YOGYAKARTA, KOMPAS - Sejumlah pemilik toko di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, meminta pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar depan toko mereka dipindahkan. Alasannya, PKL mengganggu kerapian Malioboro dan menurunkan pendapatan toko di sana.
“Sekarang Malioboro kesannya kumuh. Harapan kami dari para pengusaha, jalur pedestrian Malioboro itu dikembalikan ke fungsinya, bukan untuk PKL,” kata Ketua Paguyuban Pengusaha Malioboro (PPM) Budhi Susilo, Rabu (8/8/2018), di Yogyakarta.
Kawasan Malioboro salah satu destinasi wisata favorit di Kota Yogyakarta. Di kanan kiri Jalan Maliboro, pedagang kaki lima (PKL) menguasai jalur pejalan kaki, menempati petak-petak di muka toko-toko yang berjualan aneka jenis barang. Sebagian PKL berjualan di trotoar sisi barat Malioboro, di depan deretan toko di wilayah tersebut.
Budhi menjelaskan, lahan trotoar sisi barat Malioboro yang digunakan berjualan para PKL itu sebenarnya lahan milik toko. Sebelum tahun 1975, lahan tersebut masih digunakan untuk bangunan toko. “Jalur pedestrian Malioboro itu dalam sertifikat tanah kami sebenarnya termasuk dalam lahan toko,” tutur dia.
Tahun 1975, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta meminta pemilik toko di kawasan Malioboro memundurkan bangunan tokonya beberapa meter dari jalan raya untuk memperlebar trotoar. “Waktu itu, pemilik toko ikhlas memundurkan bangunannya tanpa ganti rugi, supaya Malioboro jadi bagus,” kata Budhi.
Namun, beberapa tahun sesudah bangunan toko itu dimundurkan, lahan trotoar justru dipakai para PKL berjualan. Menurut Budhi, para PKL mulai berjualan di trotoar sisi barat Malioboro sejak tahun 1980-an.
Selain membuat kondisi Malioboro menjadi kurang rapi dan kurang tertata, keberadaan PKL juga membuat pendapatan toko menurun. Keberadaan lapak PKL menutupi bangunan toko yang menurunkan minat pembeli mengunjungi toko.
Namun, Budhi memaparkan, masalah pendapatan itu bukan alasan utama para pemilik toko meminta pemindahan PKL. “Itu (pendapatan pemilik toko menurun) alasan kesekian. Alasan pertamanya, jalur pedestrian Malioboro itu kan untuk pejalan kaki,” tuturnya.
Sejumlah pemilik toko meminta lahan trotoar sisi barat Malioboro dikembalikan ke fungsi semula sebagai jalur pejalan kaki. Itu agar Malioboro lebih rapi dan tertata. “Arti kata Malioboro itu kan untaian berjuta sebunga. Tapi, kalau dilihat sekarang, kesan Malioboro itu semrawut apa tidak?” katanya.
Cari solusi
Menanggapi itu, paguyuban PKL kawasan Malioboro menolak permintaan para pemilik toko. Ketua Paguyuban Pelukis, Perajin, dan PKL Malioboro-Ahmad Yani (Pemalni) Slamet Santoso mengatakan, PKL telah menjadi ikon Malioboro yang menarik wisatawan. Pemindahan PKL hanya akan mengurangi ketertarikan wisatawan.
“Tanpa ada PKL, Malioboro akan mati, tidak ada wisatawan yang mau berkunjung. Mereka itu ke Malioboro untuk wisata, bukan belanja di toko. Kalau cuma belanja di toko, di mana-mana juga bisa,” kata Slamet.
Sekretaris Daerah DIY Gatot Saptadi mengatakan, Pemerintah Daerah DIY akan berkoordinasi dengan Pemkot Yogyakarta untuk mencari solusi yang menguntungkan semua pihak terkait masalah tersebut. Salah satu alternatif solusi persoalan itu adalah memindahkan sebagian PKL ke gedung sentra PKL yang saat ini sedang dibangun di lahan bekas Bioskop Indra, masih di kawasan Malioboro.
Namun, kepastian langkah apa yang akan diambil masih membutuhkan koordinasi berbagai pihak. "Secara intensif kami koordinasi terus untuk mencari win-win solution. Kalau sekarang kami mau mutuskan, belum ada solusi," kata Gatot.