Ashadi Siregar Luncurkan Novel Baru Berlatar Pemberontakan PRRI
Oleh
Haris Firdaus
·3 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Penulis Ashadi Siregar meluncurkan novel barunya yang bertajuk Menolak Ayah, Sabtu (4/8/2018), di Tembi Rumah Budaya, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Novel ke-13 Ashadi ini berkisah tentang perjuangan hidup seorang pemuda Batak yang berlatar masa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara.
Peluncuran novel Menolak Ayah diisi diskusi dengan pembicara sastrawan Martin Aleida serta dosen Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Budiawan. Diskusi dimoderatori oleh Ons Untoro dari Tembi Rumah Budaya. Selain itu, acara tersebut juga diisi pembacaan potongan novel Menolak Ayah oleh aktor Landung Simatupang.
”Saya menulis novel ini secara intensif sejak tahun 2010 dan selesai tahun 2016. Risetnya itu yang lama,” ujar Ashadi seusai peluncuran novel Menolak Ayah.
Ashadi Siregar, yang lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 3 Juli 1945, dikenal sebagai penulis novel sekaligus akademisi di bidang ilmu komunikasi dan jurnalistik. Ashadi pernah menjadi dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM serta mendirikan Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya (LP3Y) yang berfokus pada pengembangan jurnalisme dan pelatihan wartawan.
Sebagai penulis novel, Ashadi antara lain dikenal dengan novel best seller karyanya yang terbit pada dekade 1970-an, seperti Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir, dan Sirkuit Kemelut. Sebelum Menolak Ayah yang diterbitkan penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada Juli 2018, novel Ashadi yang diterbitkan terakhir adalah Sunyi Nirmala (1982).
Ashadi mengatakan, dibandingkan novel-novel yang ditulisnya sebelumnya, penulisan Menolak Ayah memakan waktu lebih lama. Hal ini karena Ashadi harus melakukan riset tentang sejarah PRRI dan adat-istiadat Batak yang menjadi unsur penting dalam novel Menolak Ayah.
”Lambat selesainya itu karena saya harus mencari bahan, terutama bahan yang bersifat fakta empiris. Itu, kan, saya harus riset benar,” kata Ashadi yang tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1964.
Menolak Ayah berkisah tentang seorang pemuda Batak bernama Tondi. Sejak kecil, Tondi telah ditinggal pergi oleh ayahnya dan akhirnya putus sekolah. Tondi kemudian bekerja sebagai kenek bus, lalu bergabung dengan pasukan PRRI.
PRRI merupakan gerakan yang dideklarasikan pada 15 Februari 1958 di Sumatera Barat untuk menuntut pemberlakuan otonomi daerah dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat kemudian menyebut gerakan PRRI sebagai pemberontakan, lalu menurunkan militer untuk memberantas gerakan tersebut.
Setelah pemberontakan PRRI usai, Tondi pindah ke Bandung, lalu ke Jakarta. Tondi pun menjadi saksi keruntuhan Orde Lama setelah peristiwa 1965.
Etnografi
Martin Aleida mengatakan, dalam novel Menolak Ayah, Ashadi menghadirkan pengetahuan etnografi yang sangat kaya tentang kebudayaan Batak. Namun, pengetahuan etnografi itu tidak dihadirkan dengan bahasa yang kaku seperti dalam literatur ilmiah, tetapi diolah dengan bahasa sastrawi sehingga menjadi cerita yang menyentuh dan menggetarkan.
”Ini adalah novel yang mengungkapkan dengan rinci pengetahuan etnografi, dalam hal ini Batak, dengan latar waktu dan tempat yang berhubungan dengan pertentangan politik yang memuncak pada konflik bersenjata,” ungkap Martin.
Budiawan mengatakan, sebagai novel dengan latar belakang sejarah, Menolak Ayah menghadirkan sejumlah narasi tandingan terhadap narasi sejarah resmi. Salah satu narasi tandingan yang dihadirkan dalam novel itu berkait dengan gerakan PRRI yang dalam sejarah resmi Indonesia disebut sebagai gerakan separatis.
”Melalui mulut Letnan Bagio (salah satu tokoh dalam Menolak Ayah), PRRI—yang dalam narasi sejarah resmi disebut sebagai separatisme—diceritakan sebagai koreksi terhadap pemerintah pusat yang mengabaikan pembangunan daerah,” ujar Budiawan.