Simbol dari Elite dan Preferensi Pemilih
Dua pekan terakhir, para elite politik mempergencar komunikasi guna membangun atau memantapkan koalisi pengusul calon presiden dan wakil presiden. Para netizen, kemudian riuh “menebak” simbol-simbol yang dilontarkan para elite dalam pertemuan tersebut; mulai dari gaya berpakaian, gesture, hingga latar lokasi pertemuan.
Intensitas komunikasi di antara elite-elite partai politik meningkat seiring dengan kian dekatnya waktu pembukaan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni 4-10 Agustus.
Pada 23 Juli, Presiden Joko Widodo makan malam di Istana Bogor bersama enam ketua umum partai politik yang sudah menyatakan akan mendukungnya, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sehari setelah itu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di kediaman Yudhoyono di Kuningan, Jakarta. Pertemuan diikuti dengan pernyataan pers bersama yang intinya menyatakan ada kesamaan pandangan di antara keduanya terhadap persoalan bangsa. Dengan begitu, jalan menuju koalisi terbuka. Kunjungan itu kemudian berbalas saat Yudhoyono menyambangi kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta.
Selain itu, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan juga sempat menyambangi kediaman Yudhoyono. Beberapa hari kemudian, Yudhoyono dan petinggi Partai Demokrat bertemu dengan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di sebuah hotel di Jakarta. Pada 31 Juli malam, Prabowo juga lalu bertemu dengan pimpinan PAN dan PKS di rumah seorang pengusaha di Jakarta.
Pertemuan di “kubu” petahana juga tak kalah intens. Pada 28 Juli malam, Joko Widodo bertemu dengan ketua umum tiga partai politik pendukung yang berada di luar parlemen, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), serta Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Pertemuan itu kemudian juga dilanjutkan dengan makan malam Jokowi di Istana Bogor bersama para sekretaris jenderal dari sembilan parpol pendukungnya.
Gaya berpakaian
Netizen atau para pengguna internet kemudian “sibuk” mengomentari pertemuan yang mereka anggap sarat makna. Misalnya, pada saat Yudhoyono bertemu dengan Prabowo, keduanya sama-sama mengenakan kemeja batik lengan panjang berwarna cokelat. Pemilik akun Twitter @susandevy mencuit, “Batik SBY: Sido Mukti bermakna harapan untuk bahagia, batik Prabowo: Parang Rante bermakna kuat dan teguh. Filosofi batik dari posting teman, komunikasi nonverbal yang menarik dari budaya Jawa”.
Sementara itu, saat Joko Widodo bertemu dengan sembilan sekjen parpol pendukungnya, ia mengenakan kemaja putih dengan bagian lengan digulung, sedangkan para sekjen mengenakan kaus berkerah dan memakai sneakers. Pemilik akun Twitter @RustamIbrahim mengomentari soal betapa santainya gaya busana Joko Widodo dan para sekjen pendukungya itu. “Mungkin pesan yang ingin disampaikan: ‘politik itu serius, tapi bisa dilakukan dengan santai’”.
Pengajar komunikasi politik Universitas Paramadina Jakarta Hendri Satrio menuturkan publik, terutama para pemilih pada Pemilu 2019 akan selalu memerhatikan berbagai simbol yang dilontarkan oleh para elite politik, termasuk calon presiden. Menurut dia, secara umum, pesan yang bisa ditangkap dari Joko Widodo dan para sekjen parpol pendukungnya ialah rasa percaya diri dan santai. Sementara itu, Yudhoyono dan Prabowo yang mengenakan pakaian formal kemeja batik lengan panjang bisa dimaknai menunjukkan kerapihan, kesantunan, dan keseriusan. Hal ini antara lain diperkuat pula dengan beredarnya foto dua pertemuan berbeda antara Yudhoyono dan Prabowo, di ruangan kerja dengan latar belakang rak buku yang tersusun rapih.
Menurut Hendri, semakin mendekati hari pendaftaran, publik akan semakin disuguhi dengan berbagai simbol dan citra yang ingin ditampilkan oleh elite-elite parpol yang sedang membangun koalisi maupun kandidat yang akan bertarung. Dia menilai, simbol politik ini akan semakin kuat saat parpol mendaftarkan kandidat ke KPU. “Publik akan menyaksikan simbol-simbol imajiner dari para capres dan cawapres,” katanya.
Semakin mendekati hari pendaftaran, publik akan semakin disuguhi dengan berbagai simbol dan citra yang ingin ditampilkan oleh elite-elite parpol yang sedang membangun koalisi maupun kandidat yang akan bertarung
Mempengaruhi pemilih
Impresi, penampilan para kandidat, dalam sebuah kontestasi politik demokratis, serta kaitannya dengan preferensi pemilih sudah banyak dikaji para peneliti perilaku pemilih. Shawn W Rosenberg dan kawan-kawan dalam “The Image and the Vote: The Effect of Candidate Presentation on Voter Preference” (1986) menuturkan, tampilan fisik kandidat bisa mencitrakan kualitas personal. Hasil eksperimentasinya menunjukkan kaitan positif antara tampilan kandidat dalam sebuah foto terhadap penilaian para pemilih.
Leonard Mlodinow, pengajar di California Institute of Technology, Amerika Serikat dalam tulisannya di The Guardian (17/07/2012), “A Candidate Looks Count for Far More than Voters Like to Believe” menuturkan, data empiris menunjukkan bahwa penampilan kandidat berdampak besar terhadap pilihan publik. Hanya saja, para pemilih umumnya tidak awas terhadap masuknya aspek penampilan sebagai faktor yang memengaruhi keputusan mereka.
“Otak sadar pemilih memerhitungkan latar belakang, keyakinan, dan kebijakan, tetapi pikiran bawah sadarnya akan menimbang kandidat dalam tingkatan yang lebih emosional dan naluriah,” tulis Leonard yang menulis buku “Subliminal: How Your Unconscious Mind Rules Your Behavior” itu.
Peneliti yang menggunakan pendekatan psikoanalisis umumnya memahami bahwa keputusan seseorang bisa dipengaruhi pertimbangan rasional kalkulasi untung-rugi dalam alam sadar, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh alam pikir bawah sadarnya.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk saat dihubungi menuturkan, kajian yang mengaitkan dampak dari penampilan atau citra seorang politisi atau kandidat terhadap alam bawah sadar atau subliminal memang banyak, tetapi hasilnya relatif non-konklusif. Ada penelitian yang menunjukkan kecenderungan itu, tetapi ada pula yang tidak. Hanya saja, ada konsultan politik yang meyakini pengaruh hal itu, sehingga menyarankan kliennya untuk menggunakan simbol subliminal.
Dalam konteks Indonesia, faktor ketokohan serta kalkulasi rasional untung-rugi masih lebih kuat memberi pengaruh preferensi pemilih ketimbang simbol dan citra yang diarahkan untuk memengaruhi alam bawah sadar seseorang.
Dalam konteks Indonesia, Hamdi meyakini bahwa faktor ketokohan serta kalkulasi rasional untung-rugi masih lebih kuat memberi pengaruh preferensi pemilih ketimbang simbol dan citra yang diarahkan untuk memengaruhi alam bawah sadar seseorang. “Pemilih masih akan memperhitungkan kandidat bisa memberi mereka apa. Kemudian apakah rekam jejak bagus, dan ada pengalaman atau tidak,” kata Hamdi.
Oleh karena itu, dia menilai, kandidat yang hendak merebut suara pemilih di Pemilu 2019, tidak bisa hanya mengandalkan pesan-pesan simbolis yang diarahkan untuk memengaruhi alam bawah sadar pemilih. Namun, tawaran program yang bisa memberi dampak positif atau keuntungan bagi masyarakat akan berpengaruh besar.
Nah, bagaimana menurut Anda, para pemilih di Pemilu 2019?