Menunggu Penumpang Kala Orang-orang Tidur
Dua pengemudi ojek dalam jaringan, Adul (43) dan Rudi (36), sedang duduk di lantai di samping Pos Polisi Stasiun Bekasi pada Rabu (25/7/2018) pukul 01.30. Ketika kereta api Senja Utama Yogyakarta berhenti di Stasiun Bekasi, mereka langsung memandang ke layar gawai masing-masing.
”Enggak ada yang nyantol. Pulang dah sebentar lagi,” kata Adul.
Ia dan Rudi sama-sama tidak mendapat penumpang untuk diantar dari kereta api yang berangkat dari Yogyakarta itu. Sejak pukul 16.00, Adul baru mendapat tiga penumpang. Uang di saku hanya Rp 25.000.
Itu adalah penghasilan paling kecil Adul selama menjadi pengemudi ojek dalam jaringan (daring) sejak 10 bulan terakhir menjalani pekerjaan itu. Beberapa saat kemudian, istrinya mengirim pesan.
”Sudah malam, Bapak belum pulang?” kata Adul membacakan pesan dari istri.
Adul tidak biasa bekerja hingga lewat tengah malam. Ia mengatakan paling lambat sampai rumah sebelum hari berganti. Oleh sebab itu, istrinya khawatir ketika Adul belum pulang hingga pukul 01.30.
Saat itu, Adul terpaksa harus menunggu lebih lama karena uang yang ia kumpulkan belum sesuai target, yakni minimal Rp 100.000 per hari. Ia sebenarnya ingin menunggu penumpang lebih lama. Namun, ia mengatakan, kondisi fisiknya sudah tidak kuat.
”Sudah ngantuk. Kalau dilanjut, saya takut besok tidak bisa ngojek. Istri juga sudah menunggu,” kata Adul.
Adul pulang pukul 02.00. Ia terpaksa membawa uang Rp 25.000 itu ke rumah. Di rumah, istri dan dua anaknya menunggu. Uang itu akan ia berikan semuanya kepada istri. Istri akan mengatur uang itu untuk belanja dan ongkos sekolah dua anak yang duduk di kelas V dan VI SD.
Untuk bensin di motor, ia sudah isi Rp 20.000 menggunakan uang hasil ngojek hari sebelumnya. Istilah yang dipakai untuk keadaan yang Adul alami di kalangan pengemudi ojek daring ialah ”anyep”: kondisi sepi mendapatkan penumpang.
Adul menggantungkan penghasilan dari ojek daring. Pada mulanya, ia adalah pengemudi truk. Penghasilannya Rp 4 juta, tetapi waktu luang tidak tentu. Ia kadang tiga hari tidak pulang. Hal tersebut membuatnya beralih pekerjaan menjadi pengemudi ojek daring. Selain di Stasiun Bekasi, ia juga kerap berpindah-pindah tempat untuk mencari penumpang, salah satunya Mal Kota Kasablanka, Jakarta.
Rudi lebih beruntung hari itu. Ia mendapat sembilan penumpang. Ia mulai menghidupkan aplikasi ojek daring pada pukul 05.00-09.00. Pada jam tersebut, ia mendapat tiga penumpang. Ia kemudian pulang ke rumah untuk istirahat.
Rudi kemudian mengaktifkan aplikasi ojek daring pukul 16.00-01.30. Pada rentang waktu itu, ia mendapat enam penumpang. Rudi mengatakan sudah mengantongi Rp 100.000. Ia berniat mengantar penumpang kereta api dari Yogyakarta yang singgah di Bekasi, baru kemudian pulang.
Karena tidak mendapat penumpang, ia berniat pulang. Rudi mengatakan, semakin banyak pengemudi ojek daring, tarif yang ditetapkan penyedia aplikasi semakin menurun. Hal itu membuat ia dan pengemudi ojek daring lain harus memeras otak dan tenaga agar bisa mendapatkan uang lebih.
”Saya sudah dua tahun jadi pengemudi ojek daring. Dua bulan pertama sering sekali dapat penumpang. Sehari saya bisa dapat Rp 200.000-Rp 300.000. Sekarang sudah susah. Dapat uang lebih dari Rp 100.000 saja harus nunggu sampai malam begini,” katanya.
Kerja paruh waktu
Eko Oktian (23) sedang minum teh hangat di seberang Stasiun Jatinegara pukul 23.30 pada Selasa (24/8/2018). Ia sudah mengaktifkan aplikasi ojek daring di gawai sejak pukul 19.00.
Ia memang biasa beroperasi malam hari hingga dini hari sejak empat bulan lalu. Eko menjadi pengemudi ojek daring paruh waktu. Pada siang hari, Eko bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan ritel di Jakarta Timur.
Sejak anak pertama lahir, ia butuh penghasilan tambahan karena kebutuhan rumah tangga semakin banyak.
”Untuk ditabung juga,” kata Eko.
Ketika sedang ramai penumpang, Eko biasanya mendapat Rp 130.000. Jumlah tersebut ia dapat setelah beroperasi pada pukul 19.00-01.00. Kalau sedang sepi penumpang, ia mendapatkan Rp 50.000.
Bekerja sebagai pengemudi ojek pada malam hari membuat Eko pilih-pilih tempat ketika mengantarkan penumpang. Ketika mendapat penumpang yang tujuannya melewati daerah rawan kejahatan, Eko kerap menolaknya.
”Belum pernah dapat pengalaman buruk di jalan, tetapi saya takut saja kalau tujuannya jauh dan sepi, misal daerah Babelan, Bekasi. Jaraknya lumayan jauh dan jalan sepi,” kata Eko.
Memberi kabar
Untuk mengantisipasi tindak kejahatan pada malam hari, pengemudi ojek daring memanfaatkan jaringan sesama pengemudi ojek daring. Mereka saling memberi kabar ketika menuju daerah yang sepi dan rawan kejahatan.
Untuk mengantisipasi tindak kejahatan pada malam hari, pengemudi ojek daring memanfaatkan jaringan sesama pengemudi ojek daring. Mereka saling memberi kabar ketika menuju daerah yang sepi dan rawan kejahatan.
Hal tersebut dilakukan Santoso Larasati (37), pengemudi ojek daring yang biasa menunggu penumpang di Stasiun Jatinegara. Ia tergabung dengan komunitas pengemudi ojek daring Jatinegara Community (JC).
Mereka menjalin komunikasi di grup aplikasi percakapan Whatssap. Jumlah anggota 25 orang. Domisili anggota mereka beragam, antara lain Bekasi, Pondok Bambu, dan Menteng. Ketika Eko mengantar penumpang ke Babelan, Bekasi, ia akan mengabarkan hal itu ke grup Jatinegara Community.
”Nanti anggota yang ada di sekitar tempat itu mengabarkan di grup. Mereka akan siap membantu kalau terjadi apa-apa, misal ada begal, ban bocor, atau kecelakaan,” kata Eko.
Hal serupa dilakukan pengemudi ojek daring yang biasa beroperasi di Stasiun Tambun, Kabupaten Bekasi. Setia Kurniyadi (27), salah satunya. Ia tergabung dalam komunitas Belakang Terminal (Belter) Bekasi yang terdiri atas 30 anggota.
Ancaman kejahatan ketika malam hari membuat ia dan kawan-kawan berinisiatif untuk membuat skema keamanan sendiri. Karena mereka sadar, pihak penyedia aplikasi tidak menyediakan fasilitas asuransi jiwa dan asuransi kendaraan.
”Kalau mau dapat uang lebih, harus sampai malam. Status kami cuma sebagai mitra. Kalau di jalan, kami harus jaga diri sendiri,” kata Kurnia.
Selain masalah asuransi kesehatan, penghasilan pengojek daring tidak pernah utuh. Dalam pemberitaan Kompas, 11 April 2018, disebutkan ada 39 persen pengemudi ojek dalam jaringan (daring) yang bekerja satu minggu penuh untuk mendapatkan penghasilan layak.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi ”Ojek Daring: Nasib Pengemudi di Tengah Kemelut Regulasi”, Selasa (10/4/2018). Pendapatan pengojek daring itu tidak diterima utuh karena dipotong biaya pulsa, parkir, pemeliharaan kendaraan, dan bahan bakar.
Temuan itu merupakan hasil penelitian dari Perkumpulan Prakarsa, lembaga independen yang bergerak dalam bidang riset, pengembangan kapasitas, dan advokasi kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan dan kesejahteraan. Mereka membuat survei deskripsi di Jakarta dan Surabaya dengan 522 responden. Survei dilakukan kepada konsumen dan pengemudi ojek daring.
Karena semakin banyaknya pengojek daring, kesempatan mendapat penumpang semakin sedikit. Hal itu membuat beberapa pengemudi memasang aplikasi Fake GPS atau biasa disebut dengan ”tuyul”. Aplikasi ini berfungsi untuk menempatkan titik koordinat di pusat keramaian sesuai keinginan pengojek agar mudah mendapatkan penumpang. Untuk memasang aplikasi itu, biaya yang dikeluarkan Rp 100.000-Rp 300.000. (SUCIPTO)