JAKARTA, KOMPAS — Tren peningkatan belanja daring dinilai turut mendongkrak impor barang konsumsi nasional dalam tiga tahun terakhir. Industri dalam negeri, khususnya produsen barang serupa, tergerus pasarnya dan tertekan pertumbuhannya. Pertumbuhan ekonomi nasional pun bisa terpengaruh.
Berdasarkan data We Are Social dan Hootsuite pada Januari 2018, pembeli barang konsumsi melalui perdagangan secara elektronik (e-dagang) di Indonesia tahun 2017 tercatat 28,07 juta orang. Angka itu naik 13 persen dibandingkan tahun 2016. Adapun total pendapatan dari penjualan barang konsumsi melalui e-dagang tahun 2017 mencapai 7,056 miliar dollar AS atau naik 22 persen dari tahun 2016.
Tren itu diperkirakan berlanjut tahun ini. Badan Pusat Statistik mencatat, impor barang konsumsi selama Januari-Juni tahun 2018 mencapai 8,182 miliar dollar AS atau naik 21,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Persentase impor barang konsumsi terhadap total impor juga naik dari 9 persen tahun 2017 menjadi 9,2 persen tahun 2018.
Rata-rata impor barang konsumsi per kapita pun terus naik. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, nilai impor barang konsumsi per kapita naik dari 10 dollar AS per kapita pada triwulan I-2015, lalu 12,2 dollar AS per kapita triwulan I-2016, kemudian 12,4 dollar AS per kapita triwulan I-2017, dan 14,9 dollar AS per kapita pada triwulan I-2018.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro di Jakarta, Kamis pekan lalu, menyatakan, pola konsumsi berubah tiga tahun terakhir. Ada kecenderungan peningkatan jumlah penduduk kelas menengah ke atas membeli barang konsumsi impor.
Gejolak dalam pertumbuhan konsumsi, menurut Bambang, bukan karena penurunan daya beli, melainkan pengalihan konsumsi. Masyarakat kini membeli barang konsumsi impor yang semakin mudah dengan perkembangan e-dagang.
Gerus industri
Hasil penelusuran Bappanes di beberapa laman pemasaran (marketplace), barang impor mendominasi lapak pedagang, sebagian besar berupa tas, sepatu, pakaian, mainan, dan elektronik. Komposisi barang impor sedikitnya tiga kali lipat lebih banyak ketimbang produk lokal.
”Pengguna e-dagang di Indonesia diperkirakan terus naik dari 32 juta orang tahun 2018 jadi 44 juta orang tahun 2022. Impor barang konsumsi perlu jadi perhatian,” kata Bambang.
Dampak peningkatan impor barang konsumsi kini sudah dirasakan pelaku industri dalam negeri. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menyebutkan, pertumbuhan impor produk plastik jadi (bukan bahan baku) di atas 10 persen, jenisnya antara lain mainan anak, kemasan fleksibel, pipa konstruksi, kusen, pintu, alat listrik, perabot rumah tangga, terpal plastik, dan suku cadang otomotif. Tahun lalu impor barang konsumsi ini mencapai 800.000 ton senilai 2 miliar dollar AS.
Akibatnya, pertumbuhan pasar industri plastik di dalam negeri tergerus. ”Pertumbuhan seharusnya bisa sekitar 20 persen, tetapi karena banjir impor hanya mampu tumbuh 11-12 persen,” ujarnya.
Dampak pun dirasakan pelaku industri makanan dan minuman. Impor produk jadi di sektor ini terus tumbuh. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menyebutkan, tren impor pangan olahan tumbuh sekitar 10 persen, sementara ekspornya tumbuh sekitar 7 persen. Secara total, impor pangan olahan sekitar 7,8 miliar dollar AS setahun.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menambahkan, nilai produk tekstil jadi impor sekitar 500 juta dollar AS dari total pasar dalam negeri yang sekitar 8 miliar dollar AS. ”Kami berharap pemerintah lebih protektif terhadap produksi dalam negeri di hilir ketimbang di hulu,” katanya.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, berpendapat, peningkatan impor barang konsumsi dipengaruhi dua hal. Pertama, impor barang yang bersifat musiman sehingga akan melonjak di waktu tertentu. Kedua, impor barang yang didorong pertumbuhan kelas menengah yang pola konsumsinya berubah.
”Pemerintah perlu mencermati kedua hal itu dan menyelaraskan antara kebutuhan dan suplai domestik. Impor barang konsumsi tidak serta-merta dapat dibatasi kalau suplai domestiknya kurang,” kata Fithra.
Menurut Fithra, pembatasan impor barang konsumsi tanpa didukung suplai domestik justru akan menaikkan harga barang-barang konsumsi. Apabila harga-harga barang konsumsi itu naik, inflasi akan terjadi. Impor juga merupakan mekanisme pasar untuk membuat harga-harga stabil. Dalam rangka mengatasi lonjakan impor barang konsumsi, pengendalian dari sisi logistik perlu dilakukan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, pemerintah sudah memetakan barang impor yang dinilai tidak perlu. Pembatasan impor sementara tidak berlaku untuk barang modal dan bahan baku karena dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.