Malam telah jatuh ke pangkuan ibu pertiwi. Kabut dan angin berembus tenang menerpa kulit berbalut jaket. Jumat (3/8/2018), Jazz Atas Awan yang sedianya mulai pukul 19.30, tak kunjung dimulai. Perempuan, laki-laki, tua-muda bergegas mengerubungi api unggun yang menjilat-jilat dari dalam drim. Menikmati lantunan jazz di alam terbuka Dataran Tinggi Dieng jadi sensasi yang dinanti, apalagi embun di musim kemarau ini kian rentan mengkristal dan membeku jadi butiran es nan dingin.
Baru pukul 20.30 musik dari grup band Wedding Jahe dari Bandung terdengar mengudara. Semua mata segera mengarah ke panggung berukuran 20 meter x 12 meter berdekorasi bambu dan topeng lengger yang terpajang garang di tengah panggung dengan mata merahnya yang tersorot.
Lagu dari Queen berjudul Bohemian Rhapsody segera membuat para wisatawan Dieng Culture Festival IX larut berdendang. Setelah membawakan sejumlah lagu ciptaan mereka seperti Dialog Hujan dan Dewi Padi, band yang beranggotakan Erlangga Gautama (gitaris), Erlangga Nugraha atau Mbos (vokal), dan Rezki Delian (perkusi) ini mengajak penonton bernyanyi bersama lagu “Untuk Dikenang” dari Jikustik. “Seru banget, sulit metik gitar karena kaku kedinginan,” kata Erlangga Nugraha di belakang panggung.
Selain Wedding Jahe, malam yang dinginnya mencapai 6 derajat Celsius itu juga dimeriahkan dengan tampilan grup band Best Friend Project, Garhana, Everyday, dan 5 Petani. Sekitar pukul 21.47, listrik dari genset untuk panggung dan peralatan musik sempat padam beberapa menit. “Suhu yang dingin ini membuat solar membeku dan genset padam,” tutur Kepala Desa Dieng Kulon Slamet.
Benar saja, kemudian sekitar pukul 22.15, udara kian dingin dan embun mulai membeku. Embun yang semula menitik dan membasahai permukaan jok sepeda motor serta kap mobil mengeras dan mengkristal jadi es keputih-putihan. Sebagian penonton kemudian mencari minuman penghangat di sekitar panggung dan bahkan ada yang meninggalkan lapangan Jazz Atas Awan. Pukul 22.45, grup band Everyday mengajak ratusan penonton yang masih tersisa untuk berdiri dan berjoget untuk menghalau dingin.
Menjelang pergantian hari, grup band 5 Petani dari Bandung yang membawakan musik instrumental mengajak para penonton bernyanyi lagu Persahabatan yang populer dalam film Petualangan Sherina.
Selanjutnya band yang paling ditunggu yaitu Gugun Blues Shelter akhirnya naik ke panggung pukul 00.05. Muhammad Gunawan alias Gugun (gitaris dan vokal) yang sejak di bawah panggung melipat tangan di dada tampak kedinginan kemudian berlari kecil ke atas panggung menyambar mik dan gitarnya. Bersama Adityo Wibowo alias Bowie (drumer) dan Fajar Adi Nugroho alias Fajar (bassis), mereka mengentak dataran tinggi Dieng dengan lagu pertama Kandas yang langsung disambut meriah oleh para penonton. “Ini pertama kali kami main di dalam kulkas,” kata Gugun di atas panggung.
Lagu berikutnya dari Gugun Blues Shelter adalah Mobil Butut dan Sweet Looking Women. Fajar sempat bermain-main menggesek-gesekkan sepatu ke permukaan lantai panggung yang ikut membeku jadi es. Pada jeda lagu, Gugun kembali berbicara menyapa penonton: “Keram gak? Terima kasih sudah mengundang kami untuk dingin-dingin. Jempol gue kayaknya keram...”
Pada lagu keempat saat menyanyikan lagu Hitam Membiru, Gugun tiba-tiba meletakkan gitarnya dan berlari kecil ke samping panggung sambil menggesekkan kedua telapak tangan dan memberi kode dadah kepada para penonton. Permainan solo bas dan entakan drum Bowie mengisi kekosongan jeda yang berlangsung beberapa menit. Namun, karena memang Gugun tidak bisa melanjutkan permainan, Bowie akihrnya angkat bicara. “Tadi dua jam, ngaret. Jadi tangannya luka. Jadi mohon maaf sebesar-besarnya semoga kalian semua sehat-sehat dan sampai rumah dengan selamat,” kata Bowie yang disambut tepuk tangan maklum dan sedikit teriakan kecewa dari penonton.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara Dwi Suryanto mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi pagelaran jazz terutama saat udara ekstrem hingga turun berkisar -2 derajat Celsius sampai -4 derajat Celsius. Menurut Dwi, keterlambatan acara terjadi karena peralatan termasuk genset terdampak suhu dingin, yaitu solar yang membeku sehingga menghambat proses persiapan.
Founder Jazz Atas Awan Budi Hermanto menyampaikan, pada pagelaran jazz tahun ini, memang ada variasi tampilan, yaitu memasukkan musik blues. “Untuk materi memang ada musik blues. Tidak murni jazz karena tidak semua traveller yang ikut Dieng Culture Festival bisa menikmati jazz,” kata Budi.
Terlepas dari segala persiapan yang menemui sejumlah kendala, Pito (28) salah satu wisatawan dari Jakarta mengapresiasi pagelaran jazz atas awan ini. Pito memang telah jauh hari memesan tiket untuk bisa datang lagi ke Dieng. Kali ini adalah kunjungannya kedua setelah tahun lalu juga sempat mengikuti DCF 2017. “Tahun ini memang lebih dingin. Seru karena di Jakarta tidak ada,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan pengunjung lainnya. Yulia (28) dari Jakarta tetap tertarik mengikuti rangkaian acara DCF, apalagi tahun ini embun es mewarnai pemandangan di Dieng. “Jazz di tempat ini beda karena dinginnya dan tempatnya yang bagus,” katanya.