Kain Tenun Jadi Ajang Mengenalkan Keragaman Budaya Asia
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Sebanyak 200 jenis kain tenun dari 24 negara Asia tampil dalam Asian Textiles Exhibition (Pameran Wastra Asia) di Museum Tekstil, Palmerah, Jakarta Barat. Ajang yang turut memeriahkan gelaran Asian Games itu ingin mengenalkan keragaman budaya melalui berbagai corak dan teknik kain tenun di Asia.
Pameran yang bertajuk "Shared Roots, Diverse Growth" ini menampilkan sebagian koleksi yang didatangkan langsung dari Srilanka, Kazakhstan, Singapura, dan Filipina. Selain itu, pameran yang diadakan pada 9 Agustus-9 September ini juga memamerkan sebagian kain tenun koleksi museum serta koleksi pribadi milik pegiat wastra lokal.
Kepala Unit Pengelola Museum Tekstil Esti Utami mengatakan, ratusan koleksi tersebut diatur berdasarkan teknik pembuatannya. Susunan tersebut dibuat dengan maksud agar pengunjung terfokus pada keragaman corak, sehingga tidak lagi mempedulikan jenis kain berdasarkan asal negaranya.
"Sesama kain tenun dengan teknik ikat lungsi dikelompokkan di satu ruangan, begitu juga dengan teknik songket dan ikat celup. Ini karena beberapa jenis kain tenun negara lain, juga memiliki kemiripan dengan Indonesia," kata Esti.
Ia mencontohkan sebagian kain tenun Indonesia, memiliki kemiripan corak dengan beberapa negara. Seperti Kain Besurek dari Bengkulu, coraknya dipenuhi dengan nuansa Islam dan huruf arab.
Selain itu, kemiripan corak juga dimiliki oleh Kain Koffo dari Sulawesi Utara. Kain itu memiliki kemiripan dengan Kain T\'nalak yang berasal dari Filipina.
"Keduanya berbahan dasar serat pisang Abaka dan memiliki corak serupa. Hanya, kain Koffo menggunakan teknik songket, sedangkan kain T\'nalak menggunakan teknik ikat lungsi," kata Esti.
Keragaman jenis kain tenun ini diharapkan tidak hanya menjadi bentuk kekayaan budaya, tetapi juga memantik inspirasi pengerjaan kain tenun untuk ekonomi kreatif.
Bekerja sama dengan Yayasan Torajamelo, berbagai jenis kain tenun juga dimodifikasi ke bentuk yang lebih kontemporer dan disesuaikan dengan kebutuhan sehari-hari.
Pendiri Torajamelo Dinny Jusuf, dalam gelaran tersebut juga mengupayakan kain tenun Toraja Mamasa dari Sulawesi, serta Adonara dan Lembata dari Nusa Tenggara Timur, menjadi lebih dikenal oleh kaum muda. Kedua jenis kain tenun tersebut diolah dengan corak warna yang berbeda, serta diterapkan ke bahan pakaian dan aksesoris sehingga terlihat lebih variatif.
"Bagaimana dengan akar yang sama, tenun dari Asia saling tumbuh dengan ciri khas yang berbeda-beda. Walau dari corak batik, ikat celup, bahkan tenun tiap negara memiliki kemiripan, nantinya pengunjung dapat mengenali ciri khas dari Srilanka bagaimana, serta ciri khas Indonesia seperti apa," ujar Dinny.
Dalam gelaran tersebut, Esti juga berharap adanya sejumlah corak dan teknik pembuatan kain tenun dari negara lain yang dapat menginspirasi pegiat wastra lokal. "Ibu-ibu PKK dari program Oke-Oce yang diundang dalam gelaran mungkin dapat turut terinsipirasi dari beberapa kain teknik ikat celup. Teknik tersebut sangat dekat dengan industri rumahan," kata Esti. (ADITYA DIVERANTA)