Terbukti, “Bakteri Baik” Usus Dapat Melawan “Bakteri Jahat” Penyebab Tifus
Oleh
Subur Tjahjono
·3 menit baca
Penyakit tifus yang disebabkan bakteri Salmonella umum terjadi di Indonesia dan sering menyebabkan pasien di rawat di rumah sakit. Penelitian ilmuwan di Amerika Serikat menemukan bahwa ternyata bakteri lain mampu melawan Salmonella. Keberadaan bakteri yang disebut Bacteriodes ini menjelaskan mengapa ada orang yang tahan terhadap penyakit tifus.
Penelitian berjudul “Sebuah Metabolit yang Diproduksi Bakteri Komensal Usus Memediasi Resistensi Kolonisasi terhadap Infeksi Salmonella” itu dimuat dalam jurnal Cell & Microbe edisi 26 Juli 2018 yang juga dipublikasikan sciencedaily.com. Penelitian dilakukan oleh Universitas Stanford, AS, di antaranya Amanda Jacobson dan Lilian Lam, serta Denise Monack Chan Zuckerberg Biohub, San Francisco, AS.
Infeksi Salmonella sering menyebabkan diare, demam, dan kram perut. Kebanyakan orang sembuh dalam empat hingga tujuh hari. Namun, penyakitnya mungkin cukup parah sehingga memerlukan rawat inap untuk beberapa pasien.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, Salmonella menyebabkan sekitar 1,2 juta penyakit, 23.000 rawat inap dan 450 kematian nasional setiap tahun. Sebagian besar kasus disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi bakteri.
Manusia dan hewan secara alami memiliki “bakteri baik” yang disebut mikrobiota usus atau bakteri komensal yang membantu melawan “bakteri jahat”. Dalam kasus ini Bacteriodes adalah “bakteri baik”, sedangkan Salmonella adalah “bakteri jahat”.
Dalam penelitian ini, peneliti mengidentifikasi mekanisme resistensi kolonisasi mikrobiota terhadap Salmonella enterica serovar typhimurium (S. typhimurium) dengan membandingkan komunitas bakteri komensal dengan kompleksitas tinggi dengan tingkat resistensi kolonisasi yang berbeda. Menggunakan tikus dengan dinamika infeksi yang berbeda dan S. typhimurium usus membebani, peneliti menunjukkan bahwa spesies Bacteroides menengahi resistensi kolonisasi terhadap S. typhimurium dengan memproduksi propionat asam lemak rantai pendek.
Propionat secara langsung menghambat pertumbuhan patogen di laboratorium (in vitro) dengan mengganggu homeostasis tingkat keasaman (pH) dalam sel. Peningkatan kadar propionat usus secara kimia melindungi tikus dari S. typhimurium.
Denise Monack menjelaskan, respons manusia berbeda terhadap paparan infeksi bakteri. Beberapa orang terinfeksi dan beberapa tidak. Beberapa orang menjadi sakit dan yang lain tetap sehat. Beberapa orang menyebarkan infeksi, sementara yang lain membersihkannya,”
“Hal ini sudah menjadi misteri nyata dalam memahami mengapa kita melihat perbedaan-perbedaan ini di antara orang-orang. Temuan kami dapat menjelaskan fenomena ini,” kata Denise Monack, guru besar mikrobiologi dan imunologi.
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah menggunakan galur tikus yang berbeda untuk menentukan bagaimana berbagai gen dapat mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi oleh patogen usus. Akan tetapi penelitian ini adalah pertama kalinya para peneliti melihat bagaimana keanekaragaman bakteri usus pada tikus ini mungkin berkontribusi terhadap respons mereka yang berbeda terhadap patogen.
Amanda Jacobson menjelaskan, mikrobiota usus adalah ekosistem yang sangat kompleks. Triliunan bakteri, virus, dan jamur membentuk interaksi yang rumit dengan tuan rumah dan satu sama lain dalam lingkungan yang padat dan heterogen. Oleh karena itu sangat sulit untuk mengidentifikasi molekul unik dari bakteri tertentu dalam usus yang bertanggung jawab untuk karakteristik spesifik seperti resistensi terhadap pathogen.
“Secara kolektif, hasil kami menunjukkan bahwa ketika konsentrasi propionat, yang diproduksi oleh Bacteroides, dalam usus tinggi, Salmonella tidak dapat menaikkan pH internal mereka untuk memfasilitasi fungsi seluler yang diperlukan untuk pertumbuhan,” kata Jacobson.
Ilmuwan melanjutkan penelitian ini untuk melihat apakah kemampuan Bacteriodes pada tikus ini juga terjadi pada manusia atau tidak.