Hanya Larang Pengurus Parpol, Putusan MK Dinilai Nanggung
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sikap keberatan yang ditunjukkan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah mengenai putusan Mahkamah Konstitusi dapat dinilai sebagai bentuk keserakahan kekuasaan politik. Sebab, putusan tersebut bertujuan untuk mengembalikan marwah DPD sebagai lembaga utusan daerah yang independen dari partai politik. Namun, upaya pemurnian DPD ini dikhawatirkan kurang mengena, sebab hanya melarang pencalonan fungsionaris partai politik.
Sikap tegas ditunjukkan oleh Partai Golkar. Wakil Ketua Lembaga Bantuan Hukum dan HAM Partai Golkar Muslim Jaya Butar Butar mengatakan, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar telah mengultimatum anggotanya untuk mengikuti seluruh aturan. Sebanyak 14 anggota Partai Golkar adalah anggota DPD periode 2014-2019.
“Tidak ada pilihan lain, jika mau jadi calon senator berarti harus mundur,” kata Muslim dalam diskusi bertajuk “Efek Putusan MK Terhadap Kandidat Senator” pada Jumat (27/7/2018) di Jakarta.
Menurut Muslim, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah seharusnya mengikuti putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut. Ia menilai, perwakilan ganda sebagai pertimbangan MK memutus perkara tersebut sudah tepat. "Sistem kita ini adalah bikameral atau dua kamar, yakni DPR dan DPD. Kalau parpol di DPR, ya di DPD harus independen (anggotanya). Bukan pengurus partai," kata Muslim.
Di sisi lain, tanggapan berbeda disampaikan oleh Ketua DPD Oesman Sapta Odang yang juga Ketua Umum Partai Hanura. Pada awal pekan ini, Oesman sempat menyatakan keberatannya mengenai putusan MK tersebut. Sebab, adanya putusan ini berpotensi untuk memaksanya untuk memilih kembali maju sebagai caleg DPD atau tetap menjadi ketua umum Partai Hanura. Sebanyak 28 anggota DPD adalah pengurus Partai Hanura.
”Sekarang ini, orang-orang yang mau jadi anggota DPD sudah mendaftar, sudah dinyatakan memenuhi syarat atau tidak oleh KPU, tetapi tiba-tiba dampak dari putusan MK itu, ada calon anggota DPD yang harus mundur atau pindah. Itu tidak bermartabat MK,” ujar Oesman.
Syamsuddin Radjab, ahli hukum tata negara Jenggala Center menjelaskan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sebagai lembaga memiliki peran, fungsi, dan kewenangannya masing-masing. DPR menjadi tempat partai politik memperjuangkan aspirasi partainya, sementara itu DPD adalah wadah untuk perwakilan daerah.
“Jadi, kalau pengurus parpol berada di DPD, tidak jelas yang ia perjuangkan itu kepentingan partai politik atau daerah. Ini menyiratkan keserakahan,” kata Syamsuddin
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan putusan uji materi terhadap Pasal 182 huruf L Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Jakarta, pada Senin lalu, menegaskan bahwa warga negara Indonesia perseorangan yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus parpol. MK menyatakan, frasa ”pekerjaan lain” dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus atau fungsionaris partai politik.
Jadi, kalau pengurus parpol berada di DPD, tidak jelas yang ia perjuangkan itu kepentingan partai politik atau daerah. Ini menyiratkan keserakahan
Sebanyak 78 dari 132 anggota DPD merupakan pengurus parpol. Dari jumlah tersebut, yang terbanyak berasal dari Partai Hanura (28 orang). Sisanya adalah Partai Golkar (14 orang), Partai Persatuan Pembangunan/PPP (8), Partai Keadilan Sejahtera/PKS (6 orang), Partai Amanat Nasional (5), Partai Demokrat (3), Partai Kebangkitan Bangsa/PKB (3), Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan/PDI-P (2), Partai Aceh (2), dan Partai Nasdem, Partai Gerindra, Partai Damai Sejahtera/PDS, Partai Buruh, PNI Marhaenisme, PPIB, dan Partai Idaman masing-masing satu orang.
Kepalang tanggung
Di sisi lain, Muslim menilai putusan MK masih mengambang dalam upaya mengembalikan marwah DPD sebagai perwakilan daerah. Putusan MK hanya melarang pengurus parpol untuk mencalonkan dirinya sebagai senator DPD. “Berarti kalau sebagai anggota partai saja berarti boleh. Ini masih tanggung. Harusnya disebutkan juga anggota dan pengurus partai politik,” kata Muslim.
Pengamat politik Ujang Komarudin menilai, pengembalian marwah DPD tidak cukup hanya dengan mencegah kooptasi partai politik di dalam lembaga tersebut. Ia menilai, tanpa adanya peningkatan kewenangan yang dimiliki oleh DPD, lembaga tersebut tidak akan berfungsi sesuai dengan tujuannya yakni mewakili daerah dengan kekuatan yang setara dengan DPR di dalam MPR.
“Jumlah anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Tidak ada power sharing yang sama,” kata Ujang.
Jumlah anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Tidak ada power sharing yang sama
Ujang mengatakan, munculnya keberatan dari suatu pihak akan sesuai yang fundamental seperti ini memang menunjukkan fase demokrasi Indonesia yang masih sekadar prosedural. “Kita masih masa transisi ke demokrasi. Agar demokrasi berjalan secara substantif, pendidikan rakyat harus tinggi, pendapatan per kapita juga harus tinggi,” ujar dia.