YOGYAKARTA, KOMPAS—Para peserta ujian masuk perguruan tinggi yang menggunakan jasa joki terancam tidak bisa berkuliah di Yogyakarta. Nama-nama para peserta yang berbuat curang itu akan diinformasikan ke universitas lain disertai dengan anjuran agar tidak menerima mereka. Hal itu bertujuan untuk memberikan efek jera.
Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL Dikti) Daerah Istimewa Yogyakarta Bambang Supriyadi mengungkapkan, pihaknya meminta universitas-universitas untuk mendata informasi tentang peserta ujian yang menggunakan jasa joki ataupun praktik kecurangan lainnya dalam ujian masuk.
“Jadi, yang ketahuan menggunakan joki, kami minta untuk dicatat. Selanjutnya, kami akan menyebarkan nama-nama tersebut agar tidak diterima bersekolah di Yogyakarta,” kata Bambang, saat dihubungi, Rabu (1/8/2018).
Sebelumnya, sembilan peserta ujian didapati menggunakan jasa joki berteknologi tinggi dalam ujian masuk untuk fakultas kedokteran di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, pada Minggu (29/7/2018). Mereka dilengkapi dengan peralatan canggih yang bisa dikendalikan dari luar ruang ujian untuk memindai soal serta mendapatkan jawaban. Namun, joki tidak dapat tertangkap karena tidak lagi terlacak keberadaannya.
Bambang mengatakan, cara itu ditempuh sebagai upaya pencegahan dan pemberian efek jera bagi para calon mahasiswa yang hendak berbuat curang. Menurut dia, jika hal itu dibiarkan, dapat merusak mental mahasiswa karena menganggap perbuatan serupa diperbolehkan.
“Cara seperti itu bukan cara bagi seseorang untuk menjadi intelektual. Jadi, di Yogyakarta, meskipun perguruan tinggi swasta, tidak dipergunakan untuk mendidik anak yang berkarakter tidak baik,” kata Bambang.
Dia menyatakan, himbauan atau anjuran yang diedarkan ke universitas-universitas lain itu setengahnya bersifat melarang. Jika masih ada universitas yang menerima mahasiswa tersebut, bisa menjadi bahan catatan bagi pihak LL Dikti untuk mempertimbangkan akreditasi dari universitas yang bersangkutan.
“Ini jadi catatan kami. Jika ada perguruan tinggi yang menerima anak-anak yang menempuh cara-cara tidak benar dan curang, jangan-jangan ujian di situ juga cuma formalitas,” kata Bambang.
Kepala Biro Akademik dan Admisi UAD Wahyu Widyaningsih mengatakan, anak-anak yang berbuat curang itu langsung dibatalkan kepesertaannya dari ujian. Mereka juga dicatat dan dimasukkan dalam daftar hitam (blacklist) agar tidak bisa diterima di semua fakultas yang ada di universitas tersebut.
Widyaningsih menyampaikan, data mengenai informasi peserta itu disimpan oleh pihak internal saja. Tidak disebarluaskan ke universitas-universitas lainnya. Data diberikan apabila ada institusi yang lebih tinggi dari perguruan tinggi memintanya.
“Kami tidak melakukan penyebaran informasi ke pihak eksternal. Hanya saja, tadi dari Kopertis (LL Dikti) meminta informasi itu. Jadi kami berikan. Tetapi, kami belum tahu itu akan digunakan untuk apa,” ujar Widyaningsih.
Hal serupa diungkapkan oleh Kepala Biro Admisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Siti Dyah Handayani. Menurut dia, pengguna jasa joki itu adalah korban dari para pelaku perjokian sehingga sanksi yang diberikan sekadar dimasukkan dalam ‘daftar hitam’ di universitas tersebut.
“Sebagian besar yang ditemui dan diwawancarai, mereka terlena dengan iming-iming untuk bisa diterima,” kata Siti.
Siti pun mengimbau, agar para calon mahasiswa itu tidak mudah terbuai dengan iming-iming para joki. Ia menilai, dengan menggantungkan nasib ujian kepada joki itu sama saja dengan berjudi. Sebab, terdapat aturan yang melarang perjokian. Selain itu, para joki belum tentu bisa meloloskan para calon mahasiswa meski mereka sudah membayar jasa joki tersebut.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengatakan, sanksi hendaknya diberikan tidak hanya bagi para pelaku joki saja. Penikmat jasa para joki itu seharusnya ikut dikenai sanksi karena telah menutup kemungkinan dari siswa lainnya secara curang untuk berkuliah di tempat tersebut.
Terkait hal itu, Sigit menyatakan, salah satu cara untuk mencegah praktik perjokian itu adalah menanamkan mental agar tidak berbuat curang dalam bentuk apa pun. Itu semua harus dilakukan secara konsisten agar dampaknya bisa benar-benar dirasakan.
“Intinya adalah konsistensi dalam menegakkan etika dan standar perilaku di dalam dan di luar kampus. Masyarakat juga harus sadar bahwa ini perbuatan yang keliru. Jika masih ada praktik ini, berarti menunjukkan masih ada permintaan. Mental ini menjadi sangat penting,” kata Sigit.