JAKARTA, KOMPAS — Bagusnya cuaca di awal musim membuat petani garam rakyat optimisitis produksi garam tahun ini meningkat. Sayangnya, kondisi ini tak berbanding lurus dengan serapan pasar yang dinilai masih rendah. Pemerintah diharapkan bisa mencarikan solusi agar petani tidak merugi.
Ketua Aliansi Asosiasi Petani Garam Republik Indonesia Faishal Baidlawi mengatakan, tambak garam di Pamekasan sudah memasuki masa panen raya sejak seminggu lalu dan diperkirakan berlangsung hingga November 2018. Sedikitnya gangguan cuaca membuat produksi garam meningkat.
Menurut Faishal, perkiraan produksi garam tahun ini mencapai 100.000 ton dari lahan 900 hektare. Tahun lalu, panen garam rakyat di Pamekasan sekitar 70.000 ton. Hingga saat ini, realisasi panen lebih dari 17.000 ton.
Meskipun produktivitas meningkat, petani mengeluhkan terbatasnya pasar. Dari total produksi garam rakyat saat ini, baru 50 persen yang diserap oleh pasar. “Yang menyerap baru dari perusahaan sekelas IKM (industri kecil dan menengah) dan pasar tradisional, sedangkan perusahaan yang melakukan impor garam kemarin belum melakukan pembelian,” ujar Faishal ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Faishal menduga, kurangnya serapan dari perusahaan-perusahaan besar akibat adanya kebijakan impor garam tahun ini. Kondisi ini menyebabkan surplus garam sehingga garam rakyat kurang diminati dan menumpuk di gudang.
Tidak terserapnya garam rakyat juga membuat harga anjlok. Saat ini, harga garam rakyat berkisar Rp 1.000-1.500 per kilogram tergantung kualitasnya. “Harganya semakin anjlok. Pada Mei lalu harganya masih di atas Rp 2.000 per kilogram,” kata Faishal.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur Muhammad Hasan. Selain faktor cuaca, meningkatnya produksi tahun ini juga karena diterapkannya teknik geo isolator, ulir filter, dan prisma garam.
Jika cuaca terus baik hingga November, kata Hasan, produksi garam rakyat di Jawa Timur diperkirakan mencapai 1,1 juta ton dengan luas lahan sekitar 11.150 hektare. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat daripada tahun lalu sekitar 600.000 ton. Sementara itu, untuk produksi garam rakyat secara nasional diperkirakan mencapai 2,5-2,7 juta ton.
Namun, persoalan kurangnya serapan pasar dan rendahnya harga jual garam membuat petani meradang. Dari 400.000 ton produksi garam rakyat di Jawa Timur hingga saat ini, baru 50 persen yang terserap oleh pasar. Menurut Hasan, masih banyak perusahaan-perusahaan besar yang belum menyerap garam rakyat.
Selain faktor cuaca, meningkatnya produksi tahun ini juga karena diterapkannya teknik geo isolator, ulir filter, dan prisma garam.
Kebijakan impor garam sebesar 3,7 juta ton tahun ini diduga mempengaruhi pola penyerapan dan stabilisasi harga garam lokal. Indonesia pun menjadi surplus garam. Bahan baku garam impor untuk industri tersebut rawan diselewengkan menjadi garam konsumsi. Harga bahan baku garam impor yang sangat murah sekitar Rp 650-750 per kilogram membuat garam rakyat tidak bisa bersaing.
“Apalagi ada indikasi garam impor untuk industri ini merembes ke sektor konsumsi. Yang diimpor kan bahan baku, jadi bisa diolah menjadi garam industri dan konsumsi. Ini membuat harga jadi turun drastis. Juni lalu harganya Rp 2.500 per kilogram, sekarang anjlok menjadi Rp 1.000-1.600,” ujarnya.
Kondisi ini sangat disayangkan oleh para petani garam. HMPG Jatim pun mengharapkan pemerintah bisa menstabilkan harga garam dengan menetapkan harga pokok pembelian (HPP) yang layak. Jika tidak, petani terancam merugi karena terpaksa menjual garam dengan harga murah untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Adapun HPP yang dituntut petani garam Rp 1.500 untuk kualitas terendah dan Rp 2.500 untuk kualitas tertinggi. Jika harga serapan garam petani di bawah Rp 1.000, kata Hasan, petani akan merugi.
“Kita juga mengharapkan pemerintah bisa memperketat impor garam. Impor garam harus terukur sesuai kebutuhan agar tidak terjadi surplus. Impor yang berlebih bisa merugikan petani seperti yang sedang terjadi saat ini,” kata dia.
April lalu, sepuluh industri pengolah menandatangani kerja sama dengan 100 petani/kelompok petani untuk penyerapan 1,5 juta ton garam yang diproduksi petambak garam dalam negeri tahun ini. Komitmen itu diwujudkan melalui penandatanganan nota kesepahaman penyerapan garam oleh industri yang difasilitasi Kementerian Perindustrian di Jakarta (Kompas, 5/4/2018).
Perusahaan yang menandatangani kesepakatan itu ialah PT Sumatraco Langgeng Makmur, Susanti Megah, Budiono Madura Bangun Persada, Niaga Garam Cemerlang, Unichem Candi Indonesia, PT Cheetam Garam Indonesia, Saltindo Perkasa, Kusuma Tirta Perkasa, Garindo Sejahtera Abadi, dan Garsindo Anugerah Sejahtera.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, kebutuhan garam nasional tahun 2018 diperkirakan sekitar 4,5 juta ton. Rinciannya, kebutuhan garam industri sekitar 3,7 juta ton dan konsumsi 800.000 ton. (YOLA SASTRA)