SIBOLANGIT, KOMPAS – Burung beo Nias Gracula religiosa robusta yang merupakan maskot fauna Sumatera Utara itu kini sangat sulit ditemukan di habitatnya dengan status sangat terancam punah. Burung endemik Kepulauan Nias dan pulau-pulau kecil di sekitarnya itu membutuhkan penangkaran agar bisa selamat dari ancaman kepunahan.
“Jumlahnya di alam sudah sangat sedikit sehingga sangat sulit untuk berkembang biak. Hingga saat ini belum ada penangkaran beo Nias di Sumut atau di daerah lainnya,” kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Hotmauli Sianturi pada peringatan Hari Konservasi Alam Nasional di Pusat Penyelamatan Satwa/Taman Wisata Alam Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Jumat (10/8/2018).
Pada acara tersebut, BBKSDA Sumut menerima penyerahan taksidermi (bangkai satwa yang telah diawetkan) seekor beo Nias dari Indonesian Species Conservation Program (ISCP). ISCP sempat merehabilitasi dan mencoba mengembangbiakkan empat ekor beo Nias yang diserahkan warga Nias kepada mereka. Namun, empat ekor beo Nias itu mati pada tahun 2015 sebelum bisa berkembang biak.
Hotmauli mengatakan, jumlah beo Nias di alam liar terus berkurang karena maraknya perburuan. Pada tahun 1990-an, burung tersebut masih banyak dijumpai di Kepulauan Nias dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Menurut Hotmauli, hingga kini belum ada penangkaran resmi beo Nias. Baru-baru ini, mereka menerima permohonan izin penangkaran satwa dilindungi itu. “Namun, kami masih harus memeriksa dulu kesiapan mereka dari sisi kandangnya, sumber daya manusianya, serta sarana dan prasarana lainnya,” ujar Hotmauli.
Hotmauli mengatakan, ke depan mereka akan mendorong penangkaran beo Nias. Dengan penangkaran, sebanyak 10 persen dari hasil pengembangbiakan harus dilepasliarkan ke alam. Menurut Hotmauli, penangkaran harus dilakukan untuk menyelamatkan beo Nias dari kepunahan.
Hotmauli mengatakan, ancaman paling besar yang dihadapi beo Nias adalah perburuan. Burung tersebut banyak diburu masyarakat untuk diperjualbelikan sebagai hewan piaraan.
Direktur Eksekutif ISPCP Rudianto Sembiring mengatakan, kendala paling utama dalam mengembangbiakkan beo Nias adalah minimnya tenaga penangkar yang mempunyai pengetahuan tentang beo Nias. Selain itu, mereka juga terkendala pembiayaan. “Tidak banyak donor dalam negeri maupun luar negeri yang tertarik pada konservasi burung, termasuk untuk beo Nias,” katanya.
Rudianto mengatakan, mereka mendapat izin rehabilitasi beo Nias dan kukang dari BBKSDA Sumut pada tahun 2014. Ketika itu, mereka menerima empat ekor beo Nias dari masyarakat untuk direhabilitasi dan dikembangbiakkan di Sibolangit. Namun, setelah satu tahun dipelihara, empat ekor beo Nias tersebut mati sebelum berkembang biak. Tiga di antaranya dikubur dan seekor lainnya dibuat menjadi opsetan atau taksidermi.
Rudianto mengatakan, beo Nias adalah spesies endemik Sumut yang harus diselamatkan dari kepunahan. Beo Nias mempunyai ciri yang unik dibanding beo lain karena burung ini mempunyai dua jambul atau gelambir berwarna kuning yang menyatu di belakang kepalanya. Burung ini juga mempunyai dua pial di sisi kepalanya di dekat telinga. Satwa ini termasuk satwa cerdas yang bisa meniru suara manusia. “Beo Nias juga merupakan jenis beo dengan badan paling besar dibanding beo lain. Panjangnya bisa sampai 40 sentimeter,” kata Rudianto.
Rudianto mengatakan, penangkaran sangat efektif untuk menambah populasi beo Nias. Ia mencontohkan jalak Bali yang dulu sangat terancam punah, kini sudah banyak lagi di alam liar setelah ada penangkaran.