Layanan Terapi Hepatitis Belum Merata
Dari kiri, Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, Irsan Hasan; Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan (Kemkes), Wiendra Waworuntu; dan Presiden Direktur Philips Indonesia, Suryo Suwignjo, berbincang mengenai upaya mencegah dan mengatasi hepatitis B maupun C, di Jakarta, Kamis (26/7/2018).
Satu dari 10 penduduk di Indonesia mengidap hepatitis kronik. Tingginya angka kasus hepatitis itu tak diimbangi akses layanan terapi yang bagus.
JAKARTA, KOMPAS—Tingginya angka kasus hepatitis kronik di Indonesia belum diimbangi layanan terapi hepatitis bermutu dan merata. Padahal, terapi hepatitis sudah masuk program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Jika tak mendapat terapi yang tepat, kondisi pasien bisa memburuk.
Menurut Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Irsan Hasan, satu dari 10 penduduk di Indonesia mengidap hepatitis kronik. Pengobatan hepatitis B dan C dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
”Persoalannya, hanya konsultan gastroentero hepatologi bisa meresepkan obat hepatitis B dan C. Sementara konsultan gastroentero hepatologi hanya berjumlah 155 orang dan semuanya berada di daerah barat Indonesia,” kata Irsan dalam diskusi ”Peranan Uji Diagnostik Memerangi Hepatitis”, Kamis (26/7/2018), di Jakarta. Akibatnya, masyarakat di daerah timur Indonesia belum bisa mengakses layanan terapi hepatitis B dan C dalam skema JKN-KIS.
Persoalannya, hanya konsultan gastroentero hepatologi bisa meresepkan obat hepatitis B dan C. Sementara konsultan gastroentero hepatologi hanya berjumlah 155 orang dan semuanya berada di daerah barat Indonesia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu memaparkan, penyuntikan interferon bagi hepatitis C dan obat minum bagi hepatitis B masuk JKN-KIS. ”Meski masuk JKN, syarat hanya konsultan gastroentero hepatologi meresepkan obat hepatitis B dan C jadi tantangan. Kami melatih dokter spesialis penyakit dalam agar meresepkan obat hepatitis di daerah timur,” ujarnya.
Hasil riset Kemkes tahun 2013, dari jumlah total penduduk Indonesia, pengidap hepatitis B sebesar 7,1 persen. Kebanyakan hepatitis B ditularkan oleh ibu kepada anaknya ketika melahirkan. Apabila ibu hamil positif mengidap hepatitis B maka harus dicegah dengan meminum obat tiga bulan sebelum melahirkan.
“Pada ibu hamil yang mengidap hepatitis B maka ketika anak tersebut lahir, dalam waktu kurang dari 24 jam, harus diberikan vaksin Hepatitis B Immunoglobulin untuk memberikan proteksi pasif. Setelah berusia 9 bulan, bayi harus kembali dites,” kata Wiendra.
Sementara pengidap hepatitis C sebesar 1 persen atau 2,5 juta orang. Kebanyakan pengidap hepatitis C adalah pengguna narkoba. Penularan sering terjadi melalui darah dan hubungan seksual.
“Dari 2,5 juta pengidap hepatitis C, hanya 3.000 pengidap di antaranya yang baru ditangani. Pengidap yang ditangani pun mau datang untuk diobati karena sudah tergabung dalam komunitas. Sementara pengidap lainnya, belum datang untuk mengobati penyakitnya,” kata Wiendra.
Tidak ada gejala
Lebih dari 80 persen pengidap hepatitis kronik tak merasakan gejala karena organ hati tak punya saraf sehingga rasa sakit tak terasa. ”Tahapan hepatitis mulai dari akut, kronik, hingga sirosis hati. Rentang waktu dari hepatitis kronik jadi sirosis hati puluhan tahun dan berisiko kanker hati. Jika demikian, harapan hidup hanya 5 persen,” kata Irsan.
Pengidap sirosis hati umumnya menyadari penyakitnya di usia 30-40 tahun. Di usia remaja, gejala belum dirasakan. Karena itu, setiap orang perlu melakukan deteksi dini. ”Biasanya, pasien berobat saat muntah darah, kesadaran turun, atau perut membengkak akibat sirosis hati. Komplikasi terjadi karena hati adalah pusat metabolisme,” kata Irsan.
Kemajuan terapi
Sejauh ini terapi hepatitis kronik terus berkembang. Gen Polo-like kinase 1 berpotensi menjadi penanda terjadi karsinoma hepatoseluler atau kanker hati akibat infeksi virus hepatitis C. Gen ini juga dipakai untuk memprediksi keparahan kanker itu. Identifikasi ini diklaim menjanjikan ada terapi target baru kanker hati akibat hepatitis C.
Terapi baru untuk pencegahan dan pengobatan kanker hati diperlukan karena pilihan terapi terbatas. Tersedianya obat direct-acting antivirals (DAA) dinilai belum bisa menekan risiko kanker hati pada pasien hepatitis C krinik, terutama pasien dengan fibrosis hati tingkat lanjut.
Demikian hasil riset Korri Elvanita El Khobar dalam disertasi meraih gelar doktor di University of Sydney, Australia. Ia lulus pada Februari lalu. ”Riset itu mengidentifikasi PLK 1 (Polo-like kinase 1) sebagai pemicu reorganisasi beta-aktin dan peningkatan laju migrasi sel,” ujarnya.
Mekanisme itu terkait perkembangan sel hati terinfeksi VHC (virus hepatitis C). Jadi, menurut Korri, yang juga peneliti di Unit Hepatitis Lembaga Eijkman, kemarin, PLK 1 bisa dipakai sebagai terapi target kanker hati terutama akibat infeksi VHC. Selain itu, PLK 1 sebagai indikator keparahan kanker hati. Hal itu dibuktikan karena ada kenaikan ekspresi PKL 1 di sel hati. Itu butuh riset lanjutan agar diterapkan kepada pasien.
Menjelang Hari Hepatitis Sedunia pada 28 Juli 2018, Presiden Direktur Philips Indonesia, Suryo Suwignjo, mengatakan bahwa deteksi dini sangat penting untuk menangani hepatitis. Masyarakat tidak perlu takut untuk melakukannya karena semakin cepat diketahui, pengobatan pun semakin cepat. (SHARON PATRICIA)