Manusia menangkap gajah asia liar untuk dijinakkan sejak 3.000 tahun lalu. Penelitian terbaru menunjukkan, domestikasi gajah tersebut ternyata memperpendek umur mereka tiga sampai tujuh tahun. Penyebabnya adalah stres jangka panjang karena penangkapan, penjinakan, dan perubahan dalam lingkungan sosial.
Penelitian berjudul ”Perbedaan Angka Kematian Terkait Usia antara Gajah Asia Tangkapan dan Gajah Lahir di Penangkaran” itu dimuat dalam jurnal Nature edisi 7 Agustus 2018 yang juga dipublikasikan sciencedaily.com.
Penelitian dilakukan Mirkka Lahdenpera, Khyne U Mar, dan Virpi Lummaa dari Universitas Turku, Finlandia, serta Alexandre Courtiol dari Institut Leibniz untuk Penelitian Kebun Binatang dan Satwa Liar, Jerman.
Penelitian mereka dilakukan terhadap gajah-gajah yang dipekerjakan manusia di Myanmar. Raja-raja Myanmar kuno menangkap dan menjinakkan gajah pada awal abad ke-15, terutama untuk memperkuat pasukan tentara kerajaan. Sejak awal abad ke-18, Pemerintah Myanmar mulai menebangi kayu jati secara selektif dengan bantuan gajah.
Saat ini, setengah dari gajah pekerja di Myanmar, sebanyak 2.700 ekor, dimiliki pemerintah. Gajah-gajah itu digunakan di kamp-kamp hutan sebagai alat transportasi dan pengangkut kayu. Pada malam hari semua gajah mencari makan di hutan bersama keluarganya.
Penelitian statistik dilakukan terhadap data 8.006 gajah kayu yang lahir atau diperkirakan lahir untuk gajah yang ditangkap secara liar antara tahun 1858 dan 2000.
Dari analisis statistik, Lahdenpera mengungkapkan bahwa gajah yang ditangkap dari alam liar memiliki peluang bertahan hidup yang lebih rendah daripada gajah pekerja yang lahir di penangkaran.
”Kami juga menemukan, gajah yang lebih tua menderita paling banyak. Kematian gajah tua lebih tinggi dibandingkan dengan gajah yang tertangkap pada usia lebih muda,” ujar Lahdenpera.
Semua gajah yang diteliti menghadapi risiko kematian tertinggi pada tahun pertama segera setelah penangkapan. Meskipun risiko menurun pada tahun-tahun berikutnya, efek-efek negatif ini masih bertahan, mengkhawatirkan, selama sekitar satu dekade berikutnya.
Virpi Lummaa menambahkan, ongkos dari penangkapan dan penjinakan jangka panjang dari gajah liar ini secara keseluruhan menghasilkan umur rata-rata yang lebih pendek tiga sampai tujuh tahun daripada gajah peliharaan.
”Hewan-hewan yang ditangkap liar ini hidup lebih pendek dan bereproduksi buruk di penangkaran,” kata Lummaa.
Lahdenpera mengemukakan, peneliti perlu menemukan metode alternatif dan lebih baik untuk meningkatkan populasi gajah yang hidup dalam penangkaran.
”Bahkan saat ini, lebih dari 60 persen gajah di kebun binatang diambil dari alam liar dan sekitar sepertiga dari semua gajah asia yang tersisa sekarang hidup di penangkaran,” ucap Lahdenpera.
Peneliti menyarankan lebih banyak penelitian diperlukan untuk memahami dan menilai seberapa luas dampak negatif penangkapan ini pada spesies lain. Setiap kali penangkapan tidak dapat dihindari, spesialis kesejahteraan hewan, dokter hewan, dan ahli ekologi harus bekerja sama untuk meningkatkan praktik konservasi dan manajemen. Dukungan dan perawatan untuk hewan sangat penting selama periode segera setelah penangkapan.
Di Indonesia, gajah juga menghadapi masalah serupa walaupun tidak sebanyak gajah di Myanmar. Tidak terlalu banyak gajah di Indonesia dimanfaatkan sebagai pekerja. Namun, ada sejumlah gajah yang hidup menderita di kebun binatang.