JAKARTA, KOMPAS--Pertumbuhan ekonomi domestik tahun ini tertahan gejolak ekonomi global. Oleh karena itu, ketahanan ekonomi domestik perlu dikelola dengan baik agar perekonomian tetap tumbuh, kendati pertumbuhannya lebih rendah.
Center of Reform on Economics (CORE) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI pada semester I-2018 sebesar 5,1 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan 5,1-5,2 persen. Konsumsi masyarakat dan investasi akan menjadi faktor penopangnya.
Direktur CORE Mohammad Faisal di Jakarta, Selasa (31/7/2018), mengatakan, dampak tekanan global terhadap perekonomian RI sudah terlihat dari neraca perdagangan yang defisit pada semester I-2018 dan nilai tukar rupiah yang bergejolak. Tekanan dari kenaikan harga minyak mentah dunia semakin memperlebar defisit neraca perdangan minyak dan gas bumi (migas). Kondisi itu diperparah dengan tingkat ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor yang tinggi.
“Tingginya permintaan impor, khusunya untuk industri manufaktur, ternyata tidak didorong ekspor, melainkan karena permintaan domestik. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekspor tidak mampu mengimbangi lonjakan pertumbuhan impor,” kata dia.
CORE mencatat, pada semester I-2018, ekspor tumbuh 10,06 persen, sedangkan impor tumbuh 23,14 persen. Dari sisi penggunaan, impor barang modal dan bahan baku/penolong masing-masing tumbuh 31,70 persen dan 21,7 persen dalam setahun.
“Sepintas hal itu mengindikasikan kinerja impor cukup produktif. Namun, di sisi lain, impor barang konsumsi juga tumbuh pesat 20,82 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan semester I-2017 yang sebesar 9,96 persen,” kata Faisal.
Agar perekonomian di dalam negeri tumbuh baik, tambah Faisal, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di dalam negeri mesti dikelola dengan baik. Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi itu adalah investasi dan konsumsi masyarakat.
Peneliti CORE Akhmad Akbar Susamto menambahkan, pemerintah juga perlu mewaspadai peningkatan kewajiban kontingensi BUMN. Saat ini APBN memang bagus dan tidak ada perubahan. Akan tetapi, APBN bagus karena sebagian beban belanja pemerintah dialihkan ke BUMN. Peningkatan liabilitas itu terjadi pada BUMN Karya yang menangani proyek infrastruktur.
“Di sektor migas, ada Pertamina yang bertanggung jawab terhadap program bahan bakar minyak satu harga. Di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia, hal itu berpotensi menaikkan beban pokok penjualan Pertamina,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean dalam siaran pers menyebutkan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia diperkirakan tumbuh 5-5,1 persen pada tahun ini.
"Hal itu terjadi jika laju pertumbuhan investasi hanya 5 persen dan konsumsi rumah tangga hanya 4,95 persen pada akhir tahun ini," ujarnya.
Menurut Adrian, permintaan pada semester I-2018 masih belum kuat. Laju pertumbuhan indeks penjualan ritel hingga akhir 2018 diperkirakan hanya 4 persen. Dengan proyeksi inflasi tahun ini sebesar 3,1 persen, laju pertumbuhan konsumsi hanya akan sebesar 4,95 persen.
Akselerasi sulit
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati memperkirakan pertumbuhan ekonomi semester I-2018 sebesar 5,1 persen. Perkiraan itu mengacu pada data konsumsi rumah tangga dan investasi yang pertumbuhannya cenderung stagnan, kendati ada momen Lebaran dan Pemilihan kepala daerah.
Indikator konsumsi rumah tangga bisa ditilik dari rata-rata kenaikan ritel yang hanya 5 persen hingga akhir Juni 2018. Selain itu, investasi berupa impor justru didominasi material untuk percepatan pembangunan infrastruktur.
Akselerasi pertumbuhan ekonomi akan lebih sulit karena retorika politik menjelang Pemilu 2019. “Calon investor akan lebih hati-hati memutuskan untuk berinvestasi sehingga mesin pertumbuhan hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga,” ujar Enny dalam acara Kajian Tengah Tahun 2018 Indef, Selasa.
Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Muslimin Anwar menambahkan, risiko perekonomian masih didominasi faktor eksternal, antara lain pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak merata, kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang lebih agresif, volatilitas imbal hasil surat utang AS yang masih tinggi, kenaikan harga minyak, dan perang dagang AS-China.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2018 diperkirakan berkisar 5,17-5,2 persen. Pertumbuhan ekonomi semester-I diproyeksikan 5,1 persen dan semester-II diperkirakan 5,3 persen.
“Beberapa aktivitas perusahaan memang agak menurun, tetapi kontribusi belanja rumah tangga terhadap PDB cukup besar,” kata Sri Mulyani.
Ketidakpastian global dikhawatirkan berdampak pada penurunan daya beli dan defisit neraca perdagangan yang makin lebar. (HEN/KRN)