Kentang Dieng Bertahan dari Embun Es
Matahari beranjak dari timur. Sinarnya cukup terik dan menyilaukan, tetapi hawa sejuk dan dingin berkisar 14 derajat celsius menyelimuti pagi di Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah. Umar (35), petani kentang Desa Dieng Kulon, memanggul pompa air dari tepi jalan raya melintasi pematang ladang bersiap menyirami tanaman kentang yang sudah memasuki usia tanam dua bulan.
Tanaman kentang yang tingginya sudah mencapai 50 sentimeter itu berdaun hijau royo-royo. Segar dan bergoyang tertiup angin. Namun, ketika diamati lebih dekat, sebagian pucuk daun berwarna hitam kecoklatan, seperti selembar kertas HVS putih yang ujungnya gosong terbakar api dari lilin atau korek api.
”Embun upas (embun es) membuat daun dan batang kering lalu layu. Tapi ini tanaman sudah dua bulan, semoga bertahan,” kata Umar di Desa Dieng Kulon penuh harap, Minggu (8/7/2018).
Dibandingkan dengan ladang kentang lain, Umar termasuk cukup beruntung. Di sekitar kebun Umar tampak tanaman kentang yang masih muda dengan tinggi tidak sampai 30 sentimeter merunduk layu kering. Batang dan seluruh daun menghitam. Gurat-gurat kehijauan pada daun dan batang berbaur samar dalam pekatnya dominasi kelayuan. Bahkan, ada pula yang sudah rebah di tanah, terinjak-injak, serta menimbulkan bau busuk tanaman organik. Terkesan sedang berada di tumpukan sampah sisa-sisa buah dan sayur di pasar-pasar.
Produktivitas merosot
Umar memiliki tanaman kentang dengan luas tanam 1.500 meter persegi. Pada saat normal atau sebelum terserang embun es pada Jumat (6/7/2018), lanjut Umar, dia bisa memanen sekitar 2,5 ton sampai 3 ton kentang. Namun, akibat embun upas, diperkirakan hasilnya hanya sekitar 1,5 ton. ”Dengan harga kentang Rp 10.000 per kilogram. Normalnya bisa dapat Rp 30 juta saat panen, tapi karena sebagian tanaman rusak, kemungkinan hasil panen dapat Rp 15 juta,” kata Umar. Padahal, hingga kini biaya perawatan dan modal yang dikeluarkan sudah mencapai Rp 20 juta.
Saat itu, 35 hektar tanaman kentang di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, rusak akibat terdampak embun es. Embun kembali menjadi es tipis pada Kamis (12/7/2018). ”Ada embun tipis dan cepat hilang, tanaman kentang masih aman,” kata Umar saat dihubungi dari Purwokerto.
Setelah lebih dari 13 hari, ternyata embun es kembali terjadi pada Rabu (25/7/2018). ”Tadi pagi dinginnya sampai 2 derajat celsius. Semua tanaman kentang mati. Kentang pun terpaksa dipanen meski masih kecil-kecil. Hasilnya paling banyak sekitar 25 persen dari panen normal,” kata Umar, Rabu.
Saroji (53), petani kentang lain, mengatakan, tanaman kentang yang ditanam di lahan seluas 100 meter persegi miliknya juga rusak sejak pertama kali terserang embun es. Jika tidak terkena embun, Saroji bisa memanen hingga 1 ton kentang. ”Ini jika masih bertahan mungkin bisa dipanen 5 kuintal saja,” ujarnya.
Produktivitas kentang Dieng per hektar rata-rata sedikitnya 10 ton kentang. Perlu waktu 90-100 hari untuk dapat memanen kentang secara optimal.
Pola tanam
Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Banjarnegara Totok Setya Winarno mengatakan, selain Desa Dieng Kulon, embun es juga terjadi di Desa Karangtengah dan menyebabkan sekitar 10 hektar tanaman kentang terdampak. Totok menyampaikan, fenomena embun es yang terjadi setiap tahun sudah diantisipasi oleh dinas pertanian dengan memberikan sosialisasi terkait pola tanam kentang. ”Sosialisasi dilakukan agar pola tanam kentang diatur sehingga saat memasuki Juli atau Agustus tanaman kentang sudah berusia tua atau siap dipanen agar terhindar dari dampak embun upas,” ujarnya.
Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie mengatakan, secara umum Jawa Tengah dan Dieng khususnya sudah masuk musim kemarau. Pada musim kemarau, peluang terjadi hujan sangat kecil karena tidak banyak tutupan awan yang berpotensi hujan.
”Energi panas matahari yang terpantul dari bumi langsung hilang ke atmosfer sehingga tidak ada pantulan balik ke bumi oleh awan yang menyebabkan udara relatif hangat seperti yang terjadi di musim hujan. Kondisi ini jika terjadi terus-menerus menyebabkan udara semakin dingin,” kata Setyoajie.
Berdasarkan pengamatan cuaca di Stasiun Geofisika Banjarnegara yang berada di ketinggian 608 meter di atas permukaan laut, lanjut Setyoajie, tercatat suhu udara rata-rata pada 1-4 Juli berkisar 20,7-23,4 derajat celsius dan suhu minimum berkisar 18,2-19,2 derajat celsius.
Dengan asumsi bahwa setiap kenaikan ketinggian 100 meter terjadi penurunan suhu 0,5 derajat celsius, di daerah Dieng yang memiliki ketinggian 2.065 mdpl diperkirakan suhu udara rata-rata berkisar 13,7-16,4 derajat celsius dan suhu minimum dapat mencapai 11,2-12,2 derajat celsius.
”Tanah lebih mudah menyerap panas dan lebih mudah melepaskan panas, ditambah lagi dengan topografi Dieng yang berupa dataran tinggi. Kondisi yang sangat dingin ini berdampak suhu udara bisa mencapai 0 derajat yang dapat menyebabkan uap air atau embun menjadi beku,” katanya.
Budidaya kentang
Dosen Program Studi Teknik Pertanian Jurusan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Eni Sumarni, melalui surat elektronik menyampaikan, pertumbuhan tanaman kentang sangat dipengaruhi keadaan iklim. Faktor lingkungan memengaruhi pertumbuhan kentang, yaitu suhu udara, lama penyinaran, intensitas cahaya, media tumbuh, dan kelembaban (Smith, 1968).
Pertumbuhan tanaman kentang dapat dibedakan menjadi tiga fase, yakni fase pertumbuhan vegetatif (pre emergence-emergence), fase pertumbuhan brangkasan (haulm growth), dan fase pertumbuhan umbi (tuber growth) (Sulistiono 2005; Streck dkk, 2007; Lutaladio dkk, 2009). ”Tanaman kentang pada setiap fase pertumbuhan menghendaki suhu yang berbeda-beda,” katanya.
Pada fase vegetatif, apabila suhu sekitar 25 derajat celsius, pertumbuhan vegetatif tanaman baik. Suhu tersebut menyebabakan pertumbuhan batang, daun dan akar kentang lebih cepat, tetapi pertumbuhan umbi terhambat (Lovatt 1997; Milthrope dan Moorby 1975; Smith 1968).
Pada fase inisiasi dan pembesaran umbi, suhu ideal untuk pembentukan umbi 15-20 derajat celsius (Lovatt, 1997). Kombinasi suhu rendah dengan penyinaran matahari yang relatif pendek dapat berpengaruh baik terhadap pembentukan dan perkembangan umbi kentang (Gunawan dan Afrizal, 2009).
Kelembaban rata-rata untuk pertumbuhan tanaman kentang 80-90 persen (Sunarjono, 2007). Pertumbuhan umbi kentang membutuhkan suhu 15,6-17,8 derajat celsius dengan suhu rata-rata 15,5 derajat celsius. Peningkatan suhu 10 derajat Celsius menyebabkan respirasi akan bertambah dua kali lipat. ”Laju pertumbuhan tanaman meningkat sampai mencapai maksimum jika suhu meningkat,” ujarnya.
Eni menyampaikan, suhu malam untuk pembentukan umbi lebih penting dibandingkan dengan suhu siang. Jumlah umbi menurun dengan meningkatnya suhu malam. Suhu tinggi, terutama pada malam hari, menyebabkan pertumbuhan lebih banyak terjadi pada bagian tanaman di atas tanah daripada bagian di bawah tanah. Pembentukan umbi memerlukan suhu siang hari 17,7-23,7 derajat celsius dan suhu malam hari 6,1-12,2 derajat celsius.
”Suhu malam yang tinggi lebih banyak menghasilkan daun baru, cabang, dan bunga, serta stolon muncul di permukaan tanah membentuk batang dan daun. Suhu malam yang tinggi menyebabkan umbi yang dihasilkan sedikit. Keadaan sebaliknya terjadi jika suhu malam yang rendah. Cekaman suhu yang tinggi selama perkembangan umbi menghasilkan umbi yang dihasilkan berbentuk abnormal,” ujarnya.
Hal tersebut, kata Eni, karena terjadi pertumbuhan baru dari umbi yang telah terbentuk sebelumnya yang disebut pertumbuhan sekunder (retakan-retakan pada umbi, pemanjangan bagian ujung umbi, dan kadang-kadang terjadinya rangkaian umbi) (Nonnecke, 1989).
Eni juga menyampaikan, permasalahan utama peningkatan produksi kentang di Indonesia ialah masalah pembibitan. Penurunanan produksi kentang disebabkan antara lain rendahnya kualitas dan kuantitas benih kentang dan daerah tropis Indonesia merupakan tempat yang optimum untuk hama dan penyakit tanaman kentang (Kuntjoro, 2000).
”Rendahnya produktivitas kentang di Indonesia disebabkan juga dari penggunaan benih secara terus-menerus dari generasi sebelumnya oleh petani serta adanya serangan hama dan penyakit. Selain itu, lahan pertanian yang semakin tidak subur dan penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan pencemaran tanah,” kata Eni.
Menurut Eni, teknologi aeroponik pada produksi benih kentang merupakan terobosan peningkatan benih. Aeroponik memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan sistem konvensional (media tanah). ”Teknologi aeroponik dapat menghasilkan umbi kentang yang tinggi dibandingkan media tanah dan pupuk kandang. Produksi benih kentang untuk komersial di negara subtropik dengan sistem aeroponik telah dikembangkan,” katanya.
Produksi umbi dari sistem tersebut, lanjut Eni, mencapai 100 umbi per tanaman (Otazu, 2010). Di Indonesia teknologi aeroponik sudah mulai dikembangkan. Penelitian lebih lanjut dan pengembangan dari teknologi aeroponik ini masih diperlukan.