BANDA ACEH, KOMPAS — Semester pertama tahun ini, Januari-Juni 2018, kerusakan kawasan ekosistem Leuser mencapai luas 3.290 hektar. Kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Nagan Raya seluas 627 hektar, disusul Aceh Timur seluas 559 hektar, dan Gayo Lues 507 hektar. Penebangan liar dan perambahan menjadi pemicu utama kerusakan.
Angka itu relatif menurun dibandingkan kerusakan pada periode sama tahun 2017, yakni seluas 3.780 hektar, tetapi meningkat dibandingkan periode Juli-Desember 2017 yang mencapai 3.095 hektar.
Data kerusakan hutan itu dipaparkan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) dan Forum Konservasi Leuser (FKL), Senin (23/7/2018), di Banda Aceh. Data kerusakan dan temuan pelanggaran lingkungan dikeluarkan secara periodik dua kali dalam setahun.
Manajer Sistem Informasi Geografi Yayasan HAkA Agung Dwi Nurcahyo mengatakan, pemantauan menggunakan citra satelit Landsat 8, Planet Labs, dan Global Forest Watch. Setelah terekam di satelit, tim patroli FKL mengecek ke lapangan. ”Ternyata pantauan satelit dengan lapangan sesuai,” kata Agung.
Idealnya, anggaran patroli setahun untuk pengawasan tujuh kabupaten itu sebesar Rp 1 miliar.
Kerusakan terbesar terjadi di Kabupaten Nagan Raya yang ada di kawasan gambut Rawa Tripa. Hutan gambut itu telah dibuka untuk sawit. Awal Juli 2018, Kompas melihat langsung kondisi gambut Rawa Tripa. Perambahan dilakukan warga dengan dalih membutuhkan lahan untuk berkebun.
”Kawasan gambut Rawa Tripa dulu dikenal sebagai ibu kota satwa lindung orangutan. Bila dibiarkan rusak, suatu saat Rawa Tripa tinggal nama,” ujar Agung.
Di Aceh Timur, kerusakan terparah di kawasan Kecamatan Peunaron yang masuk kawasan hutan lindung dan area penggunaan lain. Di situ, tim patroli menemukan aktivitas penebangan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan.
Adapun di Gayo Lues, kerusakan terjadi di sepanjang jalan lintas Lokop-Pining dan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). ”Pembukaan jalan baru di dalam kawasan telah memicu kerusakan hutan karena akses masuk ke kawasan semakin mudah,” kata Agung.
Menurut dia, setiap tahun tutupan hutan di kawasan ekosistem Leuser terus menyusut. Luas kawasan ekosistem itu yang mencapai 2.255.577 hektar diperkirakan tinggal menyisakan 1,8 juta hektar yang masih berupa hutan. ”Jika tidak ada upaya pencegahan yang maksimal, kerusakan terus terjadi,” kata Agung.
Koordinator pemantauan FKL, Tezar Fahlevi, mengatakan, enam bulan pertama tahun ini, tim patroli menemukan 1.892 kasus kejahatan lingkungan pembalakan liar, perambahan, dan perburuan satwa liar. Patroli dilakukan di 11 kabupaten yang masuk dalam kawasan ekosistem Leuser. ”Kami bahkan menemukan kayu hasil illegal logging di lapangan sebanyak 2.102 meter kubik,” ujar Tezar.
Selain kayu ilegal, tim patroli juga menemukan 497 jerat untuk menjerat satwa lindung di dalam KEL. Jerat baja sling besar dan kecil. Perangkap burung dan papan ditancapi paku untuk memburu gajah juga ditemukan. “Selama enam bulan kami menemukan 61 bangkai satwa lindung yang mati di dalam KEL. Tulang belulang gajah sudah kami serahkan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam,” kata Tezar.
Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Wilayah III yang meliputi Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Bener Meriah Darmi mengatakan, minimnya anggaran membuat patroli tidak maksimal. Darmi berharap biaya patroli hutan ditambah. ”Selama ini terkadang kami pakai biaya sendiri,” ujar Darmi.
Menurut Darmi, biaya patroli dalam setahun berkisar Rp 150 juta-Rp 200 juta. Idealnya, anggaran patroli setahun untuk pengawasan tujuh kabupaten itu sekitar Rp 1 miliar.