Beralasan Negaranya Kecil, Nauru Batasi Kunjungan Wartawan Asing
CANBERRA, KAMIS — Nauru, negara pulau kecil yang terletak di Samudra Pasifik dan menjadi tempat penampungan imigran atau pengungsi yang dibiayai oleh Australia, membatasi akses media untuk meliput pertemuan diplomatik terbesar Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kepulauan Pasifik (KTT PIF). Sikap Pemerintah Nauru yang tertutup dikritik dan disebut berusaha memberangus kebebasan pers.
Wartawan biasanya disambut hangat di PIF, sebuah pertemuan tahunan yang diikuti para pemimpin dari 18 negara. Di pertemuan ini, mereka bisa menyuarakan keprihatinan terkait kawasan Pasifik yang sering diabaikan di panggung global.
Intinya, ada banyak cerita yang bisa diliput pada pertemuan PIF tersebut, mulai dari ancaman perubahan iklim yang mengancam negara-negara kepulauan kecil di Pasifik hingga pengaruh China yang semakin besar.
Namun, Pemerintah Nauru oleh lembaga pemikir Lowy Institute Australia disebut ”bergerak menuju otoritarianisme”. Nauru dinilai tidak percaya terhadap media dan membatasi pelaporan pertemuan PIF pada tahun ini yang tuan rumahnya ialah Nauru.
Stasiun televisi nasional Australia, ABC, dilarang melakukan peliputan di Nauru dan dituduh oleh otoritas telah melakukan pelecehan serta tak menghormati negara itu dalam liputannya.
Direktur ABC News Gaven Morris mengatakan, Nauru tidak bisa mengklaim telah ”menyambut media” jika otoritas negara itu mendikte siapa yang bisa meliput dan melarang televisi publik Australia. Wartawan AFP juga telah ditolak akreditasinya.
Beberapa wartawan asing memiliki akses ke Nauru selama beberapa tahun terakhir meski sempat terhambat oleh keputusan Pemerintah Nauru yang mengenakan biaya 5.800 dollar AS (Rp 84 juta) per aplikasi visa. Uang tidak akan dikembalikan jika visa tidak diberikan.
Di bawah tekanan agar lebih terbuka setelah terpilih sebagai tuan rumah KTT PIF 2018, Nauru sementara membebaskan biaya untuk pers yang melakukan peliputan KTT PIF yang digelar pada 1-9 September 2018.
Membatasi wartawan
Namun, Pemerintah Nauru sangat membatasi jumlah wartawan yang dapat meliput KTT PIF, yakni hanya 30 wartawan, termasuk fotografer dan wartawan tulis. Pemerintah Nauru beralasan, negaranya sangat kecil sehingga hanya dapat menampung sedikit wartawan dan menyangkal tindakan pembatasan jumlah peliput sebagai ”pembatasan kebebasan pers”.
”Kami adalah negara kecil dan memiliki akomodasi dan fasilitas yang terbatas untuk PIF sehingga harus melakukan pembatasan,” demikian alasan Pemerintah Nauru sebagai reaksi terhadap stasiun televisi ABC yang dilarang meliput.
Pemerintah Nauru beralasan negaranya sangat kecil sehingga hanya dapat menampung sedikit wartawan.
Para aktivis mengklaim, keengganan Nauru menerima media karena Nauru menjadi pusat pemrosesan pencari suaka atas nama Australia. Karena negara pulau itu hanya berukuran 21 kilometer persegi, lokasi penampungan imigran sangat dekat dengan tempat pertemuan KTT PIF.
Di bawah kebijakan imigrasi Australia, pencari suaka yang mencoba masuk ke negara itu dengan perahu akan dibawa ke dua pulau. Migran pria lajang dibawa ke Pulau Manus, Papua Niugini, sedangkan migran keluarga, anak-anak, dan perempuan dibawa ke Nauru.
Kamp penampungan imigran di Nauru kini menampung lebih dari 240 pria, perempuan, dan anak-anak. Kamp ini menjadi jalur ekonomi bagi Nauru yang terisolasi dan berpenduduk 11.000 jiwa. Sumber kekayaan Nauru, yakni endapan fosfat, telah habis digunakan sebagai pupuk.
Menggelembung
Pendapatan Pemerintah Nauru menggelembung dari 20 juta dollar Australia (Rp 213 miliar) pada 2010-2011 menjadi 115 juta dollar Australia (Rp 1,2 triliun) pada 2015-2016. Sebagian besar pendapatan Nauru berasal dari biaya yang dibayarkan oleh Australia terkait dengan kamp penampungan imigran tersebut. Data ini resmi dari Australia.
Sebagai imbalannya, Australia, yang tak mau pencari suaka menginjakkan kaki di Australia, memproses para migran itu di lepas pantai dan mengirimnya ke Pulau Manus atau Nauru. Namun, langkah itu justru membuat kelompok-kelompok hak asasi manusia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam kamp penahanan pengungsi tersebut dan menjulukinya sebagai ”Guantanamo Australia”.
PBB terus-menerus menyuarakan keprihatinannya dengan menyatakan penahanan tanpa batas terhadap imigran yang tidak melakukan kejahatan adalah tindakan melanggar hukum.
Dalam laporan tahun 2016, Komite PBB tentang Hak Anak menyebutkan, ada ”perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan” anak di bawah umur di kamp penahanan, ”termasuk kekerasan fisik, psikologis, dan seksual”. Laporan itu juga mencatat, ada pembatasan media dan pemerintah mencegah jurnalis untuk melihat pusat perawatan anak-anak apakah sudah dikelola dengan benar.
Penahanan tanpa batas terhadap imigran yang tidak melakukan kejahatan adalah tindakan melanggar hukum.
Australia berpendapat, pusat-pusat penahanan di lepas pantai justru menyelamatkan nyawa dengan menghalangi pelaku penyelundupan manusia agar mencoba mengangkut pengungsi ke Australia dengan menggunakan kapal-kapal kecil yang kondisinya membahayakan nyawa pengungsi tersebut.
Seniman dan aktivis Australia, Arielle Gamble, mengatakan, upaya untuk menutup informasi di Nauru adalah upaya untuk mencegah media agar tidak memuat berita mengenai nasib pengungsi yang ditahan sehingga menarik perhatian dunia.
”Ini merupakan upaya yang disengaja sejak awal dan cara itu berhasil karena ini adalah kasus yang tidak terlihat oleh publik Australia,” ujar Gamble.
Dalam upaya memanusiakan pencari suaka, Gamble menggelar pameran bertajuk ”All We Can’t See”, dibuka di Melbourne, Australia, pada pekan ini. Pameran tersebut menggunakan gambar berdasarkan laporan insiden resmi yang bocor dari kamp penahanan untuk mengilustrasikan kisah para imigran tersebut. (AFP)