BANDAR LAMPUNG, KOMPAS Gunung Anak Krakatau di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, terus melontarkan abu, pasir, dan lava pijar. Akibatnya, radius bahaya diperluas dari satu kilometer jadi dua kilometer.
Data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian ESDM, Jumat (3/8/2018) pukul 06.00 -12.00 WIB, terjadi 109 kali letusan dengan amplitudo 26-45 mm dan durasi 27-120 detik. Pada malam hari, sinar api dan guguran lava pijar teramati. Embusan tercatat 17 kali dengan amplitudo 10-15 mm dan durasi 45-183 detik.
Kepala Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Lampung Selatan, Andi Suardi mengatakan, meski radius bahaya diperluas, belum ada peningkatan status GAK. Status GAK masih level II (Waspada).
“Letusan masih terjadi. Kondisi masih aman selama masyarakat tidak mendekati gunung dalam radius dua kilometer. Radius berbahaya diperluas, karena ada peningkatan durasi letusan,” papar Andi dihubungi dari Bandar Lampung, kemarin.
Sementara itu, berdasar pantuan petugas Pos Pengamatan GAK di Desa Pasauran, Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, letusan disertai tremor terus terjadi sejak akhir Juli 2018. Asap dari kawah membumbung setinggi 100-300 meter.
Dentuman sesekali terdengar hingga Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau. “Terdengar kuat, kadang lemah. Sesekali kaca di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau bergetar,” ujar Jumono, petugas Pos Pemnatauan GAK. Pos itu 42 kilometer (km) dari Anak Krakatau. Secara visual, Anak Krakatau sulit dilihat dari pos karena terhalang kabut.
Tak mengganggu
Meski terjadi peningkatan status GAK, aktivitas warga di Desa Tejang, Pulau Sebesi, tidak terganggu. Desa itu merupakan pulau berpenghuni 3.000 jiwa yang lokasinya paling dekat Gunung Anak Krakatau.
Rosmala Dewi, warga Pulau Sebesi mengatakan, warga tetap beraktivitas normal. Warga tak merasakan dampak gempa maupun debu dari Anak Krakatau. “Aktivitas gunung tidak membahayakan kami. Warga tetap berkebun dan nelayan melaut seperti biasa,” kata Rosmala.
Kepala Seksi Wilayah III Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung-Bengkulu Teguh Ismail mengatakan, pihaknya terus patroli rutin memantau kondisi GAK. Sejauh ini, belum ada laporan dampak negatif dari abu letusan bagi kesehatan nelayan dan warga, khususnya warga yang bermukim di Pulau Sebesi.
Pihaknya juga berkoordinasi dengan BMKG Maritim Lampung dan BPBD Lampung. Warga setempat dan wisatawan diminta tak mendekat dalam radius dua kilometer dari kawah. Selain abu, dikhawatirkan ada material vulkanik berat dari kawah meluncur pada radius itu.
Meski begitu, kata Teguh, masih ada wisatawan yang berkunjung ke GAK. “Wisatawan kami imbau tak mendekat ke gunung. Selain berbahaya, Gunung Anak Krakatau juga cagar alam, tidak boleh (untuk wisata). Kami juga sangat berhati-hati untuk patroli maupun penelitian. Saat patroli, petugas tidak menginap di Pulau Anak Krakatau,” katanya.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Lampung Budiharto, peningkatan aktivitas GAK tidak akan menganggu Festival Krakatau yang akan digelar 24-26 Agustus 2018. Sejauh ini, penyelenggara masih memasukkan agenda tur ke GAK selama festival. Kunjungan itu jadi bagian dari observasi dan penelitian yang juga akan dibahas dalam seminar mengenai Gunung Anak Krakatau.
Namun demikian, panitia diminta menyiapkan alternatif jika tur ke GAK batal karena aktivitas GAK meningkat. Sejauh ini, aktivitas GAK tidak menganggu penyeberangan di Selat Sunda dan penerbangan pesawat di Bandara Raden Inten II, Lampung Selatan.
Di Bantenm kondisi juga masih normal. Situasi di kawasan wisata Anyer, Kabupaten Serang, serta Carita dan Tanjung Lesung di Kabupaten Pandeglang, juga dipastikan aman.
Kawasan-kawasan wisata itu menghadap ke Anak Krakatau. Karena itu, menurut Jumono, nelayan diminta tetap melaut seperti biasa. “Asal, tidak mendekati Anak Krakatau. Masyarakat juga bisa berwisata. Pantai-pantai masih aman,” katanya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banten Sumawijaya mengatakan, belum ada dampak signifikan karena peningkatan aktivitas Anak Krakatau. “Kecuali, jika angin kencang berembus ke daratan ketika erupsi terjadi. Tapi, kecepatan angin saat ini masih normal,” katanya.
Kalau status gunung sudah awas atau waspada, kata Sumawijaya, mereka menyiapkan area pengungsian. BPBD Banten telah membentuk 66 desa tangguh di Banten sejak tahun 2015. Warga desa tangguh diedukasi agar siap menerapkan mitigasi.
Sebanyak 66 desa itu dianggap rawan bencana, seperti gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, hingga musibah karena industri. Desa-desa tersebut berada di pesisir.