawat penumpang jet yang jauh lebih besar, mengangkut barang lebih banyak, dan terbang lebih jauh. Eropa tak memiliki kapal terbang ala Boeing 707 dan DC-8.
Pada 1970-an, Perancis mencoba mengimbangi kemajuan pesat perdagangan pesawat-pesawat penumpang AS dengan menerapkan rancangan mesin yang digantung di bawah sayap. Malang, upaya Dassault (Perancis) dengan Mercure yang coba menandingi keberadaaan medium haul Boeing 737 tak sukses.
Tren dua mesin
Dalam aroma bakal kian mendominasinya pesawat-pesawat badan besar AS itulah Eropa—Inggris, Perancis, dan Jerman—bergabung. Konsorsium tersebut mencoba menghadang laju jumbo jet Boeing 747, DC-10, dan L-1011 Tristar dengan rancangan pesawat badan besar yang tak kalah canggih: A-300.
Berbeda dari para penguasa asal AS, A-300, yang hanya ditenagai dua mesin Rolls Royce di bawah sayap. Sesungguhnya ini sebuah lompatan besar karena menawarkan biaya yang lebih ekonomis bagi maskapai pemakai. Namun, sepanjang 1970-an minyak bumi masih berlimpah, relatif murah.
Lagi pula, pesawat komersial jarak jauh bermesin empat atau tiga lebih menjanjikan keamanan dan keselamatan terbang. Bahasa awamnya, jika satu mesin Boeing 747 atau DC-10 ngadat di udara, keduanya masih punya tiga dan dua mesin yang berfungsi.
Itulah yang membuat entitas AS, terutama Boeing, tetap melenggang digdaya dalam penjualan jet airliner badan besar hingga paruh pertama 1990-an. Hingga kurun itu pula, Airbus yang terus mengandalkan A-300 belum bisa menyamai.
Meski terus menjadi yang terdepan dalam inovasi semisal kokpit dengan hanya dua kru (pilot dan kopilot, menghapus posisi flight engineer), kemudi responsif dan ringan fly by wire, Airbus baru bisa menggerogoti pasar AS di kelompok pesawat jarak dan badan sedang.
Boeing 737 diganggu Airbus A-310, A-319, dan A-320 yang menawarkan commonality, kesamaan dalam berbagai segi, sehingga tidak perlu biaya besar untuk pengoperasian dan perawatan bagi sebuah maskapai jika menggunakan produk Airbus dalam berbagai seri sekaligus.
Bahkan, Airbus sempat menyimpang dari tradisinya sebagai produsen twin-engines airliner. Pada 1987, Airbus mengumumkan rencana membuat dua pesawat badan besar jarak jauh. Satu pesawat bermesin empat (A-340) dan satu lagi bermesin dua (A-330).
Perang mulai seimbang ketika dunia tidak lagi bisa bermanja pada minyak bumi sejak pengujung 1990-an. Keinginan utama maskapai penerbangan bergeser pada pesawat-pesawat yang paling irit, yang paling ekonomis dalam biaya operasional.
Lockheed rontok dalam persaingan pesawat komersial ini, begitu pula McDonnell Douglas—yang kemudian diakuisisi Boeing.
Pada saat itu, Airbus telah sekian langkah di depan dengan pengalamannya yang teguh pada twin engines dan membuktikan, pesawat badan besar dengan dua mesin pun dapat diandalkan keamanan terbangnya. Lockheed rontok dalam persaingan pesawat komersial ini, begitu pula McDonnell Douglas—yang kemudian diakuisisi Boeing. Kini, perang mengerucut pada duel Boeing versus Airbus.
Boeing dan Airbus terus berlomba. Peluang apa pun dijajaki keduanya untuk menjadi yang terdepan. Airbus, misalnya, mengendus ”hari kematian” kebanggaan Boeing, 747, yang konsepnya telah semakin berumur.
Pada 1996, Airbus merilis konsep matang superjumbo, pesawat dua lantai penuh A-380. Jika Boeing 747-400ER yang merupakan seri terbaru mampu mengangkut 416 penumpang, A-380 lebih dahsyat lagi, hingga 555 penumpang.
Kini, A-380 melenggang sendirian sebagai ”kapal induk” di pasaran maskapai penerbangan dunia. Boeing sendiri mengirimkan pesanan terakhir jumbo jet penumpang, 747-8 ke maskapai Korean Airlines, semester kedua tahun silam. Boeing menyerah.
Petingginya mengakui, Boeing 747 tak lagi punya masa depan sebagai pesawat penumpang walau terus bertahan memproduksi pesawat raksasa itu sebagai pengangkut barang. Di sisi lain, sejak pertama kali diserahkan kepada pemesan awal 2000-an, Airbus telah menjual 335 double decker A-380.
Berbeda dari desain pesawat di kategori yang lebih tinggi, ring pertarungan baru di pasar regional jet dilakukan Airbus dan Boeing dengan cara potong kompas. Keduanya membeli saham mayoritas dari pabrikan lain, bukan merancang sendiri pesawat terbang dari awal.
Faktor ekonomi dan keterdesakan agaknya mewarnai keputusan tersebut. Pemain-pemain ”kecil” telah lebih dulu melirik pasar tersebut. Selain Embraer dan Bombardier, Mitsubishi (Jepang) juga telah mengembangkan dagangan mereka, MRJ. Rusia juga gencar dengan Sukhoi Superjet 100 dan Antonov An148 dan 158. Bahkan, China tidak mau ketinggalan dengan meluncurkan Comac ARJ21.
Kehadiran para pemain lain itu memaksa Airbus dan Boeing harus bermain cepat. Kiat tradisional jelas memakan waktu mengingat merancang dari awal hingga prototipe pesawat mengudara perlu tiga-empat tahun. Itu belum beberapa tahun tambahan hingga pesawat pertama dapat diserahkan kepada maskapai pembeli.
Dengan potong kompas, raksasa Airbus dan Boeing membalikkan keadaan. Pasalnya, keduanya juga sudah membidik bisnis aviasi yang amat menguntungkan meski tidak glamor: bisnis perawatan pesawat dan suku cadang.
Dengan kekayaan yang dimiliki, mereka bakal cepat menguasai dua sektor itu di berbagai belahan dunia, sekaligus membuat A220 dan Embraer 170/175 menjadi pilihan yang paling menjanjikan.
Akankah Sukhoi, Mitsubishi, dan Comac rontok tergerus Boeing dan Airbus, seperti pabrikan-pabrikan AS dan Eropa di masa lalu? (REUTERS/AFP)
Referensi:
- Boeing versus Airbus: The Inside Story of the Greatest International Competition in Business, John Newhouse, Alfred A Knopf 2008
- Jane’s Encyclopedia of Aviation
- Jane’s All The World’s Aircraft, Paul Jackson (ed), 2005