Empat medali emas diraih oleh Hurairah (21), atlet cabang olahraga hapkido, setahun terakhir. Pemuda asal Desa Lamtanjong, Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, itu meraihnya dalam kejuaraan hapkido tingkat nasional, regional, dan dunia. Meskipun telah melambungkan nama daerah dan Indonesia di atas podium juara, mimpinya untuk kuliah belum juga terwujud.
Dalam Kejuaraan Dunia Hapkido 2018 yang digelar pada 28-29 Juli di Seoul, Korea Selatan, anak sulung dari tiga bersaudara itu berhasil merebut medali emas di dua kategori, yakni nak bop high jump (lompat tinggi) dan nak bob long jump (lompat jauh). Medali itu menjadi semakin istimewa karena pada laga final, Hurairah mengalahkan atlet tuan rumah, tempat olahraga hapkido berasal.
Dua medali emas lainnya diraih Hurairah pada Kejuaraan Hapkido tingkat Asia Tenggara di Singapura pada Maret 2018. Pada 2017, Hurairah juga mendapatkan medali emas di Kejuaraan Nasional Hapkido I di Yogyakarta. Ia merupakan atlet spesialis lompat tinggi dan lompat jauh.
”Medali ini saya persembahkan untuk orangtua dan Indonesia,” kata Hurairah saat ditemui di Banda Aceh, Rabu (1/8/2018). Saat itu, ia baru saja tiba di Banda Aceh dari Korea Selatan. Ia menunjukkan dua keping medali emas yang diraihnya.
Minim apresiasi
Namun, apresiasi atas medali itu hampir tidak ada. Di bandara, dia hanya disambut Pengurus Cabang Hapkido Aceh. Tidak ada sambutan dari Pemprov Aceh dan Pemkab Aceh Besar. ”Penghargaan hanya medali. Tidak ada bonus dan uang pembinaan,” ujar Hurairah.
Satu-satunya hadiah adalah sepatu baru merek Nike yang dibeli oleh Pengurus Hapkido Aceh. ”Ini saja sudah lumayan, paling tidak untuk latihan saya sudah punya sepatu,” lanjut Hurairah.
Sepatu yang dia pakai ke Korea Selatan adalah pemberian tim pendamping. Itu pun bekas pakai. Sementara biaya keberangkatan ke Korea Selatan ditanggung oleh beberapa pihak.
Hapkido masuk ke Aceh pada tahun 2015. Hurairah yang awalnya berlatih taekwondo sejak kelas I SMP diajak oleh pelatihnya untuk bergabung di hapkido. Bakatnya ada di kategori lompat tinggi dan lompat jauh.
Hapkido masih tergolong baru di Indonesia. Olahraga yang berasal dari Korea Selatan itu belum masuk KONI.
Sebenarnya perasaan sedih menyelimuti hati Hurairah karena pulang dari luar negeri dan membawa gelar juara, tetapi tidak membawa oleh-oleh untuk orangtuanya. Bahkan, tidak ada tim pendamping yang mengantar Hurairah hingga ke pintu rumah. Padahal, ayah dan ibu Hurairah telah menyiapkan jamuan.
Rumah Hurairah di Desa Lamtanjong juga sangat sederhana. Rumah merupakan bantuan dari Baitull Mall Aceh, berukuran 6 meter x 6 meter. Di rumah dua kamar itu, Hurairah berbagi tempat bersama ayah, ibu, dan dua adiknya. Tidak ada perabotan. Lantainya dilapisi karpet.
Beberapa medali yang diperoleh Hurairah dari beberapa kejuaraan digantung di dinding. Sebagian lagi disimpan di dalam kotak seng layaknya kotak amal di masjid-masjid. Katanya, suatu hari penghargaan itu akan ia bingkai bagus.
Ayahnya, Muhammad Harun (53), bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Lambaro, sekitar 20 kilometer dari desa itu. Ibunya, Nurhayati (40), berjualan pisang goreng.
Penghasilan Harun Rp 50.000 per hari, sedangkan keuntungan penjualan pisang goreng Nurhayati hanya Rp 30.000 per hari. ”Kalau sedang sakit, saya tidak bisa ke pasar, jadinya tidak ada pemasukan. Kami ini orang susah,” kata Harun.
Karena terbatasan ekonomi itu, Hurairah tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Setelah menamatkan sekolah menengah atas pada 2015, Hurairah menyampaikan keinginannya untuk kuliah. Namun, ayahnya tidak sanggup membiayai sebab dua adiknya juga masih sekolah.
”Saya ingin sekali kuliah di jurusan olahraga, tetapi tidak ada biaya,” ujar Hurairah.
Saya ingin sekali kuliah di jurusan olahraga, tetapi tidak ada biaya.
Menyadari dirinya tidak bisa melanjutkan pendidikan, Hurairah kian giat berlatih hapkido. Dengan menumpang sepeda motor temannya yang kebetulan satu kampung, ia menempuh perjalanan 1 jam ke tempat latihan.
Dia berharap, dengan menjadi atlet profesional, dirinya bisa memperbaiki ekonomi keluarga, membiayai sekolah adiknya, dan mengukir masa depan yang cerah.
Hurairah memang tidak pernah berharap pada bonus. Namun, dia masih memelihara mimpi untuk bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.