Perilaku Berkendara Masyarakat Bisa Diubah
JAKARTA, KOMPAS — Kebiasaan masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi bisa diubah agar beralih ke transportasi umum. Kebijakan ganjil-genap pada perhelatan Asian Games 2018 menjadi momentum untuk memulai perubahan itu. Hal ini perlu didukung oleh peraturan yang jelas dan pembenahan layanan transportasi umum.
Psikolog Kasandra Putranto mengatakan, pada dasarnya setiap perilaku bisa diubah. Menurut dia, perilaku muncul sebagai hasil belajar, selain perilaku yang sifatnya refleks dan yang mengandalkan insting. ”Untuk memodifikasi (perilaku), tergantung jenis perilakunya dan model intervensi yang dilakukan,” katanya ketika dihubungi Kompas, Senin (6/8/2018).
Kasandra mengatakan, pemerintah bisa membuat kebijakan untuk mengubah perilaku masyarakat. Mengacu pada teori belajar dan pola pembentukan perilaku, menurut dia, perilaku terbentuk dengan mekanisme penghargaan, hukuman, dan meniru. ”Perubahan perilaku (berkendara) juga bisa dilakukan dengan metode yang sama,” ujar Kasandra.
Ia menyebutkan, ada sebuah penelitian psikologi yang dilakukan selama 12 minggu atau 78 hari mengenai pembentukan kebiasaan hidup. Penelitian itu dilakukan oleh Phillippa Lally dan timnya di Departemen Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat, University College London.
Penelitian itu diterbitkan European Journal of Social Psycology tahun 2010 berjudul ”How are habits formed: Modelling habit formation in the real world”. Lally meneliti 96 orang untuk melakukan kebiasaan hidup sehat, seperti mengatur pola makan, minum, dan olahraga.
Hasil penelitian menunjukkan, waktu yang dibutuhkan untuk membentuk perilaku baru menjadi kebiasaan dibutuhkan rata-rata 66 hari. Kasandra mengatakan, hal ini bisa diterapkan untuk mengubah perilaku berkendara seseorang. Menurut dia, pemerintah bisa mengintervensi pengemudi mobil pribadi dengan hukuman seperti penilangan.
”Hal itu bisa membuat pengendara takut melanggar peraturan. Meskipun tidak menjamin perubahan perilaku bisa sepenuhnya terwujud, tergantung kondisi psikologis, teknik perubahan perilaku, konsistensi dan situasinya,” ujar Kasandra.
Jika transportasi publik bisa memberikan keuntungan yang lebih baik berupa harga, kecepatan, dan kenyamanan, masyarakat akan cepat beralih ke transportasi publik.
Menurut Kasandra, perilaku seseorang bisa berubah jika ada keuntungan yang didapat. Jika transportasi publik bisa memberikan keuntungan yang lebih baik berupa harga, kecepatan, dan kenyamanan, masyarakat akan cepat beralih ke transportasi publik. Ia mencontohkan, jika biaya menggunakan transportasi publik sama dengan menggunakan kendaraan pribadi, masyarakat akan menimbang-nimbang untuk beralih ke transportasi publik.
Perluasan ganjil genap dimulai 1 Agustus hingga 2 September 2018 atau 33 hari. Jika mengacu pada teori perubahan kebiasaan, hal ini belum bisa sepenuhnya mengubah kebiasaan masyarakat, ditambah permasalahan transportasi publik di Jakarta.
Pembenahan transportasi umum
Sejak pemberlakuan sistem ganjil genap, sejumlah pengendara mobil di Jakarta beralih ke transjakarta. Mereka berharap penggunaan jalan kembali normal setelah Asian Games karena beberapa di antaranya bekerja dengan mobilitas tinggi.
Salah satunya adalah Hendro Sutresno (39) yang ditemui Kompas di Halte Bus Transjakarta Jamsostek, Jalan Gatot Subroto, Rabu (1/8/2018). Hendro mengatakan, saat itu ia sudah dua hari menggunakan transjakarta, yakni sejak Selasa (31/7/2018). ”Kebetulan pelat mobil saya akhirannya genap. Saya tidak pakai jalur alternatif karena takut merepotkan,” katanya.
Ia mengatakan mendukung kebijakan ganjil genap ini selama Asian Games yang dibuka pada 18 Agustus 2018. Hendro berharap, kebijakan ini tidak diberlakukan terus-menerus. Setelah Asian Games, ia berharap peraturan penggunaan jalan di Jakarta kembali ke peraturan sebelumnya. ”Setelah Asian Games, saya harap kembali ke peraturan awal. Sebagai warga negara, saya juga ingin menikmati jalan Ibu Kota,” katanya.
Hal tersebut ia sampaikan karena pekerjaannya dituntut untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain di Jakarta. Keadaan seperti itu membuat pekerjaannya terhambat ketika harus menggunakan trasportasi umum.
Peneliti Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, ketakutan semacam itu tidak akan terjadi jika sistem transportasi Indonesia sudah baik. Djoko mengatakan, pemerintah bisa belajar dari perhelatan Olimpiade XXIX di Beijing 2008.
Saat itu, Beijing memiliki masalah kemacetan akibat keberadaan kendaraan pribadi di jalan raya yang tak terkendali. Polusi udara di Beijing juga tinggi akibat asap kendaraan bermotor. Djoko menjelaskan, pemerintah Beijing memutuskan penerapan sistem ganjil genap.
Peraturan yang ditetapkan Pemerintah Beijing lebih ketat dibandingkan dengan yang diterapkan Pemerintah Indonesia saat ini. Ia menyebutkan, kendaraan di Beijing yang diizinkan beroperasi adalah nomor pelat kendaraan yang angka akhirannya jika dijumlahkan hasilnya 10. Pada Senin, kendaraan yang diizinkan beroperasi adalah yang berakhiran 9 dan 1 (ganjil). Pada Selasa, yang berakhiran 8 dan 2 (genap), begitu seterusnya sampai hari Kamis.
”Pada Jumat, kendaraan yang boleh beroperasi adalah yang berakhiran 5 dan 0 (gajil dan genap). Peraturan itu tidak berlaku pada hari Sabtu dan Minggu,” kata Djoko. Ia mengatakan, hasilnya bagus dan masyarakat minta kebijakan itu dilanjutkan sampai saat ini. Masyarakat Beijing merasakan dampaknya, yakni kenyamanan bepergian menggunakan transportasi umum dan membaiknya kualitas udara.
Djoko mengatakan, dibutuhkan komitmen tinggi pemerintah untuk keberlanjutan sistem ganjil genap. ”Diperlukan integrasi fisik, jadwal, dan pembayaran agar masyarakat nyaman menggunakan transportasi umum,” katanya.
Integrasi fisik yang dimaksud Djoko adalah keberadaan sarana prasarana yang memungkinkan penumpang berpindah dengan mudah intra dan atau antarmoda transportasi lain. Ia mengatakan, di setiap permukiman perlu ada halte transjakarta agar memudahkan masyarakat mengakses transportasi. Selain itu, tujuan bus juga diperbanyak agar memudahkan mobilitas masyarakat.
Agar masyarakat nyaman, pemerintah perlu mempertimbangkan jumlah armada. Menurut dia, jika jumlah armada banyak, pengangkutan penumpang jadi lebih banyak. Hal itu membuat orang tidak perlu menunggu lama untuk bisa berangkat ke tujuan masing-masing.
Selanjutnya, maksud dari integrasi jadwal adalah kesesuaian jadwal kedatangan dan keberangkatan angkutan umum yang terinformasi dengan baik. Hal ini memungkinkan berkurangnya waktu tunggu penumpang pada saat berpindah intra dan atau antar moda transportasi.
Menurut Djoko, integrasi pembayaran juga menjadi hal yang perlu diperhatikan pemerintah. Ia mencontohkan, perlu ada sistem pembayaran dengan menggunakan smartcard, yang memungkinkan satu kartu untuk beberapa jenis layanan transportasi.
Untuk menarik minat masyarakat, menurut Djoko, pemerintah bisa membuat kebijakan terkait harga tiket. Jika masyarakat mudah mengakses transportasi umum dengan harga yang terjangkau, masyarakat merasakan manfaat menggunakan transportasi umum.
Djoko mengatakan, tarif kereta di Beijing 2 yuan (Rp 4.000) dan bus 1 yuan (Rp 2.000). Hal itu dibarengi dengan melambungnya tarif parkir kendaraan, berkisar 20-40 kali tarif transportasi umum. Penyediaan lahan parkir di Beijing juga dikurangi sehingga menyulitkan masyarakat memarkir kendaraan pribadinya.
Selain itu, Djoko mengatakan, penggunaan sepeda motor juga dibatasi di Beijing. Sepeda motor hanya bisa digunakan pukul 24.00-06.00. Kendaraan pribadi yang diizinkan beroperasi tanpa batasan waktu hanya sepeda listrik dengan membuat jalur terpisah. Hal itu, menurut Djoko, secara otomatis membuat masyarakat menjadi hemat energi di Beijing.
Menurut Djoko, pemerintah perlu membenahi fasilitas khusus untuk pedestrian atau pejalan kaki. Untuk mengakses transportasi umum, masyarakat akan menggunakan fasilitas seperti jembatan penyebrangan dan trotoar. ”Semua jaringan jalan disediakan fasilitas trotoar yang nyaman dan disediakan jalur bagi kendaraan tidak bermotor (sepeda dan sepeda listrik),” kata Djoko. (SUCIPTO)