“Bahwa alamat ini surat dari ingatan / dahulu kala daripada orang xxx Melayu / nenek moyang dapat tana Aru sampai tana Wasir / kompani Inggeris dapat / sama kita orang Melayu xxx Wallace / jadi tuan kompani Inggeris / kasi ka ruma sama nenek [se]mua xxx dia / punya anak cucu [se]mua xxx anak / cucu [se]mua xxx [symbol] wa kabungwalai / imama ajar marid adanya.”
Naturalis Australia, JT Cockerell, yang sedang menjelajahi Kepulauan Aru pada 1872, menerima secarik kertas yang ditulis dengan bahasa Melayu dalam tulisan Jawi (Arab) itu dari seorang laki-laki warga Aru yang mengaku pernah kenal baik dengan naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace. Warga Aru itu pernah mengantar Wallace ke Sungai Wanumbai dengan perahu ketika Wallace menjelajahi Aru selama enam bulan (Januari-Juni 1857). Ia meminta Cockerell memberikan kertas yang ia tulis dalam bahasa Aru itu kepada Wallace yang dipanggilnya dengan nama “Orang Inggris”.
Secarik kertas atau surat berwarna biru itu kini disimpan di British Library, Inggris, setelah diberikan oleh Natural History Museum (NHM), Inggris, pada awal 2013. Meski telah berusia 146 tahun, secarik kertas itu terlihat masih utuh dan tulisannya juga lumayan jelas dengan coretan pensil. NHM menginisiasi proyek “Wallace Letters Online” dengan tujuan untuk mendokumentasikan semua surat dari dan untuk Wallace. Anak-anak Wallacelah yang menyumbangkan koleksi surat-surat penting untuk Wallace dari sejumlah tokoh penting Inggris termasuk Charles Darwin.
Kurator Utama Wilayah Asia Tenggara di British Library, Inggris, Dato’ Annabel Teh Gallop, ketika ditemui awal Maret lalu, di London, Inggris, menilai dokumen itu sangat penting karena, sampai sejauh ini, itulah satu-satunya dokumen dari Aru dan ditulis dalam bahasa Melayu. Terjemahan dari surat itu kira-kira begini; “Ini rekaman berdasarkan ingatan di masa lalu dari orang Melayu yang nenek moyangnya menguasai tanah Aru sampai ke Wasir. Orang Inggris datang ke sini untuk bertemu dengan kami, orang Melayu. Wallace, yang menjadi pemimpin Inggris, menjalin hubungan pertemanan dengan semua orangtua sesepuh di rumah, anak, dan cucu-cucunya. Kampung Walai, imam yang mengajari murid-murid. Selesai”.
Sebenarnya, kata Annabel, ini bukan surat tetapi pernyataan atau pemberitahuan Wallace pernah datang ke Aru. Surat itu sampai ke tangan Wallace tetapi ia tidak bisa membacanya. Wallace lalu minta tolong untuk diterjemahkan. Dengan bantuan temannya, William, akhirnya ketemu 2 tokoh Melayu yang bisa mencoba menerjemahkan.
Tidak pernah ada manuskrip dari Aru. Kalau dari Sumatra, Flores, atau Sumba ada banyak
Dari secarik kertas itu samar-samar diketahui bahwa si penulis surat kemungkinan berasal dari Sulawesi tetapi bermukim di Aru. Bisa jadi juga ia belajar bahasa Bugis dan Jawi karena jika dilihat dari penggunaan kata atau kalimatnya terlihat tidak sempurna. Secarik kertas itu masih menyimpan banyak pertanyaan yang belum terjawab dan terpaksa harus menunggu di ruangan khusus arsip kuno di British Library sampai peneliti menemukan jawabannya. Saat ini, proses digitalisasi koleksi surat ini sedang dilakukan dan akan membutuhkan waktu yang lama.
“Waktu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan surat tergantung pada banyak hal seperti pengenalan tulisan atau bahasa yang digunakan. Kalau hanya transkrip, mudah dan bisa cepat. Tetapi butuh waktu lama karena harus menempatkan konteksnya. Digitalisasi 1 persen surat saja sudah luar biasa,” kata Annabel.
British Library tak hanya menyimpan secarik kertas itu saja tetapi surat-surat lain terkait dengan Wallace seperti surat tulisan tangan antara Charles Darwin dan Wallace. Kepala Arsip Modern dan Manuskrip di British Library, William Frame, mengatakan dari surat-surat itu terlihat hubungan keduanya cukup dekat. Koleksi surat korespondensi Wallace tak hanya disimpan di British Library tetapi juga di berbagai tempat seperti museum. Semua pihak bekerja sama untuk menganalisa koleksi itu.
“Koleksi disimpan dalam ruangan khusus dengan suhu dan tingkat kelembaban yang dikendalikan. Kondisinya masih bagus sampai sekarang karena bahan kertasnya juga bagus,” kata Frame.
Koleksi jurnal
Perlakuan yang sama juga diberikan kepada surat dan buku catatan atau jurnal Wallace yang disimpan di dua tempat yang Kompas kunjungi bersama tim dari British Council Jakarta yakni NHM, Linnean Society of London, dan Royal Botanic Garden Kew di London, Inggris. Di Linnean Society of London, seluruh jurnal Wallace sudah didigitalisasi dan bisa diakses publik secara online. Komunitas biologi tertua di dunia yang didirikan pada 1788 ini menyimpan 9 buku catatan perjalanan Wallace selama berada di Nusantara (kini Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Timor Leste) dan beberapa surat Wallace.
Salah satu pengelola jurnal-jurnal Wallace yang ditemui menyatakan seluruh jurnal Wallace itu diberikan oleh pengurus wasiat dan warisan keluarga Wallace. Bisa jadi koleksi surat dan jurnal Wallace masih tersebar dimana-mana sampai sekarang. Koleksi itu hanya akan bisa diketahui atau masuk ke museum atau Linnean Society of London apabila pemilik surat atau jurnal Wallace itu meninggal. Atau bisa jadi koleksi itu malah sudah dibuang oleh pemilik atau keluarga pemiliknya.
Koleksi surat dan jurnal Wallace membantu para ahli memahami pribadi Wallace, perjalanannya selama 8 tahun di Nusantara, hingga karya yang dihasilkannya. Beruntung bagi para ahli, tulisan tangan yang mayoritas menggunakan pencil, masih bisa terbaca jelas. Meski sampulnya sudah jelek bahkan ada yang rusak, kertas-kertas di dalamnya masih utuh. Untuk memegang surat dan jurnal, harus mengenakan sarung tangan. Meski coretan tulisan, gambar sketsa burung, serangga, atau bangunan masih jelas, baru sebagian yang sudah ditranskrip.
Wallace dinilai oleh para ahli peneliti yang rapi dalam menuliskan perjalanan dan hasil temuan sepanjang perjalanan. Bahkan ada buku catatan pengeluaran dan catatan daftar barang yang dibarter dengan masyarakat setempat pada waktu itu. Sesekali ditemukan catatan waktu bertuliskan “Jumat Legi” di dalam jurnal Wallace yang menunjukkan ia ternyata juga sedikit-sedikit memahami bahasa lokal. Catatan perjalanan Wallace yang rinci selama berada di Nusantara ia tumpahkan di bukunya The Malay Archipelago yang terbit pada 1869. Dalam buku itu tak hanya flora dan fauna yang ia bicarakan tetapi juga manusia dan masyarakat setempat yang ia temui sepanjang jalan.
“Wallace berbeda dengan penjelajah dari Eropa lainnya. Wallace berinteraksi dan punya hubungan dekat dengan masyarakat lokal. Dari surat dan jurnal-jurnalnya terlihat ia sangat menghargai tradisi kebudayaan dimana ia berada,” kata salah seorang pengelola koleksi Wallace di Linnean Society of London.