Kekeringan di Cibarusah Belum Teratasi Selama Puluhan Tahun
BEKASI, KOMPAS – Memasuki musim kemarau 2018, warga di Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi kembali mengalami kekeringan. Langkah-langkah yang dilakukan beberapa pihak untuk mengatasinya belum efektif. Padahal, lokasi kecamatan relatif dekat dengan Kompleks Pemerintah Kabupaten Bekasi dan beberapa areal kota komersial.
Camat Cibarusah Enop Can, Rabu (8/8/2018) di Bekasi, mengatakan, kekeringan berulang setiap tahun. Tiga dari tujuh desa di kecamatan itu terdampak paling parah akibat kekeringan tersebut. Ketiga desa itu adalah Sirnajati, Ridogalih, dan Ridomanah.
Tahun ini, laporan dampak kekeringan mulai masuk pada akhir Juli 2018. Dalam laporan tersebut, tercatat 1.498 warga Sinarjati, 4.885 warga Ridogalih, dan sekitar 3.000 warga Ridomanah kesulitan air bersih. “Jumlah warga terdampak tersebut masih akan bertambah jika kemarau berlanjut,” ujar dia.
Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Kecamatan Cibarusah Imam Arachman mengatakan, kekeringan terjadi karena tanah Cibarusah tidak dapat menyimpan air karena lebih banyak mengandung batu. Pengeboran untuk mencari mata air beberapa kali dilakukan. Akan tetapi, mata air tetap tidak bisa ditemukan meski pengeboran sudah mencapai kedalaman 150 meter.
Untuk mengatasi kesulitan air bersih, pihak kecamatan meminta pengiriman air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi. Namun, kiriman air bersih dari BPBD belum memenuhi kebutuhan seluruh warga. “Pengiriman air tidak bisa dilakukan setiap hari karena keterbatasan jumlah truk tangki,” kata Imam.
Dia menambahkan, akses truk tangki juga terhambat karena rusaknya Jembatan Cipamingkis yang merupakan akses utama menuju ke Desa Sirnajati, Ridogalih, dan Ridomanah. Lahan sepanjang 50 meter sebelum memasuki jembatan ambles. Lebar tanah yang tersisa hanya bisa dilewati sepeda motor.
Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin mengatakan, pengiriman air menggunakan truk tangki merupakan satu-satunya langkah yang bisa diterapkan saat ini. “Ke depan, kami ingin membuat saluran perusahaan daerah air minum (PDAM) ke Cibarusah,” ujar dia.
Tidak teratasi
Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ridomanah, Mamun Nawawi (43), mengatakan, kekeringan sudah terjadi sejak Januari 2018. Saat itu, kekeringan belum parah karena warga masih bisa memanfaatkan air dari Kali Cipamingkis untuk mandi, mencuci, dan keperluan lain. Namun, sejak dua bulan lalu, kali yang juga mengalir di Kabupaten Bogor itu mengering.
Di beberapa bagian Kali Cipamingkis, tampak permukaan kali yang dipenuhi batu. Terdapat beberapa kubangan air setinggi betis orang dewasa. Kubangan-kubangan tersebut dimanfaatkan mandi, mencuci piring, hingga mencuci beras. Sementara itu, untuk memasak dan minum, warga terpaksa membeli air mineral isi ulang seharga Rp 6.000 per galon isi 18 liter.
Warga datang beramai-ramai ke kubangan Kali Cipamingkis pada pukul 06.00 dan pukul 15.00 dengan membawa jeriken. Ada yang memikulnya, ada pula yang membawa jeriken dengan sepeda motor. Jarak rata-rata yang mereka tempuh sekitar 1,5 kilometer dengan kondisi jalan berbukit-bukit.
Menurut Mamun, pemandangan seperti itu selalu berulang setiap tahun. Sejak lahir di Cibarusah pada 1975, kekeringan sudah menjadi bagian hidupnya. “Masalah itu tidak pernah teratasi hingga saat ini,” ujar Mamun.
Herman (36), warga Ridomanah, mengatakan, kekeringan terparah terjadi pada 1997. Saat itu, musim kemarau berlangsung selama sembilan bulan.
Berdasarkan catatan Kompas, pada 1997, kekeringan tidak hanya terjadi di Cibarusah, tetapi juga di tiga kecamatan lain Tarumajaya, Cabangbungin, dan Muaragembong. Saat itu, warga dari berbagai desa harus menempuh jarak 5—6 kilometer untuk mengambil air di Situ Abidin, Cibarusah (Kompas, 7/8/1997).
Gagal panen
Selain kesulitan bagi warga dalam mengakses air bersih, kekeringan juga menyebabkan gagal panen. Kepala Desa Ridomanah Saep Karwita mengatakan, dari total luas desanya yaitu 475 hektare, lahan seluas 400 hektare di antaranya merupakan areal persawahan. “Semuanya gagal panen,” ujar Saep.
Sawah memang merupakan pemandangan dominan di sepanjang jalan di Desa Sinarjati, Ridogalih, dan Ridomanah. Batang-batang padi yang tertanam tampak kering, beberapa di antaranya justru sudah terbakar.
Mastur (40), warga Ridomanah, mengatakan, kekeringan dan gagal panen mengakibatkan dirinya kehilangan pekerjaan. Petani penggarap itu harus beralih profesi menjadi kuli bangunan karena tidak ada sawah yang bisa ditanami.
Kondisi serupa juga terjadi di Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, wilayah yang berbatasan dengan Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Di daerah yang juga dialiri Kali Cipamingkis itu, terdapat tiga hektare sawah yang gagal panen (Kompas, 7/8/2018).
Pembangunan
Beberapa infrastruktur untuk mengatasi kekeringan yang dibangun pemerintah tidak berfungsi optimal. Salah satunya, bak beton penampung air yang dibangun di setiap desa. Di Desa Ridomanah, bak itu tidak bisa digunakan sejak dibangun pada 2016.
“Bak itu bocor dan tidak pernah diperbaiki meski sudah beberapa kali kami laporkan,” ujar Mamun.
Air dari perusahaan daerah air minum (PDAM) juga belum kunjung mengalir ke tiga desa tersebut. Padahal, sentral pipa untuk mengalirkan air ke rumah-rumah sudah dipasang sejak dua tahun lalu.
Mamun berharap, penggunaan air PDAM bisa segera terealisasi. Sebab, langkah tersebut terbukti mampu mengatasi kekeringan di Desa Sukamahi, Cikarang Pusat, tempat Kompleks Pemerintah Kabupaten Bekasi berdiri. Jarak kompleks tersebut dengan Kecamatan Cibarusah pun hanya sekitar 14 kilometer. Selain berdekatan dengan kantor pemerintah, Kecamatan Cibarusah juga terletak sekitar 16 kilometer dari Kota Deltamas dan 20 kilometer dari Meikarta.
Pada 1997, Pemerintah Kabupaten Bekasi merencanakan beberapa daerah menjadi wilayah perkotaan seiring dengan target perkembangan Kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri terluas di Asia Tenggara. Beberapa daerah tersebut adalah Lemahabang, Cikarang, Cibitung, Tambun, Serang, dan Cibarusah. Wilayah perdesaan pun ditekankan untuk memiliki produk unggul pertanian yang bisa dipasarkan pada agroindustri (Kompas, 5/8/1997).
Namun, menurut Mamun, hingga saat ini Cibarusah sebagai salah satu wilayah pertanian masih berkutat dengan masalah kekeringan yang menghambat produksi. Sebagian besar warga pun belum sejahtera.