Trauma Korban Pemerkosaan Harus Jadi Pertimbangan Hukum
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kalangan aktivis perempuan dan anak mendukung upaya banding yang dilakukan korban pemerkosaan, WA (15), menyusul putusan hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian yang menvonisnya 6 bulan penjara. Faktor psikologis WA yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual yang dialaminya harus menjadi pertimbangan hukum.
Aliansi Keadilan untuk Korban Pemerkosaan di Jakarta, Minggu (5/8/2018) dalam keterangan pers mengecam keras penjatuhan pidana 6 bulan penjara terhadap WA, anak korban perkosaan yang menggugurkan kandungannya. Selain memeriksa dengan hati-hati perkara tersebut, majelis hakim di tingkat banding diharapkan tidak memperkuat putusan pengadilan pertama, tapi membebaskan WA dari hukuman penjara.
Harapan itu disampaikan Adriana Venny (Komisioner Komnas Perempuan), Livia Iskandar (Psikolog Yayasan Pulih), Maidina Rahmawati (Peneliti Institute for Criminal Justice Reform/ICJR), Veni Siregar (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan/LBH APIK Jakarta) dalam diskusi yang dipandu Naila Rizqi (LBH Masyarakat).
“Kami berharap Pengadilan Tinggi Jambi menggelar sidang terbuka, mengingat selama proses persidangan di tingkat pengadilan negeri ada beberapa hal yang diabaikan,” kata Maidina.
Dari kajian yang dilakukan ICJR dan kalangan aktivis perempuan dan anak, WA seharusnya dibebaskan majelis hakim karena unsur tindak pidana yang dituntut pada WA tidak terbukti. Sebab, tidak ada pembuktian dalam persidangan bahwa bayi yang ditemukan oleh warga adalah bayi yang dikandung oleh anak korban pemerkosaan tersebut. Bahkan dalam visum et repertum pada bayi, tidak diketahui penyebab kematian bayi yang ditemukan.
Selain itu, baik penuntut umum maupun majelis hakim di PN dinilai tidak menggali aspek psikologis anak korban pemerkosaan yang didakwa melakukan aborsi, tidak ada pemeriksaan terkait dengan perkosaan yang dialaminya.
Padahal hakim terikat pada Perma No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang mewajibkan hakim untuk menggali rasa keadilan untuk menjamin putusan yang berkeadilan kepada perempuan. “Namun fakta bahwa anak adalah korban pemerkosaan yang mengalami trauma diabaikan, padahal korban pemerkosaan boleh melakukan aborsi,” tambah Veni.
Namun fakta bahwa anak adalah korban pemerkosaan yang mengalami trauma diabaikan, padahal korban pemerkosaan boleh melakukan aborsi.
Indikasi penyiksaan
Karena itu, selain menggelar sidang terbuka, Aliansi Keadilan untuk Korban Pemerkosaan meminta hakim Pengadilan Tinggi Jambi untuk memeriksa validitas alat bukti yang dihadirkan dalam sidang di tingkat PN. Karena ada indikasi adanya penyiksaan, tidak adanya pertimbangan psikologis anak korban pemerkosaan dan tidak ada pembuktian sah dan meyakinkan yang menyatakan bayi yang ditemukan oleh warga adalah bayi anak korban pemerkosaan.
" Faktor psikologis anak harus dipertimbangkan. Karena itu perlu ada pemeriksaan psikologis, dan menghadirkan keterangan ahli psikologis/psikiatrik di pengadilan sehingga hakim bisa lebih paham dinamika seorang anak yang menjadi korban pemerkosaan dari kakaknya sendiri. Apalagi pelakunya adalah kakaknya sendiri,” ucap Livia.
Pada kesempatan itu, Aliansi Keadilan untuk Korban Pemerkosaan yang terdiri dari sejumlah organisasi antara lain ICJR, LBH APIK Jakarta, Rumah Cemara, LBH Masyarakat, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Kita Sama, Pasukan Jarik, Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC), Rutgers WPF Indonesia, dan Save All Women and Girls (SAWG) mempertanyakan proses penyidikan perkara tersebut.
Hal itu disebabkan WA dan dan ibunya mencabut sebagai keterangannya di persidangan dengan mengaku ada paksaan oleh penyidik pada proses penyidikan. “Namun indikasi ini tidak diperiksa lebih lanjut oleh majelis hakim di PN Muara Bulian, padahal alat bukti harus didapatkan dengan sah dan hak bebas dari penyiksaan adalah non derogable right yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,” kata Maidina.
Menurut aliansi, seharusnya penuntut umum dan majelis hakim mampu melihat tidak ada pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada anak korban perkosaan. Kondisi trauma psikologis akibat pemerkosaan 9 kali dan ancaman diusir ibu korban menandakan ada daya paksa atau keadaan memaksa atau kondisi darurat, yang menghapuskan alasan pemidanaan. Jadi, anak yang jadi korban pemerkosaan tidak dapat dipidana.
Naila menambahkan, hakim tidak boleh memandang korban hanya semata sebagai pelaku aborsi tapi juga sebagai korban pemerkosaan. Jangan hanya berpaku pada proses sidang harus cepat tapi hakim kemudian mengabaikan keadilan bagi korban. "Hakim harus tetap menggali, memeriksa atau mendengar alasan-alasan penghapus pidana dari para ahli,” kata dia.