Mereka Hidup dalam Bayang-bayang Penggusuran
Pasangan suami istri Maryati (47) dan Suherman (52) tidak menyimpan banyak barang di rumahnya. Di rumah yang terbuat dari paduan triplek, seng, dan asbes itu, hanya ada sebuah kasur, peralatan memasak, dan sebuah gerobak yang digunakan untuk memulung sampah setiap hari.
“Kami tidak punya banyak barang. Itu semua juga akan dijual waktu pindah rumah,” kata Maryati di depan rumahnya yang berada di pinggir rel kereta api dari arah Cikarang, Kabupaten Bekasi, ke Stasiun Bekasi, Kota Bekasi, Rabu (11/7/2018) siang.
Rumah yang dikontrak Maryati dan Suherman sejak dua tahun lalu itu hanya berjarak lima meter dari rel kereta. Maryati sadar betul tidak bisa tinggal selamanya di sana. Bukan karena tak kerasan terguncang laju kereta yang lewat sekitar lima menit sekali, melainkan karena kontrakan tersebut berdiri di tanah ilegal.
Saminah (51), pemilik kontrakan semi permanen sepanjang 150 meter itu mengatakan, sudah membangun rumah tersebut sejak 2006. Perempuan asal Semarang, Jawa Tengah, itu merantau ke berbagai tempat mulai dari Tanjung Priok, DKI Jakarta, Babelan, Kabupaten Bekasi, hingga menetap di Bekasi Timur, Kota Bekasi, selama 12 tahun.
“Rumah ini saya dirikan di atas tanah milik Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) (sekarang: PT Kereta Api Indonesia),” ujar Saminah. Meski tahu lahan yang ditempati bukan diperuntukkan bagi permukiman, Saminah bersikukuh untuk mendirikan bangunan dari triplek dan seng di sana. Sebab, penghasilan ibu tunggal itu sebagai penadah obat sisa dari perusahaan-perusahaan tak cukup untuk membayar sewa rumah permanen dan membiayai hidup keempat anaknya.
Menurut Saminah, ia mendapatkan izin dari salah satu pegawai PT KAI yang kini sudah meninggal dunia. Izin diberikan secara lisan, tanpa satu pun perjanjian secara tertulis. “Saya memberikan uang Rp 2 juta atas kebijaksanaan saya sendiri. Sebagai ucapan terima kasih karena diperbolehkan tinggal di sini,” ujar dia.
Saat itu, kawasan yang ditempati Saminah masih berupa kebun tak terurus dan tempat pembuangan sampah. Tidak jarang pula mayat korban perampokan dibuang ke sana. Saminah membersihkan dan meratakan tanah di sana bersama anak-anaknya, hingga daerah tersebut sedikit bersahabat untuk ditinggali.
Lahan milik PT KAI itu berjarak tidak lebih dari 500 meter dari kantor dinas teknis Pemerintah Kota Bekasi, antara lain Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, dan Badan Pendapatan Daerah di Jalan Ir H Juanda. Keberadaannya seakan bersembunyi di balik supermarket bahan bangunan dan arena futsal komersial. Kawasan itu pun berjarak tidak lebih dari 1 kilometer dari Stasiun Bekasi dan Pasar Proyek Trade Center yang terletak di jantung kota.
Sejak dibersihkan, banyak orang tertarik untuk tinggal di kawasan tersebut. Saminah pun membuat sekat-sekat di rumahnya dan memasang listrik agar bisa berbagi tempat tinggal. Kini, lahan yang luasnya sekitar 450 meter persegi itu ditinggali oleh lima keluarga pengontrak dan dua anak Saminah yang sudah mempunyai keluarga masing-masing.
“Kami betah tinggal di sini karena ekonomi. Di sini kami lebih mudah mencari uang,” kata Suherman. Menurut dia, memulung sampah menjadi lebih mudah karena banyak gedung kantor. Istrinya, Maryati, pun bisa berjualan sayuran di lapak pinggir jalan di sekitar Pasar Baru Bekasi, yang terletak sekitar 1 kilometer dari rumah mereka.
Penghuni kontrakan Saminah yang lain juga terbantu dengan lokasi rumah yang berada di dekat pusat keramaian. Mereka yang berprofesi sebagai pengemis dan pengamen merasa lebih berpeluang untuk bertahan hidup.
Oleh karena itu, warga yang tinggal di kawasan tersebut bukan hanya Saminah dan para penghuni kontrakannya. Di sepanjang 350 meter ke arah Stasiun Bekasi, tepian rel juga penuh dengan rumah-rumah semi permanen.
Senior Manager Humas PT KAI Daerah Operasi 1 Edy Kuswoyo mengatakan, PT KAI tidak pernah memberikan izin bagi warga untuk tinggal di tepi rel kereta. Jarak minimal bangunan adalah 12 meter dari rel. “Jika ada bangunan yang bisa didirikan, jaraknya pasti lebih dari 12 meter. Penggunanya pun harus membuat kontrak legal dengan kami bahwa mereka bersedia pindah kapan pun ketika lahan akan kami gunakan,” kata Edy.
Dia menambahkan, seluruh tepian rel harus steril. Pihaknya pun tengah menertibkan bangunan di tepi rel secara bertahap. Daerah yang tengah disterilkan saat ini adalah Lintas Tangerang dan Lintas Serpong.
“Jika di Bekasi masih ada bangunan di tepi rel, itu pasti akan kami tertibkan,” kata Edy.
Bagi Maryati, keluarganya sudah siap dengan segala bentuk penggusuran. Hal tersebut juga bukan hal asing baginya. Ia sudah merantau dari Jawa Tengah ke tepi rel kereta di Klender, Jakarta Timur sejak 32 tahun lalu. Pada 1989, keluarganya digusur dari sana kemudian pindah ke Kota Bekasi.
Di Kota Bekasi, mereka sempat tinggal di lahan kosong di Kampung Mede, Bekasi Timur. Tidak lama tinggal di sana, pemilik tanah menjual lahan tersebut. Pemilik baru yang sudah punya rencana pembangunan pun mengusir keluarga Maryati dari sana.
Setelah itu, ia kembali membangun permukiman semi permanen di tepi Kali Bekasi, di sekitar Pasar Proyek. Namun, dua tahun lalu, mereka sudah harus angkat kaki karena rumah mereka masuk dalam wilayah pembangunan rumah sakit.
“Kami sudah biasa digusur, karena kami memang tidak punya tanah. Kami juga tidak punya simpanan uang,” kata Maryati. Oleh karena itu, tidak memiliki banyak perabot rumah tangga memudahkan langkahnya ketika harus pindah. Barang-barang yang ada pun akan segera dijual, untuk mendapatkan modal menyewa rumah yang baru.
Kumuh
Wati (30) salah satu anak Saminah, berharap ada pilihan lain untuk bermukim. Warga yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Kota Bekasi itu sudah memiliki empat anak. Ia merasa, tinggal di permukiman semi permanen tersebut kurang kondusif untuk perkembangan anak.
Rumah tinggal mereka tidak memiliki ventilasi yang cukup, sistem sanitasi yang bersih. Untuk minum, mereka memompa air tanah dari lahan kosong di belakang rumah. Sebagian lahan tersebut digunakan untuk pembuangan sampah, selokan besar. Mereka pun tidak memiliki septic tank dan mengalirkannya langsung ke selokan.
Selain itu, tempat bermain anak pun tidak laik, karena berhadapan langsung dengan rel kereta. Anak-anak lebih sering bermain di dalam rumah.
Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Kota Bekasi Dadang Ginanjar mengatakan, warga Kota Bekasi berhak mendapatkan hunian yang laik dan sehat. Di samping permukiman tempat tinggal Wati, terdapat 443 hektare kawasan kumuh yang tersebar di 56 kelurahan. Adapun kawasan kumuh paling luas berada di Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, yaitu seluas 28,79 hektare.
Sejak 2017, pihaknya telah melaksanakan penataan kawasan kumuh melalui program rencana pembangunan kawasan permukiman prioritas (RPKPP). Hasilnya, kawasan kumuh berkurang sekitar 40 persen. “Kami akan melanjutkan program tersebut. Targetnya, pada 2022 sudah tidak ada kawasan kumuh di Kota Bekasi,” kata Dadang.
Menurut Dadang, selain menata kawasan kumuh, pihaknya juga menyediakan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Warga pemegang KTP Kota Bekasi yang tinggal di permukiman semi permanen semestinya bisa tinggal di rusunawa.
“Akan tetapi kemampuan kami juga masih terbatas. Belum semua masyarakat berpenghasilan rendah bisa tinggal di rusunawa,” kata Dadang. Saat ini, Kota Bekasi memiliki satu kompleks rusunawa yang terdiri dari empat menara. Setiap menara mampu menampung 96 kepala keluarga. Namun, seluruh menara sudah penuh terisi.
Menurut Dadang, pembangunan rusunawa juga terkendala keterbatasan lahan. Oleh karena itu, rencana pembangunan baru akan bertambah di satu titik, yaitu di Kecamatan Bantar Gebang.
Wati berharap, kesempatan untuk tinggal di rusunawa bisa hadir untuk keluarganya. “Kami juga mau punya rumah beneran, yang nggak perlu digusur,” kata istri pedagang makanan di permukiman semi permanen itu.