Agar Lebih Optimal, Dana Otsus Papua Sebaiknya Dipisahkan dari APBD
Oleh
Fabio Costa
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Regulasi pengelolaan dana otonomi khusus sebaiknya diubah, yakni dipisahkan dari APBD. Tujuannya agar penggunaan dana tersebut mudah diawasi dan lebih fokus untuk sektor peningkatan ekonomi masyarakat Papua.
Hal ini disampaikan Kepala Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Laduani Ladamay saat dihubungi dari Jayapura, Rabu (8/8/2018).
Laduani mengatakan, apabila dana otonomi khusus digabungkan ke dalam APBD, dana itu rawan digunakan untuk kebutuhan lain.
”Dana otsus yang tergabung dalam APBD dapat digunakan untuk belanja aparatur negara. Padahal, amanah dari dana otsus untuk pengembangan berbagai sekeliling bagi masyarakat asli Papua,” katanya.
Ia berpendapat, sebaiknya dana otsus dikelola oleh sebuah lembaga khusus dengan perencanaan yang lebih matang.
”Dengan adanya sebuah lembaga, dana otsus lebih baik ditujukan untuk sektor ekonomi rakyat, misalnya meningkatkan kualitas komoditas unggulan, seperti sagu dan kopi. Saat ini, kami bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Papua telah menyusun regulasi untuk mengembangkan dua komoditas secara terintegrasi,” ujarnya.
Ia menilai, pengembangan sektor ekonomi khusus bagi masyarakat dengan pemanfaatan sumber daya alam adalah kunci mengatasi masalah kemiskinan di Papua.
”Kemiskinan adalah muara dari masalah kesehatan dan pendidikan yang terjadi di Papua hingga kini. Padahal, Papua memiliki sumber alam nonhutan dengan nilai jual mencapai Rp 220 triliun,” ujar Laduani.
Kepala Bappeda Papua Muhammad Musaad mengatakan, pihaknya telah menggelar musyawarah rencana pembangunan khusus pada Mei 2018 lalu.
Kegiatan ini bertujuan untuk meminta pendapat dari tokoh masyarakat adat di semua kabupaten dan kota di Papua agar penggunaan dana otsus sesuai dengan kebutuhan masyarakat di lapangan.
Ia menambahkan, Pemprov Papua secara langsung mendapatkan pendampingan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran keuangan daerah pada tahun 2016. Pembinaan ini kemudian menghasilkan sistem e-government.
Sistem e-government meliputi aplikasi e-planning dan e-musrenbang untuk perencanaan, e-budgeting untuk penganggaran, e-pengadaan barang dan jasa, e-perizinan, serta e-samsat.
Dengan aplikasi e-planning, e-musrenbang dan e-budgeting, pemda di 29 kabupaten dan kota diwajibkan untuk mengisi rencana dan penganggaran dana otonomi khusus sesuai perdasus yang ditetapkan Pemprov Papua.
”Apabila pemda tak mengisi aplikasi itu dengan benar, dana otonomi khusus untuk mereka belum dapat dicairkan. Memang ini regulasi yang sangat ketat, namun kami harus mengikutinya sesuai pembinaan dari KPK,” ujar Muhammad.
Ia menambahkan, Pemprov Papua juga akan menggandeng lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan instansi terkait untuk mengecek implementasi dana otsus yang ditetapkan dalam aplikasi e-musrenbang, e-planning, dan e-budgeting.
”Tim ini bertugas untuk memonitor apakah penggunaan anggaran dana otsus sesuai dengan aplikasi-aplikasi dalam sistem e-government. Kami pun membutuhkan bantuan dari segala pihak, khususnya masyarakat, untuk peranan pengawasan dana otsus,” katanya.
Data dari Bappeda Papua, anggaran dana otonomi khusus yang diterima tahun 2017 senilai Rp 8,2 triliun. Sementara total dana otonomi khusus yang diterima Pemprov Papua pada tahun 2002-2017 mencapai Rp 68,17 triliun.
Diketahui, berdasarkan data yang dihimpun Kompas dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Papua tahun 2018, masih terdapat dua kasus penyalahgunaan dana otonomi khusus yang ditangani.
Pertama, dugaan penyalahgunaan anggaran pembangunan terminal di Nabire dan penyalahgunaan dana program pengembangan tanaman singkong karava di Kabupaten Sarmi. Lima orang ditetapkan sebagai tersangka dan kerugian negara mencapai Rp 3,4 miliar.