Perempuan China Gerakkan Kampanye #MeToo untuk Melawan Pelecehan
Oleh
Myrna Ratna
·3 menit baca
Sampai hari ini, perempuan di China masih dibayangi diskriminasi jender dan nilai-nilai tradisi yang mengharuskan mereka bersikap patuh. Alhasil, nilai-nilai itu telah disalahgunakan secara meluas yang berujung pada kekerasan seksual terhadap perempuan.
Skandal kekerasan seksual yang terungkap ke publik, bulan lalu, menyebabkan Lei Chuang, pendiri Yi You—lembaga nonprofit yang melawan diskriminasi terhadap para pengidap hepatitis B—mundur dari jabatan setelah ia mengaku melakukan pelecehan.
Setelah kasus itu bergulir di publik, sedikitnya 20 perempuan kemudian berani bersuara bahwa mereka telah menjadi korban pelecehan seksual oleh sejumlah sosok yang namanya dikenal publik. Hal ini mendorong Elaine Chen, manajer produk kecantikan, memanfaatkan grup obrolan daring, WeChat, untuk mendiskusikan isu pelecehan bersama para perempuan di China, termasuk mendiskusikan langkah-langkah hukum yang harus diambil.
”Tujuan kami sederhana saja, kami ingin membentuk tempat yang aman bagi perempuan untuk berani berbicara. Dan jika mereka membutuhkan bantuan legal ataupun konseling, mereka bisa memperolehnya di sini,” kata Chen.
Respons terhadap grup diskusi ini sangat cepat. Hanya dalam sepekan sudah ada 200 orang yang terlibat. Sebagian dari mereka bersedia menjadi sukarelawan untuk memberikan bantuan hukum, melakukan kampanye media, serta merekam dan mengumpulkan kasus-kasus. Sejumlah kasus pelecehan seksual yang sudah dipublikasikan di media juga didiskusikan di grup ini.
”Ini akan menjadi kampanye yang panjang. Kami tidak bisa hanya berdiam diri dan berpangku tangan,” kata seorang anggota grup yang juga seorang aktivis perempuan.
Gerakan #MeToo
Apa yang terjadi di China ini mengingatkan pada gerakan #MeToo yang bergulir tahun lalu setelah skandal pelecehan seksual oleh produser film Hollywood, Harvey Weinstein, terhadap puluhan perempuan. Sejumlah korban pelecehan itu adalah para aktris film papan atas.
Di China, gerakan yang mirip #MeToo ini mulai bergulir, Desember lalu, setelah seorang profesor dari sebuah universitas dituduh melakukan pelecehan seksual. Namun, gelombang protes ini cepat diredam oleh Pemerintah China, termasuk dengan menyensor sejumlah unggahan di media sosial.
Meski demikian, jutaan pengguna medsos di China menemukan cara lain untuk mengatasi penyensoran, antara lain dengan menggunakan frasa rice bunny yang dalam bahasa China dilafalkan dengan Mi Tu.
Para perempuan China itu kini mencoba mendorong agar para perusahaan memiliki ”kode etik bekerja”, selain juga membentuk semacam saluran komunikasi secara langsung (hotline) agar para korban pelecehan bisa melaporkan kasusnya secara anonim.
”Kami berharap semua bidang industri memiliki mekanisme untuk bisa menjamin bahwa kasus-kasus pelecehan tidak terjadi lagi. Setelah itu, kami berharap akan ada reformasi undang-undang di tingkat nasional,” kata Wang Ying, Wakil Direktur Inno Community Development Organisation.
Persoalannya, di China belum ada undang-undang yang khusus menangani perundungan. Alhasil, para korban perempuan harus menggunakan ketentuan hukum, seperti ketentuan perselisihan kerja, untuk mengajukan kasusnya.
Lv Xiaoquan, pengacara dari sebuah biro hukum, bahkan menganggap reformasi hukum tersebut bakal sulit dicapai di China. Alasannya, sampai saat ini perempuan masih mengalami diskriminasi yang ditopang oleh nilai-nilai tradisi yang menekan perempuan untuk menjadi sosok penurut.