JAKARTA, KOMPAS – Generasi muda didorong untuk tidak menikah di usia dini demi keselamatan ibu dan tumbuh kembang anak. Pernikahan dini bukan hanya mempertinggi risiko kematian ibu saat melahirkan, tetapi juga mempertinggi risiko terjadinya stunting atau balita dengan tinggi badan di bawah normal.
Bahaya pernikahan dini terus disosialisasikan agar ibu dan anak terhindar dari risiko-risiko tersebut. “Seorang ibu yang sebenarnya berusia anak-anak (di bawah 18 tahun) tidak akan mampu membesarkan bayi dengan optimal,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Widwiono, dalam Seminar Kesehatan Reproduksi Anak, di Jakarta, Rabu (1/8/2018).
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 359 kematian per 100.000 kelahiran. “Usia ibu yang terlalu muda saat melahirkan menjadi salah satu sebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Ibu yang masih terlalu muda saat melahirkan rawan mengalami pendarahan yang berujung pada kematian,” ucap Widwiono.
Tubuh anak usia di bawah 18 tahun masih dalam masa pertumbuhan, dan belum siap melahirkan. Selain fisik yang belum tumbuh sempurna, kondisi psikologis mereka juga belum siap untuk menjadi seorang ibu. “Pada usia itu mereka berada dalam masa remaja madya, yang masih membutuhkan waktu bereksplorasi untuk menjadi dewasa,” kata psikolog Anna Surti Ariani.
Anak usia di bawah 18 tahun belum siap berkomitmen, karena mereka belum mampu memahami konsekuensi jangka panjang atas keputusan yang diambil. ““Prefrontal cortex pada anak, bagian otak yang mempengaruhi keterampilan pengambilan keputusan, belum matang. Perkembangan sosial dan moral mereka terhambat, karena berkeluarga dalam usia masih sangat muda,” ujar Anna.
Oleh karena itu, BKKBN mendorong masyarakat untuk menikah dan melahirkan pada usia ideal, yaitu 24 tahun hingga 35 tahun. Pada masa itulah seseorang dinilai telah matang secara fisik, finansial, dan psikis untuk memulai kehidupan berkeluarga. “Keluarga berencana kini bukan lagi hanya soal dua anak, tetapi juga soal bagaimana merencanakan keluarga yang sejahtera,” tambah Widwiono.
Stunting
Selain itu, perencanaan pernikahan yang matang juga penting bagi tumbuh kembang anak. Anak yang lahir dalam pernikahan tanpa perencanaan matang, lebih rentan mengalami kekurangan asupan gizi dan kasih sayang, yang penting bagi tumbuh kembangnya.
“Salah satu dampak pernikahan dini yang menjadi masalah di Indonesia adalah stunting,” kata Widwiono. Saat ini, ada 9 juta anak di Indonesia yang mengalami stunting (KOMPAS 6/7/2018). Stunting mengancam produktivitas generasi muda bagi Indonesia yang akan mengalami bonus demografi pada 2030.
Menurut dokter spesialis anak, Utami Roesli, stunting bukan hanya mempengaruhi tinggi badan anak, tetapi juga tingkat kecerdasan dan daya tahan anak. “Stunting memang tidak bisa diobati, tetapi setidaknya kita bisa mencegahnya melalui pengetahuan yang benar soal kebutuhan asupan gizi anak,” kata Utami.
Menurut Utami, pemberian air susu ibu (asi) bisa mencegah terjadinya stunting pada anak. Ia menyarankan agar anak mendapat asi eksklusif hingga usia dua tahun karena asi merupakan pondasi pertumbuhan yang tidak bisa tergantikan. “Asi itu zat hidup yang akan berubah seiring perkembangan anak untuk menyesuaikan kebutuhan nutrisi,” kata Utami. (PANDU WIYOGA)