Penyakit Gugur Daun pada Tanaman Karet Perlu Diantisipasi Serius
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penyakit gugur daun yang disebabkan jamur fusicoccum merebak menjangkiti tanaman karet di wilayah Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Penyakit ini perlu diantisipasi secara serius agar tidak memperparah penurunan produksi dan harga tanaman karet.
Direktur Pusat Penelitian Karet (PPK) Gede Wibawa di Palembang, Selasa (31/7/2018), menyampaikan, awalnya, penyakit gugur daun fusicoccum bukan merupakan penyakit penting pada tanaman karet. Hal ini disebabkan sedikitnya kejadian kemunculan penyakit tersebut, baik di Indonesia maupun di negara lain.
”Sangat sedikit literasi dan penelitian di seluruh dunia yang membahas tentang penyakit fusicoccum. Setahu saya hanya ada satu penelitian, yaitu di Malaysia pada 2013, sehingga cukup sulit mengidentifikasi lebih lanjut penyakit ini,” ujar Gede.
Penyakit fusicoccum menyerang hampir semua klon karet rekomendasi. Klon karet yang dikenal tahan terhadap penyakit daun, seperti RRIC 100, juga rentan terhadap serangan fusicoccum.
Gede menjelaskan, fusicoccum diduga mulai muncul sekarang ini akibat adanya perubahan iklim dan cuaca. Penyakit ini menyebar dengan spora dan kemunculannya sudah mulai terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.
Berdasarkan survei secara daring yang dilakukan Balai Penelitian Sembawa, penyakit fusicoccum telah menyerang perkebunan karet di tujuh provinsi di Indonesia, antara lain Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera Selatan, serangan penyakit fusicoccum menghilangkan produksi tanaman karet sebesar 45 persen.
Peneliti dari Balai Penelitian Sembawa, Tri Rapani Febbiyanti, menyebutkan, penyakit yang menyerang tanaman karet pada dasarnya berjumlah 22 jenis. Penyakit paling berbahaya adalah akar putih yang menyebabkan pertumbuhan terhambat, penurunan kualitas buah, dan kematian pada tanaman.
Menurut Tri, penyakit fusicoccum menjadi penting untuk diantisipasi karena dapat menggugurkan daun dan menjadikan kerapatan tajuk berkurang hingga lebih dari 50 persen.
”Serangan penyakit fusicoccum membuat tanaman karet di Sumatera Selatan gugur hingga dua sampai tiga kali dalam setahun. Padahal, pada umumnya tanaman karet hanya gugur sekali dalam setahun,” kata Tri.
Ia menambahkan, pencegahan yang perlu dilakukan adalah melalui aplikasi pemupukan dan fungisida pada permukaan dan tajuk tanaman. Penyebaran fusicoccumi juga perlu dicegah dengan pengawasan dari karantina.
Antisipasi serius
Melihat dari akibat yang ditimbulkan, Gede menyatakan bahwa penyakit gugur daun ini perlu diantisipasi secara serius. Namun, upaya antisipasi menemui sejumlah kendala, khususnya bagi para petani karet. Hal ini karena petani dihadapkan pada permasalahan yang cukup kompleks, seperti tingginya biaya perawatan dan pemeliharaan.
”Kondisi harga karet yang rendah sekarang ini mengakibatkan petani tidak melakukan pemupukan atau mengurangi dosis pupuknya. Tanaman karet pun menjadi lemah dan rentan terhadap penyakit ini,” kata Gede.
Sebelumnya, petani karet di Banyuasin, Sumatera Selatan, merana akibat harga karet yang terus menurun. Harga karet di tingkat petani turun mencapai Rp 7.950 per kilogram dari harga sebelumnya Rp 8.600 per kg, sedangkan harga beras sekitar 10.000 per kg. Keadaan ini diakui akibat cuaca dan pohon yang mengalami fase rontok daun sejak empat bulan lalu (Kompas, 3/7/2018).
Saat ini, upaya publikasi dan sosialisasi mengenai bahaya penyakit ini telah dilakukan. Salah satunya adalah mengadakan Lokakarya Perlindungan Tanaman Internasional kepada negara-negara lain. Acara ini diselenggarakan PPK yang bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Karet Internasional (IRRDB) di Palembang selama dua hari pada Selasa dan Rabu (31/7-1/8/2018).
Selain membahas tentang penyakit gugur daun, para peserta lokakarya dari 14 negara juga memaparkan kejadian penyakit pada tanaman karet lainnya, seperti penyakit batang, akar, Corynespora, Oidium, Colletotrichum, dan SALB. Teknik pengendalian dari setiap negara juga dibahas dalam lokakarya tersebut.
Deputi Koordinasi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdalifah Machmud mengatakan, saat ini pemerintah telah bekerja sama dengan sejumlah lembaga penelitian untuk mengidentifikasi penyakit tersebut. ”Sejumlah riset sedang dilakukan, termasuk dengan negara lain,” ujarnya.