Pembangunan Infrastruktur Jangan Abaikan Regulasi Agraria
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Meski pemberian sertifikat tanah oleh Presiden Joko Widodo kepada rakyat dinilai sebagai bentuk penghormatan pemerintah atas kepemilikan hak atas tanah oleh warga negaranya. Namun, seiring dengan maraknya pembangunan infrastruktur, kepatuhan terhadap regulasi tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan dianggap menjadi hal penting. Pembangunan infrastruktur jangan sampai mengabaikan regulasi soal agraria, terutama perlindungan atas kepemilikan tanah rakyat.
Pemerintah diminta tak mengabaikan aturan kepemilikan tanah meski gencar membangun infrastruktur.
”Di Jepang, kepemilikan tanah diatur dengan tegas. Hal itu terkait dengan kebutuhan lahan di masa depan menjadi isu penting di abad ke-21,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes), Suhadi, di Semarang, Selasa (24/7/2018).
Fakultas Hukum Unnes pun berencana menggelar seminar internasional dengan tema mengenai perkembangan hukum dalam melindungi kepemilikan tanah.
Suhadi mengatakan, penghormatan atas kepemilikan lahan di tengah derasnya pembangunan infrastruktur sebagai tema dengan membandingkan penyelesaian persoalan yang sama di negara-negara lain akan diangkat Fakultas Hukum Unnes pada International Conference on Indonesian Legal Studies (ICILS), yang digelar Rabu (25/7/2018).
ICILS berencana menghadirkan sejumlah pakar hukum internasional, terutama dalam bidang agraria, seperti Prof Yashiki Kurumisawa (Waseda University, Jepang), Prof Rein Mortensen dan Vanitha Sundra-Karean (School of Law and Justice University of Southern Queensland, Australia), Prof Hj Abdul Samat Musa (Universiti Sains Islam Malaysia), Hj Mas Nooraini binti Hj Mohidin (Universiti Islam Sultan Syarif Ali, Brunei Darussalam), serta Prof Sumanto Al Qurtuby (Departemen of General Studies, King Fahd University of Petroleum and Mineral, Arab Saudi).
Menurut Suhadi, roh dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, tanah hak milik warga tidak bisa serta-merta diambil begitu saja oleh pemerintah. Semua proses harus dilalui melalui mekanisme yang saling menguntungkan dan berdasarkan kepentingan bersama, tidak saling merugikan.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Laboratorium Fakultas Hukum Unnes atas beberapa kasus pembangunan yang mengambil begitu banyak lahan di masyarakat, ternyata praktiknya berbeda dengan pola yang sudah diatur oleh ketentuan dalam perundangan.
Dia mencontohkan, proses pengalihan hak rakyat di Kabupaten Batang untuk kepentingan proyek pembangkit listrik ternyata juga tidak selaras dengan mekanisme UU No 2/2012. Proses sosialisasi dan penawaran atas hak milik yang akan dijadikan lahan proyek mestinya harus dihadiri 50 persen warga pemilik.
Apabila hal itu tidak tercapai, kehadiran warga sekitar 50 persen, artinya warga menolak. Kenyataannya, tidak jarang kehadiran warga hanya 10-20 persen dalam proses sosialisasi dan penawaran, yang ternyata dianggap tidak ada warga yang keberatan terhadap pengambilan lahan untuk kepentingan umum.
Begitu pula halnya, misalnya, lahan pertanian yang berubah fungsi dengan nonpertanian untuk kepentingan infrastruktur jalan. Mestinya penetapan lahan yang akan digunakan untuk infrastruktur harus melibatkan dinas pertanian dan petani setempat guna menghitung kebutuhan lahan pertanian yang tetap menopang ketahanan pangan dalam jangka waktu lebih dari 10 tahun.
Hal ini tidak terjadi karena praktiknya pemilik lahan yang memperoleh ganti rugi justru sedikit sekali digunakan untuk membeli lahan pertanian di lokasi pengganti.
Dekan Fakultas Hukum Unnes Rodiyah mengemukakan, penegakan hukum menyangkut hak kepemilikan tanah tidak berdiri sendiri. Ada persoalan moral, etika dalam penegakan hukum, yang terkait dengan perkembangan ekonomi ataupun pembangunan. Menaati regulasi merupakan bagian dari penghormatan hak kepemilikan lahan.
Tidak hanya soal kepemilikan tanah dalam tema hukum, tetapi pada seminar internasional itu juga dibahas mengenai hak-hak minoritas, terutama dalam kaitan aliran kepercayaan serta keyakinan seseorang dan agama tertentu yang masih relevan isunya sepanjang belum ada penyelesaian yang adil.
Dengan demikian, seminar internasional ini untuk memberikan perspektif lain melalui perbandingan di negara lain, yang bertujuan membangun Indonesia melalui solusi yang tepat dari keilmuan hukum secara simultan lewat forum sejumlah pakar dan ahli hukum dari beberapa negara.