Mesin Pengolah Kopi dari Pemerintah Tidak Sesuai Kebutuhan
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·3 menit baca
JEPARA, KOMPAS – Petani kopi rakyat di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, menjelaskan, mesin-mesin pengolah kopi di desanya terpaksa tidak dimanfaatkan karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan petani kopi di sana.
Mereka pun berharap, pemerintah bersedia untuk menukar sejumlah mesin pengolah kopi yang belakangan ini sudah tidak terpakai lagi.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Kopi (Gapoktan) Desa Tempur, Jepara, Syaiful Anwar (47), Jumat (10/8/2018), mengemukakan, kualitas kopi hasil olahan petani kopi setempat meningkat dalam lima tahun terakhir. Buktinya, petani kopi sudah rutin memasok sejumlah kafe kopi dan kedai kopi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Malang dengan kopi bubuk dari kopi organik Tempur.
Menurut Syaiful, kopi Tempur tak hanya dikenal sebagai kopi organik. Kopi Tempur punya rasa khas, yakni rasa gula jawabnya sangat kuat dan pahitnya kental meski dari varian robusta, bukan arabika.
"Kafe-kafe di Yogyakarta misalnya sudah seminggu ini minta tambahan satu kuintal kopi green bean, jadi totalnya kami harus kirim dua kuintal per bulan,” ujar Syaiful Anwar di lokasi pengolahan kopi di Dusun Petung, Desa Tempur.
Mesin-mesin bantuan pemerintah, baik itu berasal dari kementerian pertanian maupun Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, yang pernah diberikan kelompok tani kopi di Tempur, jumlahnya lebih dari lima unit mesin pengolah.
Dari jumlah tersebut, dua mesin dapat berfungsi dan itu pun setelah dilakukan rekayasa dengan mengubah komponen mesin ke bengkel mesin di Tlogowungu, Kabupaten Pati.
Petani kopi di Dusun Duplak, Tempur, Zaenudin mengatakan, untuk merombak mesin pengolah kopi supaya berfungsi optimal membutuhkan biaya besar. Satu mesin pengupas kulit, misalnya, memerlukan ongkos biaya rekayasa mesin sampai Rp 10 juta. Dengan biaya besar untuk melakukan rekayasa mesin itu, petani kopi tidak mampu untuk membiayainya.
Ada pun mesin-mesin yang terbengkalai tidak lagi berfungsi itu di antaranya mesin pengupas kulit maupun mesin pengolah biji kopi. Satu mesin pengolah kopi besar, justru kini tergeletak di tepi jalan dusun, diberi atap seolah-olah jadi monumen mesin kopi.
Satu mesin lagi tersimpan di samping rumah petani kopi. Mesin-mesin pengolah kopi itu kondisinya masih bagus, namun sayangnya tidak bisa dimanfaatkan petani maupun anggota kelompok tani kopi.
Ketua Kelompo Tani Sido Makmur Duplak, Tempur, Jatmiko (52) menuturkan, petani sangat memerlukan mesin pengolah. Mesin itu untuk mempercepat kerja petani dalam menangani kopi hasil panen.
Mesin pengolah kopi seperti mesin pemecah kulit bantuan dari pemerintah itu, ternyata tiba bisa mengupas kulit kopi. Hanya saja, kopi yang terkupas dan masih bercangkang itu, ternyata keluarnya menjadi satu dengan pecahan kulit.
Mesin pengupas kulit itu semestinya dapat berfungsi optimal. Kopi yang telah terkupas kulitnya seharusnya keluar ke arah lubang depan dan kulit yang sudah terkupas terbuang ke lubang mesin di bagian belakang.
"Kenyataannya, kopi dan pecahan kulitnya keluar bareng ke arah lubang depan. Ini jadi merepotkan sekali karena petani harus bekerja dua kali untuk memisahkan biji kopinya,” ujar Jatmiko.
Petani kopi berharap, mesin-meisn yang malfungsi itu diganti. Harga mesin bantuan itu juga cukup mahal, kisarannya per unit bisa sampai di atas Rp 15 juta per unit, bahkan ada yang sampai Rp 25 juta per unit.
Desa Tempur merupakan salah satu desa penghasil kopi robusta yang mulai terkenal di Jepara, menyusul aroma kopi Tempur dinilai khas. Tiap musim panen, petani disini bisa menghasilkan kopi kisaran 600 ton sampai 800 ton kopi kering, digarap oleh 10 kelompok tani kopi.