A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
·4 menit baca
Ada perkembangan baru dalam kebijakan menaikkan suku bunga di Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump secara terbuka menyatakan ketidaksenangannya terhadap agresivitas The Fed menaikkan suku bunga acuan. Trump mengkritik, kenaikan suku bunga bertubi-tubi akan mengganggu pertumbuhan ekonomi AS. Namun, ia menyadari, tidak bisa mengintervensi bank sentral karena The Fed dijamin independensinya. The Fed juga merespons bahwa mereka independen dalam menentukan suku bunga (BBC News, 19/7/2018).
Lebih jauh Trump menyatakan, kenaikan suku bunga tidak menguntungkan. Sebab, pada yang saat yang sama, Eropa dan Jepang masih mempertahankan rezim suku bunga rendah. Trump juga mengeluh, China dengan sengaja membuat mata uangnya, yuan, melemah. Padahal, tahun lalu China menikmati surplus raksasa 375 miliar dollar AS terhadap AS, yang memicu Trump menggelorakan perang dagang (CNN Money, 19/7).
Perbedaan pendapat antara Presiden Trump dengan Gubernur The Fed, Jerome Powell, menjadi menarik, karena sebelumnya Trump menginginkan suku bunga AS dinaikkan. Suku bunga rendah yang sudah diberlakukan selama tujuh tahun pada era Gubernur The Fed, Ben S Bernanke dan Janet Yellen, dianggap tidak adil bagi para penabung.
Logika ini semakin menemukan relevansinya tatkala inflasi di AS sekarang 2,9 persen atau melebihi target “sekitar 2 persen”, padahal suku bunga acuan hanya 2 persen. Suku bunga ideal saat ini mestinya di atas laju inflasi, yakni mestinya sekitar 3,25-3,50 persen. Oleh karena itu, logis jika The Fed menginginkan kenaikan suku bunga dua kali lagi pada tahun ini dan tiga kali lagi tahun depan.
Dengan asumsi naik lima kali lagi, maka suku bunga acuan akan mencapai 3,25 persen. Level ini cukup untuk “mengompensasi” inflasi 2,9 persen.
Namun, masalahnya, setiap kali suku bunga dinaikkan, pasar global merespons dengan kenaikan nilai tukar dollar AS. Implikasinya, harga barang-barang AS menjadi kian mahal. Upaya menurunkan defisit transaksi berjalan AS yang mencapai 462 miliar dollar AS kian sulit. AS menderita defisit terbesar di dunia, jauh melampaui peringkat kedua Inggris yang “hanya” defisit 91 miliar dollar AS.
Sementara itu, pemilik surplus terbesar di dunia adalah Uni Eropa 387 miliar dollar AS dan China USD 162 miliar dollar AS.
Bisa jadi situasi dilematis ini mendorong The Fed menahan suku bunga acuannya di kisaran 1,75-2,00 persen pada rapat terakhirnya, 1 Agustus 2018. Namun, pasar tetap berekspektasi suku bunga akan dinaikkan ke 2,00-2,25 persen pada September 2018. Berarti, ancaman penguatan nilai tukar dollar AS masih akan berlanjut. Skenario ini hanya bisa diredam jika tiba-tiba inflasi di bisa diturunkan cepat ke level “sekitar 2 persen”. Namun, bisakah itu segera terjadi? Sulit untuk memastikannya.
Dengan latar belakang semacam itu, kita harus mulai mengubah cara berpikir. Rupiah tidak bisa diharapkan kembali ke level sebelumnya, misalnya di bawah Rp 14.000 per dollar AS. Kendati nilai tukar rupiah saat ini menyerupai Rp 15.000-17.000 per dollar AS pada saat krisis parah 20 tahun silam (1998), namun situasinya berbeda. Kurs saat ini Rp 14.400 per dollar AS merupakan depresiasi dari posisi sebelumnya Rp 13.700 per dollar AS, sedangkan kurs Rp 15.000 per dollar AS pada 1998 adalah hasil depresiasi yang sangat tajam dari posisi sebelumnya Rp 2.300 per dollar AS pada 1997.
Oleh karena itu, secara metodologis sangat keliru jika orang membandingkan keduanya. Belum lagi indikator lain: inflasi 3,18 persen (2018) versus 78 persen (1998); pertumbuhan ekonomi 5 persen (2018) versus minus 13,7 persen (1998). Kondisi industri perbankan juga sangat berbeda. Hampir semua bank merugi dan kolaps pada 1998, dengan modal negatif. Kini bank-bank justru mengalami rasio kecukupan modal yang bahkan melampaui 20 persen untuk bank-bank besar.
Meski demikian, banyak penyesuaian yang harus dilakukan untuk memproteksi rupiah. Dengan inflasi saat ini 3,18 persen, sebenarnya suku bunga acuan saat ini sudah cukup (5,25 persen). Namun, masalahnya, tekanan kenaikan suku bunga di AS masih akan terjadi. Tampaknya BI masih bisa menahan hingga menunggu rapat The Fed berikutnya, pada 25-26 September.
Di sisi lain, pemerintah perlu mengerem pengeluaran devisa dalam jumlah besar. Defisit transaksi berjalan merupakan faktor internal yang berpengaruh besar terhadap pelemahan rupiah. Ide Presiden Joko Widodo menunda sebagian proyek infrastruktur perlu disambut baik.
Pemerintah tahun ini menganggarkan Rp 410 triliun untuk membangun infrastruktur. Di satu pihak, ini merupakan dorongan besar yang menggairahkan perekonomian, sebagaimana disarankan teori pertumbuhan Ragnar Nurkse (1907-1959). Namun, di sisi lain, pembangunan infrastruktur diikuti pembelanjaan dalam valuta asing yang berkontribusi pada melebarnya defisit transaksi berjalan dan berkurangnya cadangan devisa.
Strategi jangka panjang kita sudah benar, yakni membangun infrastruktur besar-besaran. Namun, tatkala di tengah jalan timbul kendala, kita perlu penyesuaian dalam menentukan taktik jangka pendek. Ibarat mengendarai mobil, kita tidak harus selalu menekan pedal gas. Ada kalanya juga perlu menginjak pedal rem ketika melewati kelokan yang tajam, terjal, dan berbatu-batu… *****
A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM