Dana Besar Tidak Sebanding Hasilnya
BANDA ACEH Hingga 2018, pemerintah telah menggelontorkan dana otonomi khusus dan keistimewaan kepada empat provinsi, yakni Papua, Aceh, Papua Barat, dan Yogyakarta, sekitar Rp 144,5 triliun. Namun, dana begitu besar belum menyejahterakan warga setempat. Pertumbuhan ekonomi tetap rendah, kemiskinan dan pengangguran pun masih tinggi. Uang yang dihabiskan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh warga
Bahkan, di Papua, misalnya, awal tahun ini ditemukan ratusan anak menderita busung lapar, dan 72 orang di antaranya meninggal. Padahal, Papua selama 16 tahun terakhir menerima dana otonomi khusus sebesar Rp 63,4 triliun.
Pada kasus lain, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf awal Juli lalu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang dibiayai dana otonomi khusus Aceh tahun 2018. Tahun ini, Aceh mendapatkan dana Rp 8 triliun.
”Kondisi seperti ini dipicu program pembangunan yang dibiayai dana otonomi khusus tak direncanakan dengan berpijak pada data. Anggaran dan proyek ditentukan di atas meja. Maka, banyak proyek tidak tepat sasaran,” kata pengajar Ilmu Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Rustam Effendi, pekan lalu.
Dana otonomi khusus diberikan pemerintah sejak tahun 2002. Ini sebagai implementasi Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945, yang menyakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. Mula-mula diberikan kepada Provinsi Papua tahun 2002, disusul Aceh tahun 2008, lalu Papua Barat tahun 2009, dan DI Yogyakarta berupa dana keistimewaan mulai tahun 2013.
Badan Pusat Statistik Aceh mencatat angka kemiskinan di Aceh pada 2008 sebanyak 962.335 orang atau 23,55 persen. Jumlah itu turun menjadi 839.000 orang atau 15,97 persen pada 2018. Artinya, selama 11 tahun, jumlah penduduk miskin di Aceh hanya berkurang 123.335 orang.
Jika dipersempit lagi, selama 10 tahun, penduduk miskin turun 11.212 orang per tahun. Dengan jumlah desa di Aceh 6.474 desa, apabila jumlah itu dibagi per desa, maka jumlah penduduk miskin yang berkurang di setiap desa dalam setahun hanya dua orang.
Kini, Aceh menjadi provinsi berpenduduk miskin terbesar di Sumatera dan peringkat keenam di Indonesia. ”Ini ironi. Dana otonomi khusus untuk Aceh setiap tahun naik rata-rata 7,7 persen,” kata Rustam.
Kepala BPS Aceh Wahyuddin mengatakan, hingga Februari 2018 jumlah penganggur di wilayah itu 154.000 orang atau 6,55 persen. Jumlah ini turun dari 149.000 orang atau 7,43 persen pada 2011. ”Dana besar, tapi tidak dimanfaatkan untuk kegiatan produktif, akibatnya pengangguran masih tinggi,” ujar Wahyuddin.
Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran Aceh Alfian menilai korupsi menjadi pemicu utama. Korupsi dana otonomi khusus (otsus) diatur sedemikian rupa dari hilir hingga hulu, dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban. Itu terjadi karena perencanaan program bukan berdasarkan kebutuhan warga, melainkan keinginan pejabat. ”Jangan heran banyak bangunan yang didanai otsus tidak terpakai, seperti pasar rakyat dan terminal di kabupaten,” kata Alfian.
Proyek infrastruktur
Korupsi banyak terjadi pada proyek infrastruktur. Modusnya penggelembungan harga atau pembangunan di bawah spesifikasi yang direncanakan. ”Kenapa dana otsus paling banyak digunakan untuk kegiatan fisik, karena sangat mudah untuk dikorupsi. Buktinya kasus korupsi yang ditangani kejaksaan didominasi proyek fisik,” kata Alfian.
Khusus Papua dan Papua Barat, sejak tahun 2006 diberikan lagi tambahan dana infrastruktur. Hingga 2017, Papua memperoleh Rp 14,6 triliun dan Papua Barat Rp 3,844 triliun.
Namun, hingga Maret 2018, kemiskinan di Papua masih 27,76 persen dari 4,2 juta jiwa. ”Dari hasil monitoring di sejumlah daerah, banyak warga mengeluhkan tidak merasakan dampak dari dana otonomi khusus,” kata anggota DPRD Papua, Thomas Sondegau. Dia menilai masalah kemiskinan di Papua dapat diatasi jika difokuskan pada pendidikan, kesehatan, dan perekonomian.
Terkait pendidikan, data Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Papua menyebutkan, uji kompetensi guru pada tahun 2017 diikuti 2.564 guru se-Papua, tetapi hanya 163 orang yang lulus. ”Provinsi Papua telah mengalokasikan anggaran dana otonomi khusus untuk sektor pendidikan sebesar 30 persen pada 28 kabupaten dan 1 kota. Namun, tidak semua kepala daerah menjalankan amanah tersebut dengan baik,” ungkap Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi Papua Protasius Lobya.
Melalui dana otsus juga diberikan beasiswa bagi anak asli Papua yang sedang kuliah di perguruan tinggi negeri dan swasta di dalam dan luar negeri. Selama 2012-2017, sebanyak 662 mahasiswa mendapatkan beasiswa. Untuk dalam negeri, setiap mahasiswa diberikan Rp 2,5 juta per bulan, sedangkan di luar negeri 1.500 dollar AS per tiga bulan.
”Kami cukup terbantu dengan beasiswa itu, tapi ke depan perlu lebih jeli lagi dalam memberikan beasiswa. Banyak penerima beasiswa kuliah di universitas yang belum jelas akreditasi program studinya. Akibatnya, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan saat kembali ke Papua,” ujar Billy Mambrasar, yang menamatkan pendidikan pada Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung.
Setali tiga uang juga tampak di Papua Barat. Di Jalan Viktori, Kelurahan Kladufu, Distrik Sorong Timur, Kota Sorong, misalnya, tujuh keluarga menggunakan air lumpur berwarna kuning untuk mandi dan cuci. Permukiman yang ditempati warga asli Papua itu persis di jantung kota. ”Kami heran kenapa di sini tidak dilayani PAM (perusahaan daerah air minum), padahal dari dulu kami tinggal di sini,” ujar Zadrak Erare (69). Untuk minum, mereka membeli dengan harga Rp 10.000 per dua galon.
Kepala Biro Otonomi Khusus Sekretariat Daerah Papua Barat Makambak Mathias mengakui dana otsus belum dikelola dengan baik. Ia bahkan menyebutkan pengelolaan dana otsus gagal. ”Selama ini, dana otsus digabung begitu saja dengan sumber pendapatan lain ke dalam APBD Papua Barat. Lantaran tak ada pemisahan, sulit dilacak peruntukan dana otsus. Evaluasi untuk mengukur efektivitasnya pun sulit,” ujarnya. (FLO/AIN/FRN)