Risiko Tenggelam Tak Menyurutkan Keinginan Menuju ke Tanah Impian
Oleh
RETNO BINTARTI
·4 menit baca
Drama penyeberangan migran lewat laut kembali menelan korban. Sebanyak 19 orang Suriah yang akan mengadu nasib ke Eropa lewat pelabuhan di Siprus, Rabu (18/7/2018), ditemukan tewas setelah kapal mereka terbalik sekitar 30 kilometer dari pantai Siprus. Penjaga pantai Turki yang menemukan jenazah mereka masih terus mencari 25-30 orang yang belum ditemukan. Sebanyak 103 orang yang selamat dibawa ke Turki.
Kapal naas yang mengangkut sekitar 150 orang itu sedianya akan menuju salah satu negara Eropa melalui Laut Tengah. Kecelakaan kapal yang dialami migran Suriah ini menambah lagi deret korban yang tewas dalam perjalanan melalui laut untuk mengungsi dan mengubah nasib.
Siprus, yang terletak sekitar 160 kilometer dari pantai Suriah, sebenarnya bukan tempat berangkat yang banyak dipilih migran dan pengungsi menuju Eropa. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan, dari 47.637 migran dan pengungsi yang masuk ke Eropa lewat laut sampai bulan Juli ini, hanya 47 orang berangkat lewat Siprus.
Organisasi itu mencatat, sampai bulan Juli ini total sudah 1.404 orang tewas saat mereka berupaya menyeberangi lautan. Kebanyakan dari mereka menyeberang ke Italia dan Malta yang merupakan pelabuhan terdekat. Kendati korban sudah demikian besar dan sejumlah negara keras menolak menerima para migran, keinginan untuk menuju Eropa masih sangat kuat.
Siap risiko
Mereka mempunyai mimpi ”menyeberang air” dan mencapai tempat yang menjanjikan. Mereka mengetahui risiko besar yang bakal dihadapi dalam perjalanan ataupun di negara tujuan.
”Saya tidak takut. Saya siap pergi ke Italia, menyeberangi perairan. Saya akan melakukannya malam ini dan bahkan saya tak akan menyiapkan tas,” kata Marcel Zouh (30), migran asal Pantai Gading.
Berada di antara kerumunan orang-orang muda di stasiun bus Daloa, kota di Pantai Gading bagian barat, pemuda berbadan kekar itu tak segan mengungkap alasan mengapa dia ingin mengadu nasib ke Eropa. Dia tak mempunyai harapan hidup lebih baik di negaranya.
”Saya bersedia mengambil risiko. Kalau tidak berhasil, ini karena Tuhan menghendaki,” kata Zouh.
Adama Soumahoro mengatakan hal serupa. ”Tidak ada harapan bagi orang muda di sini. Kami bersedia menjual nyawa kami untuk menyeberang,” katanya.
Pantai Gading merupakan negara keempat terbanyak yang menyumbang migran ke Eropa, kata IOM. Pada tahun 2017 tercatat 8.753 warga Pantai Gading tiba di Italia, 1.263 orang di antaranya perempuan dan 1.474 orang merupakan anak-anak yang pergi tanpa ditemani orang dewasa.
Agaknya banyak orang yang mengetahui persis bahaya dan risiko yang mungkin mereka alami. Dalam tiga tahun terakhir, ribuan migran meninggal atau hilang.
”Anda bisa menyatakan akan pergi sesuai keinginan, tetapi mereka tidak mengetahui seperti apa itu,” kata Ibrahim Doumbia, seorang penjahit berusia 31 tahun.
Tahun 2016, Doumbia pernah mencoba berangkat ke Eropa. Dia meninggalkan Daloa membawa sekitar 325 euro (sekitar Rp 5,5 juta), tetapi penyelundup meminta hampir tiga kali lipatnya. ”Ketika kami melewati padang pasir, saya melihat batu-batu tertimbun seperti gundukan makam. Saya diberi tahu bahwa itu merupakan makam migran yang tak dikenal,” ujar Doumbia.
Tak mudah
Jalan menuju Eropa memang tak mudah. Sesampainya di Libya, penderitaan baru dimulai. Bukannya bisa diberangkatkan kapal, Doumbia malah ditangkap dan dipenjara selama 9 bulan.
Dia akhirnya bisa kembali pulang karena ditolong IOM. Menurut Issuaka Konate, pejabat pemerintah yang bertanggung jawab terhadap warga di luar negeri, dalam tiga tahun terakhir terdapat lebih dari 3.500 warga Pantai Gading dipulangkan dari Libya.
Banyak orang coba menembus Eropa menemukan nasib yang tak jelas. Keluarga mereka diliputi perasaan tak menentu. Tenin Sanogo, perempuan yang ditinggal pergi oleh anaknya sekitar tiga tahun silam, kini masih menanti kabar keberadaan anaknya. Sedemikian putus asanya, Sanogo sampai pergi ke peramal dengan membayar biaya cukup tinggi.
”Katanya (peramal), dia masih hidup,” kata Sanogo.
Seorang penulis buku tentang eksploitasi seksual mengatakan, satu dari empat perempuan migran dipaksa melakukan kerja seks. ”Kebanyakan perempuan-perempuan itu dipaksa menjadi budak seks di rumah bordil atau rumah pribadi. Mereka menderita trauma berat dan bahkan kalau mereka bisa ke luar dari situasi itu, hidup mereka sudah hancur,” kata Patricia Hourra, penulis buku asal Pantai Gading. (AFP)