Mengenal Suku Anak Rawa di Siak, Riau
Alkisah pada masa lalu terjadi perang saudara dalam satu komunitas adat yang menempati wilayah pesisir timur Pulau Sumatera yang berbatasan dengan Selat Rangsang, Kepulauan Meranti, Riau. Perang berdarah dipicu oleh kelakuan sebuah keluarga yang menyembunyikan hati babi hasil buruan di hutan, hanya untuk konsumsi kerabat sendiri. Padahal, dalam aturan adat, hati babi buruan wajib dibagikan kepada seluruh anggota komunitas.
Pelanggaran aturan adat itu memicu perkelahian dan pertumpahan darah. Seluruh warga akhirnya saling bunuh sehingga tiada orang yang hidup di kampung itu. Terjadi peristiwa ”lancur darah” atau darah mengalir dan ”leleh rawa” menggenangi rawa.
Untungnya dua orang bersaudara selamat dari perang saudara itu karena sedang tidak berada di kampung. Kedua bersaudara itu kemudian membentuk sebuah komunitas baru dengan menyebut diri Suku Anak Rawa.
Itulah kisah asal usul Suku Anak Rawa yang diceritakan oleh Alit (32), Ketua Kerapatan Adat Suku Anak Rawa, saat berbicang dengan Kompas di Kampung Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau, Selasa (31/7/2018). Menurut Alit, sukunya memiliki kekerabatan dengan suku Akit, suku anak laut yang menempati wilayah Pulau Rupat, Bengkalis, dan Kepulauan Meranti.
Suku Anak Rawa adalah salah satu komunitas tertinggal yang masih tersisa di Riau. Masih ada suku lain yang hampir sama, yaitu Suku Sakai, yang menempati hutan di konsesi kawasan hutan tanaman industri grup Sinar Mas di wilayah Kandis, Kabupaten Siak, Suku Talang Mamak, di Taman Nasional Bukit 30, Indragiri Hulu dan Suku Akit.
Tidak ada yang tahu kapan komunitas suku Anak Rawa bermukim di lokasi pesisir itu. Menurut Alit, nenak moyangnya sudah menetap di sana semasa Kerajaan Siak masih berkuasa. Sayangnya, tidak ada bukti tertulis apa pun tentang keberadaan suku Anak Rawa yang terhubung dengan Kerajaan Siak.
Yang jelas, suku itu mengalami keterisolasian yang sangat lama, bahkan setelah Indonesia merdeka 73 tahun lalu. Sampai dekade lalu, akses transportasi darat menuju Kampung Penyengat belum ada. Kampung itu hanya dapat dijangkau lewat jalur laut dengan menggunakan perahu tradisional bermesin tempel yang disebut pompong selama tiga jam dari Sungai Apit, ibu kota kecamatan. Dari Pekanbaru, perjalanan ditempuh dalam tempo 10 jam.
Suku Anak Rawa adalah komunitas yang menutup diri dari orang luar. Awalnya, mereka bermukim di Kampung Sungai Rawa yang lebih menjorok ke daratan. Namun, ketika kampung itu didatangi oleh pendatang, ketua suku mengajak warganya pergi menjauh ke pesisir dan menempati wilayah Kampung Penyengat sekarang ini.
”Mudah-mudahan, ini merupakan kampung kami terakhir. Semoga warga kami tidak berpindah-pindah lagi,” kata Alit.
Seperempat abad lalu, seluruh warga suku merupakan penganut animisme. Mereka adalah penyembah roh nenek moyang. Perubahan mulai terjadi pada saat masuknya misionaris agama Kristen ke wilayah itu 25 tahun lalu.
Setelah itu masuk pula pembawa agama Buddha dan Islam. Ternyata, Buddha lebih diterima komunitas sehingga menjadi agama mayoritas warga di kampung tersebut.
Suku Anak Rawa memiliki budaya dan adat-istiadat yang ditinggalkan nenek moyang. Budaya itu masih dijalankan oleh warga meskipun sudah berpindah agama. Menurut Alit, mereka merayakan hari besar adat Tujuh Liku. Pada hari itu, seluruh warga beramai-ramai membersihkan kampung. Mereka akan membuat sesajen di pohon punak besar di hutan kampung dan di depan rumah.
”Pada hari raya Tujuh Tiku, kami akan membuat sesajen, berdoa memanggil roh nenek moyang dan kemudian makan bersama,” ujar Alit.
Budaya ini sempat mendapat kendala tatkala beberapa pemuka agama melarang, kecuali Buddha. Meski sempat terjadi pertentangan, kini muncul kesepakatan adat, tidak ada paksaan untuk melaksanakan upacara adat dan tidak ada pula sanksi apabila warga tidak ikut merayakannya.
”Ternyata perayaan adat itu masih melekat kuat bagi warga meskipun mereka sudah menganut berbagai agama. Kami juga menghidupkan kembali seni dan budaya asli suku Anak Rawa,” kata Alit.
Kampung Penyengat baru terbuka lewat akses darat setelah pemerintah Kabupaten Siak membangun Jembatan Sungai Rawa pada 2009. Pada saat pertama kali mobil masuk ke kampung itu, kata Alit, warga mengejar dan terheran-heran melihat bentuk kendaraan roda empat tersebut.
Meski sudah terbuka dari akses transportasi darat, keterisolasian yang sangat lama telah membuat pemikiran warga suku Anak Rawa jauh tertinggal, terutama dalam hal pendidikan. Tidak banyak orangtua merasa perlu mendukung anaknya bersekolah.
Buat orangtua di sana, anak laki-laki tidak perlu sekolah. Tanpa sekolah pun, kalau sudah besar, dapat bekerja membantu bapaknya. Apalagi anak perempuan, yang tugasnya mengurus suami.
Angka partisipasi sekolah masih rendah. Menurut Alit yang juga guru di SMPN 6 di Kampung Penyengat, murid SMP yang berasal dari kampungnya hanya mencapai belasan orang dari total 101 siswa. Itu pun tersebar dari kelas VII, VIII, dan IX. Lebih banyak murid berasal dari kampung lain.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Siak, jumlah siswa SDN 18 di Kampung Penyengat 203 orang. Sebanyak 35 siswa merupakan murid kelas VI. Kalau saja seluruh murid kelas VI SD itu tamat dan melanjutkan sekolah ke SMPN 6, tentu angka partisipasi sekolah menjadi lebih besar.
Sampai 2005 belum ada anak suku Anak Rawa yang menamatkan SMA. Alit menjadi orang pertama yang lulus SMA dan kemudian menjadi sarjana pertama pada 2009. Sampai 2018 ini baru ada tambahan dua sarjana dan empat mahasiswa dari kampung itu.
Hampir seluruh orang dewasa suku itu yang berjumlah sekitar 800 orang belum pernah mengenyam pendidikan dasar. Lebih banyak orang tua buta huruf. Itulah sebabnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjalankan program pendidikan Keaksaraan Dasar bagi orang tua, terutama ibu-ibu.
Ibu-ibu yang berada dalam rentang umur 30 sampai 72 tahun belajar aksara kembali. Mencoba merangkai kata dari huruf demi huruf. Meski dengan susah payah dan penuh kendala, program belajar mingguan itu (hanya pada Jumat sore selama tiga jam) masih berlangsung sampai saat ini.
Program itu berjalan tersendat-sendat. Dari 100 peserta didik yang dibagi dalam 10 kelompok belajar aksara dasar di Tanjung Penyengat dan Dusun Mungkal, hanya 50-60 persen yang aktif. Muridnya sering bolos bergantian. Dalam artian, ada yang belajar pada pekan ini, kemudian bolos selama dua sampai tiga minggu, tetapi pada minggu ke-4 masuk kembali.
Menurut Jani Mulyati Sembiring (45), pengenalan huruf harus sering diulang-ulang agar murid-muridnya dapat mengerti. Namun, pengulangan terjadi setiap pekan karena selalu saja ada murid yang baru masuk kembali setelah bolos beberapa pekan. Alhasil, peningkatan pelajaran menjadi rendah.
Bolosnya ibu-ibu itu belajar disebabkan mayoritas di antaranya harus bekerja membantu suami. Umumnya mereka bekerja di kebun nanas, baik ladang milik sendiri maupun bekerja sebagai buruh tani.
Nanas memang merupakan komoditas pertanian unggul di Sungai Apit, termasuk di Kampung Penyengat. Bertanam nanas telah menjadi mata pencarian utama warga Suku Anak Rawa dari sebelumnya sebagai nelayan. Berkat nanas, ekonomi Kampung Penyengat semakin membaik. Hal itu tampak dari mulai munculnya bangunan baru di sela-sela rumah-rumah lama yang sebagian besar terbuat dari kayu.
Dukungan orangtua untuk menyekolahkan anaknya sekarang sudah juga lebih tinggi dibandingkan 10 tahun lalu. Namun, angkanya belum signifikan. Masih lebih banyak anak putus sekolah atau tidak melanjutkan studi walau hanya sampai tingkat SMA.
Jelas masih dibutuhkan langkah percepatan oleh pemerintah untuk mendorong anak-anak suku Anak Rawa agar mau bersekolah lebih tinggi. Tentu semua orang sepakat bahwa pendidikanlah yang akan membuat perubahan besar di masa depan.