JAKARTA, KOMPAS — Regulasi pengelolaan dana otonomi khusus untuk Papua, Papua Barat, Aceh, dan Yogyakarta perlu ditinjau ulang agar peruntukannya bisa tepat sasaran. Sejauh ini dana yang disalurkan dalam bentuk hibah (block grant) itu belum berbasis evaluasi program berkelanjutan.
"Perencanaan dan regulasi di tingkat daerah tidak siap mengelola dana otsus (otonomi khusus). Hasil pemantauan ICW (Indonesia Corruption Watch), dana otsus atau dana dalam bentuk hibah lain sangat rawan diselewengkan. Rendahnya pengawasan pusat menjadi celah bagi oknum melakukan penyelewengan itu," kata Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas di Jakarta, Senin (6/8/2018).
Secara umum pemberian dana otsus sejauh ini tak berdampak signifikan. Padahal, dana otsus Papua akan berakhir pada 2020 dan Aceh pada 2024. Di Aceh, jumlah penduduk miskin selama 11 tahun terakhir hanya berkurang 123.335 orang. Jika dipersempit lagi, penduduk miskin berkurang 11.212 orang per tahun. Di Aceh ada 6.474 desa, artinya penduduk miskin yang berkurang di setiap desa per tahun hanya dua orang. Di Papua pun jumlah penduduk miskin masih 27,7 persen dari 4,7 juta jiwa (Kompas,6/8).
Direktur Pembiayaan dan Transfer Non-Dana Perimbangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Ubaidi Socheh Hamidi berjanji akan terus meningkatkan evaluasi penggunaan dana otsus. "Apakah realisasinya sesuai dengan yang ditetapkan undang-undang. Kami akan terus melakukan evaluasi dan kajian," ujarnya.
Selama ini, formula dana otsus untuk Papua, Papua Barat, dan Aceh sebesar 2 persen dari pagu dana alokasi umum (DAU) nasional. Adapun dana keistimewaan untuk DI Yogyakarta sesuai usulan pemerintah dan kesultanan. Khusus Papua dan Papua Barat, ada tambahan dana untuk pembangunan infrastruktur.
Total dana otsus dan tambahan infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat pada 2018 sebesar Rp 20,06 triliun, atau naik Rp 0,62 triliun dibandingkan pada 2017 sebesar Rp 19,44 triliun. Rincian dana otsus untuk Papua Rp 5,6 triliun, Papua Barat Rp 2,4 triliun, dan Aceh Rp 8 triliun. Alokasi dana otsus naik setiap tahun.
Yohanes Akwan, Ketua Gabungan Serikat Buruh Indonesia Papua Barat, menduga pembangunan kantor gubernur Papua Barat yang terdiri atas lima lantai, rumah dinas gubernur dan wakil gubernur yang megah, dananya bersumber dari dana otsus. Dugaan itu karena hingga kini dana otsus, dana alokasi khusus, dan DAU masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
"Makanya, kami minta pengelolaan dana otsus selama hampir 10 tahun terakhir dibuka oleh pemda sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Selama ini, warga sulit mengontrol pengelolaan dana otsus, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Yang mengetahui pengelolaan dana otsus hanyalah eksekutif dan legislatif di daerah," ujar Yohanes Akwan.
Kepala Biro Otsus Setda Papua Barat Makambak Mathias berjanji akan mengevaluasi penggunaan dana otsus oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Evaluasi itu dilakukan bersama pihak penegak hukum. "Selama ini 80 persen dana otsus dikelola kabupaten/kota. Mulai tahun ini ditingkatkan menjadi 90 persen. Sisanya dikelola provinsi. Evaluasi dilakukan agar lebih baik lagi ke depannya," katanya.
Di Aceh, mekanisme pengelolaan dana otsus telah dua kali diubah. Dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 diatur 40 persen dikelola provinsi dan 60 persen dikelola kabupaten/kota. Namun, tahun 2013, Qanun itu diubah lagi menjadi 60 persen dikelola provinsi dan 40 persen dikelola kabupaten/kota. Lalu pada 2016 kembali diubah, yakni seluruh dana otsus dikelola provinsi. Kabupaten hanya mengusulkan program, tetapi keputusannya ada pada gubernur.
Menurut Kepala Divisi Advokasi Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh Hayatuddin Tanjung, perubahan pola pengelolaan itu sesuai keinginan DPRA. Perubahan itu dilakukan menjelang pemilihan kepala daerah 2017-2022. Harapannya, jika calon yang dijagokan menang, mereka lebih leluasa mengutak-atik dana otsus.
Kepala Bappeda Aceh Azhari Hasan mengakui perubahan pengelolaan dana otsus. "Meski 100 persen dikelola provinsi, pemkab memiliki hak mengusulkan program," ujarnya.
Ketua DPR Aceh Muharuddin beralasan pengelolaan dana otsus yang dilakukan pemkot/pemkab selama ini tidak efektif. "Banyak program tidak berjalan. Penguasaan anggaran 40 persen oleh pemerintah kabupatem/kota telah melahirkan raja-raja kecil baru di daerah," katanya. (KRN/FLO/AIN/FRN)