Jalan Berliku Menjadi Warga Negara Utuh
Akta kelahiran adalah salah satu dokumen kependudukan yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia. Selain menunjukkan hubungan perdata antara anak dengan orangtua, dokumen tersebut juga merupakan akses untuk memperoleh hak-hak dasar seorang anak, termasuk layanan sosial.
Namun, hingga kini masih banyak anak-anak di negeri ini terutama di pelosok-pelosok yang belum memiliki akta kelahiran. Provinsi Nusa Tenggara Timur termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang kepemilikan akta kelahirannya rendah. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan misalnya, di hampir semua desa sebagian besar anak-anak tidak memiliki akta kelahiran.
Seperti di Desa Tesi Ayofanu, Kecamatan Kie, hingga 2017 terdapat 712 anak yang belum memiliki akta kelahiran. Padahal, jumlah anak usia sekolah di desa tersebut hampir setengah dari jumlah penduduk desa sekitar 2.200 jiwa.
Anak-anak tersebut tidak bisa mendapatkan akta kelahiran karena berbagai alasan. Salah satunya karena status perkawinan orangtuanya belum sah sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagian besar orangtua mereka belum menikah menurut hukum agama dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Anak-anak tersebut tidak bisa mendapatkan akta kelahiran karena berbagai alasan. Salah satunya karena status perkawinan orangtuanya belum sah sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ada yang baru sebatas menikah secara adat (tradisi), tapi banyak juga yang sama sekali belum menikah baik adat maupun secara agama dan dicatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Padahal mereka telah hidup bersama sebagai pasangan suami istri bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, tanpa status yang jelas.
“Tradisi orang Timor harus menikah secara adat dulu, baru boleh menikah gereja dan catatan sipil. Jadi adat wajib ditaati. Kalau langsung nikah gereja dan catatan sipil, ada kepercayaan di masyarakat yang sudah turun temurun, kalau tidak ikut adat nanti keluarga banyak masalah, sakit-sakitan dan lain,” ujar Kepala Desa Tesi Ayofanu, David Tamonob, saat menerima kunjungan Tim Plan International, Selasa (5/6/2018).
Padahal, untuk menikah adat membutuhkan biaya yang mahal karena ada tradisi makan sirih pinang yang biasanya disuguhkan dalam oko mama (tempat sirih pinang). “Biayanya besar untuk makan dan minum, paling tidak harus punya uang lima puluh juta rupiah,” jelas David.
Karena biaya perkawinan adat mahal, maka banyak yang pasangan memilih kawin lari. Ada yang memiliki empat-lima anak baru menikah adat karena harus mengumpul uang dahulu. Itu pun banyak yang hanya berhenti di menikah adat, tapi tidak pernah mengurus perkawinan agama dan dicatat di Disdukcapil sehingga tidak mengantongi akta perkawinanan/surat nikah.
Status perkawinan orangtua yang tidak jelas berimplikasi besar bagi keluarga tersebut, yakni tidak bisa mengurus dokumen kependudukan, mulai dari Nomor Induk Kependudukan (NIK), kartu keluarga (KK), kartu tanda penduduk (KTP), akta lahir, dan dokumen lain. Bukan hanya tidak memiliki identitas hukum sebagai warga negara Indonesia, seluruh keluarga termasuk anak-anak juga tidak bisa mengakses berbagai pelayanan sosial dasar seperti pendidikan dan kesehatan
Status perkawinan orangtua yang tidak jelas berimplikasi besar bagi keluarga tersebut, yakni tidak bisa mengurus dokumen kependudukan, mulai dari Nomor Induk Kependudukan, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, akta lahir, dan dokumen lain.
Agar anak-anak yang lahir dari keluarga yang status perkawinan yang belum tercatat sesuai undang-undang bisa masuk sekolah, selama ini pihak sekolah menggunakan surat baptis anak yang dikeluarkan gereja setempat. Surat baptis tersebut menjadi satu-satu dokumen yang dimiliki anak, yang bisa menerangkan siapa orangtua kandungnya. Sejumlah anak tidak memiliki akta kelahiran juga karena orangtuanya meninggal sehingga diasuh keluarga lain.
Kondisi geografis
Di luar persoalan itu, rendahnya kepemilikan akta kelahiran di desa tersebut juga dipengaruhi oleh posisi geografis, yakni berada di wilayah pelosok. Untuk mengurus dokumen kependudukan, warga harus mendatangani langsung Kantor Dinas Dukcapil Pemkab Timor Tengah Selatan di Kota Soe. Jarak antara desa tersebut dengan Kota Soe sekitar 50 kilometer. Namun karena lokasi desa di daerah pegunungan dan infrastruktur jalan buruk, perjalanan menuju Soe membutuhkan ekstra waktu lebih dari dua jam.
Sementara ketika mengurus akta kelahiran dan dokumen kependudukan lain di kantor Dinas Dukcapil, pelayanan tidak bisa selesai dalam satu hari sehingga harus menginap beberapa hari. Konsekuensinya harus mengeluarkan biaya tambahan. Itu pun belum tentu selesai dan membawa pulang dokumennya, karena selain pelayanannya dibatasi jumlah juga bisa karena dokumennya belum lengkap.
“Saya pernah mengurus akta lahir anak saya di Soe sampai lima kali tetapi tidak berhasil juga. Setiap kali ke sana kami harus antre, bahkan sampai menginap dua malam. Padahal, untuk sekali jalan ke Soe kita harus mengeluarkan uang Rp 400.000 sampai Rp 500.000. Itu pun tidak berhasil,” ujar Gideon Nomleni, Ketua Komisi Perlindungan Anak Desa (KPAD) Tesi Ayofanu awal Juni 2018 saat menerima kunjungan tim dari Plan International Indonesia.
Kolaborasi
Kondisi tersebut membuat masyarakat enggan mengurus akta kelahiran dan dokumen kependudukan lainnya, jika tidak benar-benar sangat dibutuhkan. Namun dalam dua tahun terakhir, kesadaran untuk mengurus akta kelahiran bangkit semenjak ada program Plan International Indonesia yang bekerja sama dengan Disdukcapil Timor Tengah Selatan dengan menggandeng Yayasan Sanggar Suara Perempuan (YSSP).
Ketiga lembaga tersebut berkolaborasi menfasilitasi kemudahan akses masyarakat mengurus akta kelahiran melalui sistem jemput bola (Jebol), yakni tim Disdukcapil mendatangi langsung desa-desa terpencil. Di kantor desa, selama dua hari pelayanan akta kelahiran dan administrasi kependudukan lain dilakukan secara manual (offline), kemudian data-data dibawa ke kantor dinas kemudian diproses dalam jaringan (daring). Sekitar dua pekan, ketika semua dokumen sudah selesai, tim Disdukcapil akan kembali ke desa menyerahkan dokumen kepada masyarakat. Semua proses tersebut gratis.
Plan International Indonesia, Disdukcapil Timor Tengah Selatan, dan Yayasan Sanggar Suara Perempuan berkolaborasi menfasilitasi kemudahan akses masyarakat mengurus akta kelahiran melalui sistem jemput bola (Jebol).
“Sekarang sudah berkurang jumlah anak yang belum punya akta kelahiran. Dari yang dulu 712 orang, kini tinggal sekitar 200 lebih anak yang belum mempunyai akta kelahiran. Nah, yang 200 lebih ini masih terkendala, karena orangtua mereka belum menikah adat,” kata David yang berjanji akan mencari solusi atas persoalan tersebut.
Desa Tesi Ayofanu hanyalah salah satu contoh dari desa-desa di Timor Tengah Selatan yang kepemilikan akta kelahiran yang rendah. Kondisi geografis, adat, dan rendahnya kesadaran masyarakat di Timor Tengah Selatan untuk mengurus dokumen kependudukan menjadikan Timor Tengah Selatan sebagai salah satu kabupaten di NTT yang persentase kepemilikan akta kelahirannya rendah.
Hingga 2016, dari 475.373 jiwa penduduknya, persentase kepemilikan akta kelahiran versi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) baru 19,72 persen. Namun, ada sekitar 18,17 persen di antaranya memiliki akta kelahiran berdasarkan data non SIAK, sehingga total kepemilikan akta kelahiran mencapai sekitar 37 persen.
Selain di Kabupaten Timor Tengah Selatan, program pencatatan data kelahiran (akta kelahiran) bagi anak-anak juga dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Selain penguatan kapasitas para aparat pemerintahan lokal, juga dilakukan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan KPAD.
Hasilnya, dalam dalam kurun waktu dua tahun terakhir, di Kabupaten Timor Tengah Selatan program tersebut berhasil mencatat lebih dari 7.645 kutipan akta kelahiran di 56 desa terpencil. Hingga April 2018, Dinas Dukcapil Pemkab Timor Tengah Selatan telah mengeluarkan akte kelahiran untuk 76 persen anak-anak di kabupaten tersebut.
Hak dasar anak-anak
Selain membantu pemerintah merencanakan, menganggarkan, dan memantau kesehatan penduduk dengan baik, akta kelahiran sangat penting karena dokumen kependudukan tersebut menunjukan identitas seorang warga negara. Identitas tersebut bermanfaat bagi anak-anak untuk mengakses sejumlah hak seperti hak atas perawatan kesehatan, pendidikan, pekerjaan formal dan hak lainnya sebagaimana disebutkan di atas.
Karena itulah, kepemilikan akta lahir akan menjadikan seorang anak benar-benar menjadi warga negara yang utuh, yang berhak atas semua hak warga negara Indonesia.
Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Plan International Indonesia menegaskan, akta kelahiran merupakan hal krusial dalam mewujudkan berbagai hak dasar anak-anak. “Tanpa akta kelahiran, hak atas identitas yang legal akan hilang. Itu berarti akses atas hak-hak dasar seperti hak pelayanan kesehatan dan pendidikan akan tertutup,” ujar Dini ketika hadir dalam acara penyerahan akta kelahiran di Kota Soe, Rabu (6/6/2018).
Tanpa akta kelahiran, hak atas identitas yang legal akan hilang. Itu berarti akses atas hak-hak dasar seperti hak pelayanan kesehatan dan pendidikan akan tertutup.
Akta kelahiran juga akan memberi kepastian perlindungan bagi anak-anak berusia di bawah 14 tahun atas hak dalam peraturan hukum dan perundang-undangan bagi anak, selain sebagai sebuah dokumen legal untuk mencegah praktik perdagangan manusia dan perkawinan anak. Hingga kini NTT menjadi salah satu daerah pengirim pekerja migran.
Dalam beberapa tahun terakhir hampir tiap bulan ada jenasah pekerja migran asal NTT yang dipulangkan dari luar negeri. Sebagian besar mereka berangkat ke luar negeri pada usia anak-anak, karena usia dan identitas mereka sering dipalsukan. Padahal jika mereka memiliki akta kelahiran dan dokumen kependudukan, data-datanya bisa terlacak karena terekam dalam sistem informasi administrasi kependudukan.