Malaysia Baru Ubah Paradigma
Moto ”Malaysia Baru” membuat pemerintahan negara itu mengubah cara pandang terhadap berbagai persoalan. Bahkan, kini Pemerintah Malaysia bersedia mempertimbangkan penyediaan pendidikan bagi anak para pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Pemerintah baru Malaysia melihat hak anak pada masalah itu, bukan soal hukum saja. Anak harus mendapat pendidikan.
Selain soal pendidikan bagi anak-anak TKI, perubahan paradigma juga diterapkan pada serangkaian kebijakan di Malaysia. Pemerintah Malaysia juga akan terus mendorong Asia Tenggara menjadi zona perdamaian dan netral sesuai prinsip Zofan ASEAN. Hal-hal itu dipaparkan Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah dalam wawancara dengan Kompas, Sabtu (21/7/2018), di Jakarta. Berikut petikan wawancara dengannya.
Apa yang dimaksud Malaysia Baru?
Bagi rakyat, hal itu berarti meninggalkan praktik lama. Praktik-praktik yang merugikan. Kerugian bermacam-macam. Bagi rakyat bisa soal ekonomi. Bagi aktivis soal kebebasan. Dari segi kebebasan, (Malaysia Baru) tidak ada lagi yang diburu hanya karena menulis atau menyampaikan ucapan hal yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
Bagi pemerintah, Malaysia baru adalah Malaysia yang berasas nilai demokrasi, kebebasan, kepatuhan pada hukum, dan peradaban.
Sekarang, pertanyaannya, bagaimana menerjemahkan itu pada undang-undang dan kebijakan. Pada UU, kami akan mencabut UU draconian seperti UU penghasutan. Kami juga akan memeriksa ulang UU yang secara umum baik, akan tetapi ada bagiannya yang perlu diteliti lagi.
Soal kebijakan, tidak boleh lagi dibuat kebijakan berbasis etnis. Kebijakan harus berbasis kebutuhan.
Bagaimana Malaysia Baru berdampak pada kebijakan luar negeri?
Malaysia Baru adalah Malaysia yang aktif mempraktikkan dan mempromosikan HAM. Hal itu terkait luar negeri.
Ada soal-soal dalam negeri yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Saya ambil contoh yang dekat, anak TKI. Di pemerintahan lama, paradigmanya mendahulukan anak-anak Malaysia. Hal itu logis dan tidak salah. Pakatan (pemerintahan sekarang) melihatnya berbeda. Di anak, yang ikut ayah dan ibu mencari rezeki, perlu dapat peluang pendidikan.
Memang sekarang belum ada kebijakan baru (soal itu). Akan tetapi, prosesnya sekarang sudah dimulai. Kebijakan soal itu tidak akan terwujud jika tidak ada perubahan paradigma.
Indonesia-Malaysia punya sejumlah isu dalam hubungan kedua negara, bagaimana menyelesaikannya dan apa dampaknya pada hubungan bilateral?
Saya kira tidak ada isu besar walau ada beberapa yang belum selesai. Hubungan kedua pimpinan (negara) luar biasa.
Cara Pak Jokowi menyambut Pak Mahathir (Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad) luar biasa. Saya melihat ada kecocokan di antara keduanya. Saya yakin ke depan (hubungan) Malaysia-Indonesia semakin baik.
Malaysia dan Indonesia perlu mendorong saling pengertian. Ada masalah politik dan hukum. Masalah itu harus tetap di sana. Akan tetapi, kalau (cara) politik dan hukum tidak bisa selesaikan, mungkin perlu cari cara baru.
Apakah Indonesia-Malaysia punya kesamaan kepentingan?
Malaysia-Indonesia punya banyak kesamaan. Di dalam negeri, pemerintahan Indonesia adalah hasil reformasi. Di Malaysia juga sama.
Malaysia-Indonesia punya kepentingan sama dalam perdagangan internasional. Contoh paling baik adalah soal minyak sawit. Malaysia-Indonesia menghasilkan lebih dari 70 persen minyak sawit global. Sekarang, Malaysia dan Indonesia menghadapi masalah di Eropa.
Ada dua kritik, pertama, tuduhan perambahan hutan untuk perkebunan sawit. Isu kedua soal kualitas minyak yang katanya ada penelitian ilmiah akan berdampak buruk. Malaysia-Indonesia harus lebih kompak menghadapi masalah ini karena ini soal periuk nasi.
Bagaimana dengan kasus Siti Aisyah (WNI yang tengah disidang di Malaysia karena didakwa terlibat pembunuhan Kim Jong Nam, kakak tiri Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un)?
Kasus ini sudah di pengadilan. Satu sisi, harus dibiarkan penyelesaian secara hukum.
Kami sangat bersimpati atas apa yang sudah terjadi. Kami berharap ini tidak menjadi noda dalam hubungan Malaysia-Indonesia. Kasus ini sudah terjadi dan sayangnya berlangsung di Malaysia.
Saya yakin, kasus ini tidak akan berpengaruh pada hubungan Malaysia-Indonesia. Saya tidak mengatakan (kasus) ini tidak penting. Kita berharap semua berjalan sesuai proses hukum dan adil.
Soal keamanan kawasan, salah satu masalahnya adalah terorisme. Tadi disinggung soal penghapusan UU draconian. Bukankan UU draconian seperti Sosma (Undang-Undang Antiterorisme Malaysia) yang membuat Malaysia sukses meredam terorisme?
Terorisme dipicu banyak faktor. Jika penyebabnya ekonomi, solusinya bukan UU. Jika masalahnya ideologi, solusinya juga bukan UU.
Perlu didorong langkah-langkah baru dalam penyelesaian terorisme dan radikalisme. Saya bertemu (pengurus) NU dan Muhammadiyah, salah satu pembahasannya soal radikalisme. Saya pikir, pelibatan ormas Islam penting dalam menangkal terorisme dan radikalisme.
Terorisme dan radikalisme akan terus menjadi masalah. Setelah Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) kalah di Timur Tengah, banyak yang berpendapat mereka akan berkembang di tempat baru, termasuk Asia Tenggara. Malaysia dan negara kawasan terus bekerja sama untuk masalah ini.
Isu lain soal keamanan kawasan adalah Laut China Selatan. Malaysia kini mempromosikan Doktrin Mahathir. Apa maksudnya?
Doktor Mahathir sebenarnya hanya ingin kembali mengingatkan soal prinsip dasar ASEAN sebagai kawasan perdamaian
dan netral atau Zofan. Tun Mahathir mengerti setiap negara punya kepentingan di Laut China Selatan. Tun Mahathir hanya mendorong kapal perang jangan ke sana.
Lalu, perlu didorong aturan dasar untuk berperilaku di perairan itu. Di sana, ada perairan yang diklaim sebagian negara. Ada perairan internasional yang bukan milik siapa pun.
Laut China Selatan harus dijaga tetap damai. Demikian pula ASEAN, harus mengedepankan lagi Zofan. Sekarang, Zofan agak terkesampingkan dibanding bentuk lain, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN.