MALANG, KOMPAS – Menjelang peringatan 73 tahun kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2018 mendatang, banyak hal masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Salah satunya adalah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM termasuk hilangnya aktivis 1998. Masih banyak keluarga korban hidup dalam duka dan penantian, bahkan membawanya hingga mati.
Salah satu keluarga korban yang membawa duka dan penantiannya dalam kasus ‘hilangnya’ aktivis 1998 adalah Genoveva Misiati. Senin (6/8/2018), pukul 05.55 WIB, ibunda dari Bima Petrus Anugerah tersebut meninggal dunia di RS Panti Nirmala, Kota Malang, Jawa Timur. Bima Petrus Anugerah adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang lenyap tanpa kabar pada 1998. Ia adalah bagian dari 13 orang yang hilang sejak tahun 1997.
Pada usia 76 tahun, dengan bantuan Yang Maha Kuasa, Misiati menutup buku pencarian atas anaknya. Raga Misiati tak lagi kuat menanggung rindu, luka, penantian, dan harapan sejak 20 tahun lalu. Harapan untuk menemukan anaknya, atau setidaknya mendapat kejelasan tentang keberadaan anaknya itu. Di sisi-Nya, mungkin saja Tuhan yang tak tahan mendengar jerit hati seorang ibu, akhirnya mempertemukan Misiati dengan buah hatinya.
Misiati akan dimakamkan pada Selasa (7/8/2018) di TPI Ngujil, Bunul, Kota Malang sekitar pukul 08.00 WIB. Misiati meninggal setelah seminggu dirawat di RS Panti Nirmala. Jenazah Misiati disemayamkan di Rumah Persemayaman Gotong Royong Jalan Karya Timur, Kota Malang.
Perjuangan istri Utomo Rahardjo itu tidaklah mudah. Setahun ini, ia harus enam kali bolak-balik keluar masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan. Sejak April raganya kian menderita, hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir menjelang proklamasi kemerdekaan RI 11 hari lagi.
“Ibu memang sudah sakit sejak lama. Awalnya dikira jantung, lalu merembet ke paru-paru, lalu dikira penyakit dalam, dan terus dicari ternyata tidak diketahui sakitnya apa. Hingga sampai terakhir beliau meninggal, tidak diketahui apa sebabnya. Hanya saja ada keluhan di pencernaan,” kata Utomo Rahardjo, suami Misiati, Senin (5/8/2018).
Dengan berpulangnya Misiati, Utomo akan melanjutkan perjuangan mencari keadilan untuk anaknya meski sendirian. Kalaupun tidak dalam bentuk perjuangan unjuk rasa di jalan, Utomo terus berjuang dengan caranya sendiri. Yaitu, menularkan semangat perjuangan dan keadilan pada banyak orang.
“Tanggal 11 Agustus mendatang, nanti saya masih dimintai tolong Unair untuk memberi pengarahan pada mahasiswa baru soal kisah perjuangan mahasiswa seperti anak saya, dan bagaimana sikap orang tua terhadap hal itu,” kata Utomo.
Namun Utomo mengaku tidak lagi memiliki harapan berlebihan atas kasus hilangnya sang anak. Ia sadar, kelindan kepentingan dan orang-orang penting negeri ini ada di sana. “Daripada saya menghabiskan energi untuk hal yang tidak pasti, saya lebih baik membagi pengalaman dan perjuangan saya dengan cara yang saya bisa,” katanya.
Sikap Utomo tersebut adalah pilihan yang menurutnya tepat. Pada masa politik, jelang pilpres 2019, ia tidak ingin dijadikan peluru untuk menembak sembarangan. Sebab baginya, cukup sudah politik ‘menghilangkan’ anaknya. Jangan lagi ada korban-korban ‘politik’ lain yang serupa meski caranya tak sama seperti pada anaknya.
“Tentu saja ada harapan tentang kejelasan kasus ini. Tapi biarlah ini berproses, siapa tahu nanti akan ada hasilnya,” katanya.
Perjuangan
Setahun lalu, KOMPAS pernah berkunjung ke rumah Misiati dan mendengarkan perjalanan kisah pencariannya atas sang anak. Usaha Misiati-Utomo untuk menemukan Bima tak kepalang banyaknya. Mulai dari menempuh jalur resmi, hingga ditipu orang saat berusaha mencari Bima melalui jalur pencarian alternatif.
Dua tahun sejak Maret 1998, Misiati rutin minimal dua kali sebulan, pergi ke Jakarta untuk berunjuk rasa. Mengingatkan para penguasa, bahwa ada kasus lama (13 aktivis hilang) yang harus dituntaskan. Namun kejelasan kabar 13 orang itu terus tergerus zaman. Setiap kepala negara berganti, ada secercah harapan ‘pencarian’ Bima. Namun nyatanya, kasus Bima dan teman-temannya semakin hilang ditelan zaman.
Dua tahun pulang pergi Malang-Jakarta, menjadikan Misiati lelah. Usia tak lagi muda, membuatnya sakit-sakitan. Tahun 2007, Misiati berhenti pergi ke Jakarta. Tenaga dan biaya, tidak mendukungnya. Ia memilih berjuang dalam doa. Kesehatan Misiati terus merosot. Tahun 2016, Misiati berkali-kali masuk rumah sakit karena lelah. Lelah fisik, dan psikis.
“Namun kami tak akan berhenti berusaha. Kami terus berdoa setiap malam. Untuk Bima, keluarga, dan untuk bangsa. Kami yakin, suatu saat entah kapan, kebenaran akan datang,” kata perempuan yang pernah berprofesi sebagai guru SD tersebut.
Harapan bahwa Bima akan kembali, terus disimpan di hati. Pintu rumah Misiati, tetap tak pernah dikunci, seperti saat Bima masih ada. Bima dengan aktivitasnya, sering membuatnya pulang malam. Tidak ingin mengganggu istirahat keluarga, orang tua Bima memutuskan tidak mengunci pintu samping rumah yang langsung mengarah ke kamar Bima.
“Hingga kini pintu rumah tetap tidak kami kunci. Siapa juga akan datang ke sini. Tidak ada apa-apa di sini,” ujar Misiati saat itu. Secuil harapan, Bima akan pulang meski telah 18 tahun menghilang. Misiati bahkan menjebol tembok kamar Bima, dan membuat jalan tembus menuju dapur. Ah, ibu itu mungkin berpikir, Bima akan pulang dengan kondisi lapar. Sehingga, jika tembok kamar langsung ditembuskan ke dapur, Bima tak perlu repot mencari makan.
Yang Hilang
Maret 1998, sang buah hati ‘hilang’ entah ke mana. Bima Petrus Anugerah, aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) tersebut lenyap tanpa kabar. Ia bagian dari 13 orang yang hilang sejak tahun 1997. Kabar tentang Bima seakan dilupakan, dan tertelan zaman.
“Sama sekali tidak ada lagi orang yang datang menanyakan, kecuali rekan-rekan pers. Entah mereka sungkan karena takut menyakiti kami, atau karena memang mereka tidak pernah tahu dan ingin melupakan. Tapi tidak dengan kami (kedua orang tua Bima). Kami akan terus mengingatnya, menceritakan kisahnya, mendoakan, dan terus menanti kabar kepastian Bima. Kami hanya butuh kepastian, anak kami masih ada atau tidak. Kalau ada, ia di mana. Kalau tidak, di mana ia berada dan bagaimana ia bisa meninggal,” kata Genoveva Misiati , ibunda Bima, Rabu (18/1/2017). Saat itu KOMPAS, menemuinya di rumah Misiati di Jalan Tumenggung Suryo RT 1 RW 9 Kelurahan Bunulrejo, Kota Malang.
Misiati berprasangka baik. Mungkin, orang tidak mau membuka luka batin keluarganya, setelah belasan tahun berlalu. Ibu empat anak tersebut seakan tidak peduli. “Cukup bagi saya, jika mereka meyakini dalam hati, bahwa ada peran Bima dan teman-temannya dalam hidup mereka sekarang,” kata perempuan yang sudah kenyang ‘diasingkan dan ditinggalkan’ sejak Bima hilang.
Dalam bening air yang terus menggenang di kedua bola matanya, Misiati berkisah. Sejak Bima hilang, banyak orang justru memandang keluarganya, layaknya penyakit ‘kusta’. Tetangga, kawan, bahkan keluarga menghindar seakan tak kenal.
Mereka dicap terlibat komunisme. Hati Misiati dan Utomo Rahardjo, suaminya, seperti terisis. Bagaimana bisa? Anaknya adalah korban. Hilang tanpa kejelasan, tapi justru mereka yang seakan pesakitan. Itulah, sejarah memang tidak pernah memihak orang kalah.
Lima tahun sejak Bima entah ke mana, lambat-laun tetangga dan orang sekitar mulai paham. Mereka kembali melihat keluarga Bima sebagai bagian dari mereka--rakyat kebanyakan yang selalu menjadi korban berbagai persoalan.
“Belakangan ada kabar, entah benar atau tidak. Katanya Presiden Jokowi pada tahun 2017, akan mencari orang-orang hilang itu. Semoga saja benar. Kami hanya butuh kepastian, anak kami masih ada atau tidak,” kata Misiati kembali menegaskan saat itu.
Meski senja memakan usia, Misiati dan Utomo tak berhenti. Mereka terus menanti dan berusaha. Menanti kabar Bima, dan berjuang menyibak zaman--yang perlahan menelan kisah tentang orang-orang hilang. Kini, Utomo berjuang sendirian dengan cara yang dipilihnya...